Konten dari Pengguna

Perubahan Keluarga dan Hubungan Kuasa di Dalamnya

Ahmad Nawwaf
Mahasiswa S1 sosiologi FISIP Universitas Brawijaya. Masih dalam proses menjalani pendidikan S1 di semester 1
27 November 2024 13:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Nawwaf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto sebuah keluarga, Sumber foto: https://www.istockphoto.com/id/foto/orang-tua-yang-tersenyum-dengan-dua-anak-gm1082467846-290313466
zoom-in-whitePerbesar
Foto sebuah keluarga, Sumber foto: https://www.istockphoto.com/id/foto/orang-tua-yang-tersenyum-dengan-dua-anak-gm1082467846-290313466
ADVERTISEMENT
Keluarga adalah sekumpulan orang-orang terdekat yang dapat menjadi tempat kita menceritakan keresahan, berlindung, atau tempat mengekspresikan kasih sayang. Biasanya keluarga terbentuk berdasarkan hubungan pernikahan atau hubungan darah. Mungkin itulah yang akan terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata “keluarga”. Namun, apakah anda menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih mendalam ketika kita mengkaji soal keluarga? Ya, nyatanya keluarga tidak sesederhana itu, terdapat struktur di dalamnya yang memiliki relasi kuasa antar anggotanya.
ADVERTISEMENT
Apakah anda merasa kebingungan? Tidak apa-apa, mari kita lihat contoh nyata dari sebuah keluarga. Dalam konteks keluarga yang tradisional, atau keluarga yang kita pahami, terdapat hubungan kuasa di sana. Misalnya ayah harus menjadi kepala keluarga, ibu harus menuruti ayah, dan anak-anak harus menuruti orang tua mereka. Mungkin anda tidak setuju dengan konsep keluarga yang seperti ini, tidak apa-apa. Ini hanya contoh yang cukup dekat dengan pengalaman masyarakat kita selama berkeluarga. Setidaknya anda sudah memiliki sedikit gambaran tentang adanya kekuasaan dalam berkeluarga.
Setelah kita mendapati hubungan kekuasaan dalam sebuah keluarga, terdapat fakta lain yang harus kita perhatikan yaitu kondisi masyarakat di luar keluarga tersebut. Perlu diketahui bahwa kondisi masyarakat selalu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan yang amat besar ini akan mengubah konsep kita tentang keluarga juga. Mengapa? Karena keluarga merupakan salah satu unit pembentuk masyarakat, yang akhirnya akan terpengaruh jika suatu masyarakat mengalami perubahan. Lantas seperti apakah perubahan keluarga dan relasi kuasa di dalamnya?
ADVERTISEMENT
Agar pembahasan tidak melebar kemana-mana, artikel ini hanya akan membahas keluarga dalam sejarah masyarakat Indonesia saja. Mengapa? Karena selain lingkup ini lebih dekat dengan kita, sejarah masyarakat Indonesia juga amat unik karena perubahannya sepanjang sejarah juga diintervensi oleh kekuatan asing. Oh iya, mari kita asumsikan bahwa anda sekalian sudah mengetahui sejarah Indonesia secara sekilas.
Pada awalnya, penduduk negeri ini memiliki mata pencaharian sebagai petani atau pedagang kecil. Industrialisasi baru terjadi ketika Belanda membawa mesin-mesin pabrik hasil Revolusi Industri yang saat itu sedang terjadi di Eropa. Tapi tunggu dulu, industrialisasi ini datang sambil diiringi oleh eksploitasi sumber daya – baik alam maupun manusia – secara lebih besar-besaran. Pemerasan sumber daya ini bahkan dilakukan dengan lebih dahsyat ketimbang sebelum adanya Revolusi Industri. Jika sebelumnya rakyat kita dipaksa menjadi petani, maka kemudian anak-anak mereka dipaksa menjadi buruh, begitulah gambaran kasarnya.
ADVERTISEMENT
Pandangan “banyak anak banyak rezeki” akhirnya muncul di kalangan rakyat Indonesia yang tertekan ini. Mereka berpendapat bahwa anak-anak mereka dapat membantu mereka untuk bekerja di sawah, dalam keluarga petani. Atau dapat menjadi buruh ketika sudah dewasa, dalam keluarga buruh. Jika dipikir-pikir, tidak mengherankan juga. Karena memang Belanda membutuhkan tenaga kerja, dan rakyat kita membutuhkan peningkatan taraf hidup yang mereka harap bisa dibawakan oleh anak-anak mereka. Pada saat itu, rakyat kita memang masih berpikir bahwa semakin keras mereka bekerja maka akan semakin sukses. Jika begitu, maka buat saja anak yang banyak untuk membantumu, mengapa tidak?
