Konten dari Pengguna

Syahwat Kekuasaan, Hilangnya Moralitas, dan Ancaman bagi Demokrasi Sejati

Ahmad Muhajir
Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
23 Agustus 2024 18:18 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Muhajir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peringatan Darurat. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan Darurat. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang terobsesi dengan kekuasaan, dorongan ini sering kali dapat menutupi atau mengubur nurani, yaitu suara hati yang membimbing seseorang untuk membedakan antara yang benar dan salah. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi panduan justru diabaikan atau dilemahkan. Akibatnya, tindakan yang diambil lebih didasarkan pada keinginan pribadi untuk memperkuat atau memperluas kekuasaan, daripada mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain atau masyarakat.
ADVERTISEMENT
Syahwat kuasa inilah yang mendorong seseorang untuk menghilangkan prinsip moral dan cenderung gila jabatan, dengan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.
Ketika nurani dikubur oleh syahwat kuasa, seseorang mungkin mengambil langkah-langkah yang tidak etis atau merugikan demi mencapai tujuannya. Mereka bisa saja memanipulasi orang lain, menyebarkan informasi palsu, atau bahkan melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Politisi kita sering kali kehilangan nilai-nilai moral dalam upaya mereka untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dalam dunia politik yang sarat persaingan, tekanan untuk memenangkan pemilihan atau mendapatkan dukungan bisa membuat mereka mengesampingkan prinsip-prinsip etika yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan. Sebagai hasilnya adalah mereka ramai-ramai ingin berubah keputusan MK yang bagi mereka itu sangat merugikan kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, pernyataan-pernyataan yang mereka buat seolah-olah mewakili kepentingan rakyat, padahal kenyataannya, keputusan MK tersebut tidak memicu kegelisahan di kalangan rakyat, melainkan lebih merupakan keresahan bagi partai-partai yang sibuk membangun koalisi, untuk memenangkan dinasti politik.
Demokrasi kita tampak menjadi pengecut ketika partai-partai politik lebih mementingkan koalisi gemuk daripada menciptakan dinamika politik yang sehat. Alih-alih memfasilitasi persaingan yang kompetitif dan ide-ide yang beragam, partai-partai lebih memilih untuk bergabung dalam koalisi besar yang tujuannya lebih kepada mempertahankan kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Koalisi gemuk ini sering kali mengurangi ruang bagi oposisi dan perbedaan pendapat, sehingga melemahkan prinsip dasar demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi suara yang berbeda.
Ketika demokrasi hanya menjadi formalitas dan tidak memberikan kesempatan bagi persaingan yang sejati, maka esensi dari demokrasi itu sendiri terancam. Alih-alih menjadi alat untuk memperkuat pemerintahan yang responsif dan akuntabel, demokrasi berubah menjadi sarana untuk mempertahankan status quo tanpa memperhatikan aspirasi rakyat.
Foto: Element5 Digital/Unsplash