Menanti Arus Balik Kebudayaan dari Debat Terakhir Calon Presiden

Ahmad Pratomo
Peneliti sejarah, Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
4 Februari 2024 7:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di panggung debat terakhir calon presiden (capres), tema kebudayaan akan menjadi diskursus yang menarik. Khalayak publik yang penasaran dengan isu ini pasti punya banyak pertanyaan apa sesungguhnya visi dan strategi para capres untuk memajukan kebudayaan Indonesia di tengah arus ancaman budaya asing hari ini? Dan kebudayaan seperti apakah yang dimajukan, dilestarikan, dan dimanfaatkan untuk pembangunan nasional?
ADVERTISEMENT
Kebudayaan akan menjadi perhatian banyak pihak, terutama kalangan seniman, pegiat seni budaya, sampai akademisi. Mengingat semua capres memiliki latar belakang yang berbeda. Anies Rasyid Baswedan berlatar akademisi, pernah menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan dan mantan gubernur DKI Jakarta (2017-2022). Prabowo Subianto berlatarbelakang militer, sekarang menjabat menteri pertahanan RI (2019-2024). Ganjar Pranowo ialah politikus yang memiliki pengalaman panjang di DPR dan mantan gubernur Jawa Tengah dua periode (2013-2023).
Persoalan kebudayaan nasional adalah tantangan riil yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan yang akan datang. Padahal kebudayaan itu bukan hanya terbatas pada bagaimana melestarikan seni dan budaya, tetapi juga sebagai refleksi dan cerminan manusia Indonesia hari ini dari masa yang lalu. Sebagai contoh, nenek moyang kita sudah mengenal pengetahuan tentang merawat laut, mengelola tanah, hingga mitigasi bencana dan adaptasi terhadap iklim. Pengetahuan-pengetahuan ini sebenarnya bisa menjadi solusi dan inovasi yang dapat diimplementasikan untuk menjaga interaksi manusia dan lingkungan secara berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Merawat Tradisi, Menjaga Bumi
Salah satu contoh implementasi pengetahuan tentang tradisi lokal sebagai kesatuan interaksi manusia terhadap lingkungan alam adalah tradisi Smong di Kepulauan Simeulue. Smong artinya hempasan gelombang air laut yang berasal dari Bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue. Secara historis, Smong merupakan tradisi lokal dari pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi tahun 1907. Kisah Smong dituturkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga menjadikan Smong sebagai bentuk mekanisme sistem mitigasi bencana masyarakat Simeulue dari bencana tsunami pada bulan Desember 2004 silam.
Kearifan lokal lainnya adalah mekanisme mitigasi bencana yang diterapkan Masyarakat Baduy, yang dikenal dengan istilah pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan dalam berpikir dan bertindak. Pikukuh adalah dasar dari pengetahuan tradisional yang arif dan bijaksana, termasuk dalam memitigasi bencana.
sumber: unsplash.com
Contoh keharmonisan antara manusia dengan alam dapat kita temui juga di Desa Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Di sana tersua kelompok masyarakat pemburu paus yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap laut. Sebagai penakluk paus atau yang disebut juga lamafa, mereka taat pada norma adat yang sudah ditetapkan seperti dilarang memburu paus yang sedang hamil bahkan juga dilarang berkata kotor dan menghindari pikiran negatif selama di lautan.
ADVERTISEMENT
Dan masih banyak lagi bentuk keharmonisan manusia Indonesia dengan alam. Kita belum berbicara mengenai sistem hidup pengetahuan lokal tentang tingkah laku sikap terhadap alam, konsep arsitektur, ramuan obat-obatan, formulasi makanan, teknologi pertanian tradisional, dan sebagainya.
Ironisnya, kita belum memiliki daya cerna pengetahuan budaya yang kaya itu. Misal seberapa mampu kita meningkatkan awareness tentang kepedulian, pelestarian serta pemanfaatan kekayaan budaya kita saat ini. Untuk itu, mari kita tengok data yang disusun oleh Jonathan Loh dan David Harmon, A Global Index of Biocultural Diversity (2005), sebuah metode perhitungan indeks yang menghubungkan saling keterkaitan antara keanekaragaman hayati dengan keanekaragaman kebudayaan yang menghasilkan satu istilah baru yaitu keanekaragaman biocultural.
