Ade Armando dan Sikap Guru Bangsa dalam Perbedaan

Ahmad Pratomo
Peneliti sejarah, Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
12 April 2022 23:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenci-bencinya Natsir, tokoh karismatik dan pemimpin Masyumi terhadap D.N. Aidit dan partainya, PKI, mereka masih ngopi bareng dan berboncengan pulang kantor naik sepeda.
ADVERTISEMENT
Kisah “ngopi bareng” dan “boncengan” adalah kisah inspiratif yang seharusnya kita maknai bersama. Apalagi pada momen isu-isu kebencian gampang sekali terurai hingga memenuhi pemberitaan.
Kisah itu membuncah di pikiran saya tatkala saya menyaksikan aksi brutal terhadap Ade Armando, dosen Fakultas Komunikasi FISIP UI, di tengah aksi demonstrasi mahasiswa hari Senin, (11 April 2022). Ade Armando dipukuli, ditelanjangi oleh massa aksi. Aksi brutal yang terekam video itu langsung viral ke se-antero Indonesia.
Berbagai sudut pandang dari aksi itu pun bermunculan. Bahkan ada yang cukup senang terhadap aksi brutal itu dengan menyebut Ade Armando sebagai Abu Jahal. Abu Jahal adalah salah seorang yang masih kerabat dekat Nabi, tapi yang paling memusuhi Nabi.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini mengherankan, bahkan sangat disayangkan keluar dari seorang yang saya kagumi dalam pemikiran politik Islam. Mungkin kita boleh saja membenci Ade Armando setinggi angkasa, tapi kata-kata kebencian itu melunturkan kejernihan pikiran-pikiran yang biasa ia utarakan.
Saya kira menyamakan Ade Armando dengan Abu Jahal adalah berlebihan. Pertama, Ade Armando adalah seorang muslim, sedangkan Abu Jahal bukan, bahkan sangat memusuhi Nabi Muhammad dan Islam. Kedua, Indonesia adalah negara hukum. Tentu sebagai seorang yang sadar hukum, kita tidak bisa membiarkan adanya kekerasan terhadap seseorang meski orang itu berseberangan paham dengan kita.
Meski Ade Armando seringkali menyuarakan pendapatnya yang kontroversial terhadap gerakan-gerakan Islam yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, tidak sepatutnya ia mendapatkan kekerasan yang hampir membuat nyawanya hilang.
ADVERTISEMENT
Sebagai sesama muslim, tidak patut kita merasa berbahagia atas apa yang menimpa Ade Armando. Ingatan saya langsung menuju pada perdebatan keras antara Natsir dengan Aidit saat Sidang Konstituante 1956-1959. Sidang Konstituante yang seru dan panas itu tidak lain membahas dasar negara seperti apa yang cocok untuk diterapkan di Republik Indonesia.
Natsir dengan Masyumi-nya menjadi bintang dalam sidang itu. Lawannya, tentu saja dari partai yang berlawanan secara ideologi, PKI, dengan pemimpinnya D.N. Aidit adalah lawan debat paling keras saat itu.
Saking kerasnya perdebatan itu, sampai-sampai Natsir mengatakan, “ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi.” Namun, di luar sidang, Aidit membawakannya segelas kopi, dan mereka pun ngopi bareng. Bahkan, menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang mendapatkan cerita langsung dari Natsir, mengatakan jika tidak ada tumpangan, “Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon” (Tempo, 2011).
ADVERTISEMENT
Selain Natsir, ada pula kisah pemimpin Masyumi lainnya, yaitu KH. Isa Ansyari. Di luar sidang, KH. Isa Ansyari bisa makan sate bersama Aidit. Bahkan dikisahkan pula, “Aidit sering menginap di rumah Isa Ansyari jika ke Sukabumi,” kata Adnan Buyung Nasution menirukan cerita dari profesornya di Utrecht, Belanda.
Dari sisi ini, sejarah memberikan makna dan hikmah. Natsir serta pemimpin Masyumi lainnya sebagai aktivis politik muslim menyuguhkan kepada generasi setelahnya bagaimana adab dalam berpolitik. Begitu juga bagaimana seharusnya kita bersikap melihat aksi kekerasan yang terjadi pada Ade Armando hari ini. Setiap orang bisa bermusuhan karena persoalan ideologi dan politik, tapi tetap menaruh rasa empati dan simpatik.