“Banyak anak banyak rezeki” ternyata membawa dampak buruk dalam suatu keluarga. Contoh nyatanya, pihak wanita dalam keluarga tersebut akhirnya ditekan untuk memiliki anak yang banyak dan sekaligus merawat mereka. Pihak pria juga juga ditekan untuk terus bekerja kepada Belanda untuk hasil yang tidak seberapa. Jelas terdapat kekuasaan di sini, ayah menguasai ibu, ibu menguasai anak, dan jangan lupa tekanan lain dari sistem masyarakat kolonial.
ADVERTISEMENT
Setelah merdeka, masyarakat Indonesia akhirnya dapat menaikkan kualitas hidup mereka, tidak hanya kalangan bangsawan saja. Memang tidak semua orang dapat melakukannya, tetapi setidaknya hal itu mungkin terjadi setelah kemerdekaan. Akhirnya, keluarga tidak perlu beranak banyak agar bisa menjadi sukses. Namun, pemikiran “banyak anak banyak rezeki” masih tersisa hingga sekarang. Maklum, memang sudah ratusan tahun pemikiran itu berakar dalam masyarakat kita.
Dalam keadaan yang katanya lebih merdeka ini, kita dapat melihat adanya pergeseran konsep keluarga. Setidaknya tekanan untuk beranak-pinak sebanyak mungkin sudah mulai pudar, terutama ketika Presiden Soeharto mencanangkan program KB. Namun bukan berarti tidak ada lagi tekanan dan kekuasaan dalam berkeluarga. Di era modern ini tidak jarang kita jumpai sisa-sisa pemikiran kuno itu meskipun tujuannya bukan untuk beranak sebanyak mungkin. Tujuan keluarga masih untuk beranak, setidaknya satu. Itu dalam konteks keluarga yang masih tradisiona seperti yang sudah dicontohkan di awal.
ADVERTISEMENT
Pihak ayah masih terbebani oleh pekerjaan, pihak ibu juga masih terbebani oleh pekerjaan (jika ia merupakan wanita karir) dan mulut keluarga besar serta tetangga yang tiap lebaran menanyakan “kapan punya anak?”. Masih ada bentuk nyata patriarki dalam masyarakat modern. Tenang dulu, masyarakat selalu berubah! Sudah dapat kita lihat contoh-contoh individu yang berkeluarga dengan caranya sendiri, mematahkan tradisi dan tekanan sosial yang ada.
Contoh yang sedang viral saat ini adalah tentang childfree, yaitu ketika suami dan istri memutuskan untuk tidak beranak, tidak ada tekanan untuk merawat anak juga. Eits, tunggu sebentar. Pilihan untuk childfree belum tentu dilakukan dengan sukarela. Malahan fenomena ini dapat kita tarik ke – lagi-lagi – tekanan dan kekuasaan yang dibawa oleh sistem masyarakat modern. Lebih tepatnya, dapat kita tarik ke krisis yang dialami kapitalisme tahap akhir.
ADVERTISEMENT
Tekanan dari pekerjaan semakin bertambah (bahkan setelah Indonesia merdeka) dengan adanya kapitalisme akhir. Kebutuhan meningkat dan terkesan dibuat-buat (contoh? Siapa di sini yang butuh gadget baru tiap tahun, acungkan tangan). Biaya hidup meningkat pesat, harga barang terus naik. Tekanan juga dialami oleh kakek-nenek kita dulu, bedanya mereka memiliki pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar itu.
Akhirnya, terpaksa atau tidak, muncul pemikiran yang mematahkan anggapan bahwa sebuah keluarga harus memiliki anak, dan anak tersebut harus diurusi oleh sang ibu saja. Mulai terdapat kesetaraan dalam keluarga modern yang lebih modern ini. Ayah dan ibu dapat bekerja bersama-sama di tempat kerja dan merawat anak secara bersama-sama. Itu jika mereka memiliki anak, karena sudah terdapat orang-orang yang menghormati keputusan sebuah pasutri untuk childfree, sehingga makin jarang kita mendengar pertanyaan “kapan nikah? kapan punya anak?”, seharusnya ...
ADVERTISEMENT
Akhir kata, keputusan anda untuk berkeluarga tergantung pada diri anda sendiri, idealnya. Tidak boleh ada pihak-pihak yang saling menekan dan terlalu menguasai, baik antara anda dengan pasangan, keluarga besar, atau anak jika ada. Perlu diingat bahwa konsep keluarga yang lama akan digantikan dengan yang baru seiring perkembangan zaman. Terakhir, anda memiliki kekuasaan baik sadar atau tidak, gunakan sebaik mungkin.