Menariknya, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara nomor satu di dunia dalam konteks relasi antara kekayaan hayati dan budaya dengan nilai index 0,760 mengalahkan Papua New Guniea yang berada di urutan kedua dengan nilai 0,728, dan Brazil pada urutan ketiga dengan nilai 0,710. Total ada 20 negara yang dinilai. Indikator yang digunakan cukup beragam, ada enam indikator yang terdiri dari bahasa, kepercayaan, suku bangsa, kebudayaan, flora, dan fauna. Dari semua indikator ini dikelompokkan lagi ke dalam tiga bagian index keanekagaraman biocultural yaitu biocultural diversity richness component, areal component, dan population component. Semua indikator ini menunjukkan betapa kaya dan mewahnya kekuatan hayati dan kebudayaan kita.
ADVERTISEMENT
Kebudayaan dan kebijakan
Penetrasi pemerintah dalam menjaga keanekaragaman kebudayaan itu sudah terlihat dengan disahkannya UU Pemajuan Kebudayaan pada 27 April 2017. Ini adalah hasil dari jalan panjang pembahasan undang-undang mengenai kebudayaan yang telah dimulai sejak 1982. Sebuah usaha paling fundamental dari pemerintah untuk merealisasikan acuan legal-formal pertama dalam mengelola kekayaan budaya nasional.
Dorongan pemerintah dari sisi insentif bagi para pegiat seni budaya juga disediakan dalam bentuk Dana Abadi Kebudayaan sebagai model impelementasi pendanaan yang berkelanjutan untuk kegiatan kebudayaan. Alokasi Dana Abadi Kebudayaan pada tahun 2023 sebesar 5 triliun rupiah, meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 3 triliun. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) diberikan amanat untuk mengelola dana abadi ini.
Memang butuh waktu yang tidak sebentar ditambah kinerja yang baik, agar pengelolaan kekayaan budaya itu berdampak pada pemanfaatan hasil berupa peningkatan ekonomi sebagai target pembangunan kebudayaan. Data dari Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) yang disusun Kemendikbudristek, Bappenas, dan Badan Pusat Statistik memperlihatkan skor IPK nasional tahun 2022, memperlihatkan dimensi ekonomi budaya menempati urutan terendah dengan skor 26,88 poin. Sementara, dari skor IPK provinsi, posisi terbawah ditempati Papua Barat dengan skor 46,92 poin dan Papua dengan skor 44,62 poin.
ADVERTISEMENT
Data ini bisa menjadi rujukan bagi ketiga capres dalam menyusun desain program pembangunan kebudayaan pada masa mendatang. Terlebih pada dimensi ekonomi budaya yang berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Potensi kebudayaan Indonesia sebenarnya bernilai sangat strategis apabila didorong secara maksimal. Karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang tepat guna dan komprehensif untuk memaksimalkan potensi kebudayaan agar berdampak langsung secara ekonomi sehingga berdampak pada peningkatan nilai keekonomian di daerah tersebut.
Untuk mencapai potensi kemajuan pembangunan dari sisi kebudayaan, maka nilai budaya dan mentalitas menjadi penentu. Sejumlah negara Asia seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Taiwan mampu melakukan akselerasi pembangunan sosial-ekonomi berbasis kebudayaan, dengan melakukan kapitalisasi atas nilai-nilai dan kekayaan budaya melalui proses modernisasi. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
ADVERTISEMENT
Menjelang debat terakhir, para capres perlu menilik kembali akar permasalahan kebudayaan nasional kita. Krisis kebudayaan dan jati diri sudah di depan mata. Sementara, kita tidak mampu memanfaatkan biocultural diversity yang kita miliki sebagai sebuah kekuatan.
Akankah ada arus balik kebudayaan pada debat capres pamungkas nanti? Semoga.