Konten dari Pengguna

Politik Dagang Sapi

Ahmad Muhajir
Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
28 Desember 2023 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Muhajir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi surat dan kotak suara. (Foto: https://pixabay.com/images/id-5676561/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat dan kotak suara. (Foto: https://pixabay.com/images/id-5676561/)
ADVERTISEMENT
Elite politik dalam masyarakat adalah individu yang memegang kendali serta memiliki kekuatan dan pengaruh yang signifikan. Mereka memiliki otoritas yang memungkinkan mereka mengendalikan segala sumber daya yang ada dalam lingkungan sosial.
ADVERTISEMENT
Sebuah minoritas kecil dari masyarakat yang menduduki posisi puncak memiliki kekuatan untuk menetapkan kebijakan dan mengarahkan segala hal dalam lembaga-lembaga masyarakat, politik, dan sistem ekonomi. Meskipun jumlahnya sedikit, mereka memiliki peran yang dominan dan berpengaruh dalam struktur sosial.
Elite politik memiliki kekuatan yang kuat melalui afiliasi partai, terutama dalam lembaga pemerintahan. Para pejabat tinggi, hakim, dan jaksa secara aktif terlibat dengan partai politik pilihan mereka, menciptakan jaringan pertemanan dan pengaruh di lingkungan birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah.
Meskipun militer dan kepolisian secara resmi dianggap netral dari partai politik, namun dalam kapasitas pribadi, banyak di antara mereka memiliki simpati pada partai tertentu. Hal ini terbukti pada saat pemberontakan ataupun bahaya laten disentegrasi terjadi di masa lalu, di mana beberapa perwira tinggi militer ternyata memiliki dukungan terhadap beberapa patai politik secara diam-diam.
ADVERTISEMENT
Dekatnya Pilpres 2024 menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia akan menyaksikan elit politik kembali mempertontonkan "politik dagang sapi." Tidak hanya dalam hal pemberian jabatan kepada anggota koalisi, tetapi juga dalam pembagian imbalan kepada lawan politik.
Dalam istilah yang sederhana, "politik dagang sapi" adalah praktik politik di mana kekuasaan ditukar-tukar dalam bentuk transaksi, di mana partai politik atau elit memberikan dukungan kepada calon presiden tertentu dalam pemilihan umum sebagai imbalan atas manfaat atau keuntungan yang mereka terima.
Ketika sebuah partai diajak untuk bergabung dalam kabinet, maka partai tersebut diharapkan memberikan imbalan kepada partai yang mengundangnya. Isu platform dan tujuan politik-sosial yang sama di antara partai-partai yang terlibat dalam kabinet sering kali terlupakan, dan hal ini dapat mengaburkan aspirasi kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Tentunya, masalah politik dagang sapi semakin menambah keramaian dalam suasana pilpres yang penuh emosi. Masyarakat terkejut karena praktik ini secara telak dipertontonkan, dan tentunya merusak idealisme demokrasi yang telah dibangun bersama-sama. Ini mengganggu fondasi yang telah dirancang secara bijaksana untuk merawat keutuhan demokrasi tanpa adanya transaksi politik yang merugikan.
Fenomena politik yang melibatkan jual beli kekuasaan menjadi paradoks di tengah-tengah kemajuan yang kuat dalam konsolidasi demokrasi. Meskipun demokrasi telah berkembang dalam banyak aspek yang menjanjikan, seperti menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul, juga memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk menjadi calon pemimpin di masa depan.
Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana jika kedudukan hadir dari sebuah lingkaran kekerabatan?
ADVERTISEMENT