Konten dari Pengguna

Peranan Tentara Pelajar Yogyakarta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Ahmad Pratomo
Peneliti sejarah, Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
6 Maret 2022 22:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramai-ramai bicara soal peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, saya memilih untuk membahas jejak sejarah yang lain yang tidak kalah menariknya dalam peristiwa pertempuran tersebut. Salah satunya adalah peran pelajar dalam peristiwa itu. Apa yang mereka lakukan?
ADVERTISEMENT
Serangan Umum terhadap Ibukota Yogyakarta merupakan serangan terbesar yang dilakukan oleh seluruh unit militer yang dimiliki TNI dan laskar yang berada di Jawa. Bila ditinjau dari segi militer, serangan umum itu tidak mencapai hasil yang signifikan, namun harus diakui serangan umum tersebut telah menyadarkan pihak Belanda bahwa pasukan kolonialnya sudah tidak berdaya menumpas kekuatan TNI beserta rakyat, terlebih lagi menghancurkannya.
Serangan ini membuka mata Belanda bahwa taktik Vernichtung-nya telah mengalami kegagalan dalam menghadapi taktik yang dalam bahasa Jerman disebut wehrkreise yang artinya kantong pertahanan TNI. Himawan Soetanto dalam bukunya Yogyakarta 19 Desember 1948, Jenderal Spoor (Operatie Kraai) Vs. Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1), menganalisis bahwa Jenderal Spoor yang menggunakan taktik Carl von Clausewitz dalam strategi militernya yang dikenal dengan nama Operasi Kraai (Soetanto, 2006). Operasi militer ini bertujuan untuk menduduki ibukota dan menumpuk pasukannya di pusat pemerintahan republik.
ADVERTISEMENT
Operasi Kraai nyatanya mampu dipatahkan oleh taktik gerilya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rakyat. Serangan serempak dari seluruh wehrkreise berhasil merebut kembali Yogyakarta, yang dianggap Jenderal Spoor sebagai centre of gravity. Perjuangan para pejuang untuk merebut kembali Yogyakarta memperlihatkan kepada dunia Internasional bahwa kekuatan Republik masih ada. Walaupun hanya bertahan selama enam jam, tetapi dengan kesiapan taktis dan strategi gerilya yang dicanangkan pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia, TNI mampu menembus barikade Belanda (Adams, 2014).
Gerak menusuk jantung Ibukota Yogyakarta yang diduduki Belanda rupanya membuat Belanda kewalahan. Belanda tidak menyangka bahwa kekuatan militer TNI dan rakyat mampu melakukan serangan balik dengan serangan yang besar. Meski terdapat perbedaan siapa pencetus utama Serangan Umum 1 Maret ini, antara Sri Sultan Hamengkubuwono dan Letkol. Suharto yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Werhkreise III meliputi Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah Orde Baru jatuh, memasuki era Reformasi, pandangan mengenai Suharto sebagai pencetus Serangan Umum 1 Maret 1949 mulai tergerus. Belakangan terbit buku biografi Panglima Bambang Sugeng, Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibukota Djogja Kembali 1949, yang ditulis oleh Edi Hartoto. Buku tersebut membahas kiprah Jenderal Mayor Bambang Sugeng sebagai pencetus rangkaian serangan umum yang dimulai dari bulan Januari sampai Juni 1949, termasuk serangan umum yang terkenal itu, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 (Hartoto, 2012).
ADVERTISEMENT
Sacred Calling bagi Para Pelajar
Pemuda dan revolusi merupakan dua istilah yang tidak terpisahkan. Bagi pemuda, terjun dalam pertempuran revolusi adalah suatu sacred calling atau panggilan suci. Salah satu kelompok pemuda yang ikut berperan dalam kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia ialah Tentara Pelajar.
Tentara Pelajar adalah gabungan anak-anak muda yang masih berstatus pelajar dari berbagai sekolah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seperti Sekolah Lanjutan Pertama (SLP), Sekolah Lanjutan Atas (SLA) maupun sekolah kejuruan menengah seperti Sekolah Guru, Sekolah Pertanian, Sekolah Angkatan Laut, Sekolah Teknik, dan lain sebagainya yang merasa terpanggil mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tentara Pelajar adalah satuan reguler bersenjata yang aktif dan berjasa dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945-1949. Menurut Nugroho Notosusanto, istilah Pelajar Pejuang atau Tentara Pelajar identik dengan para pelajar yang menolak anggapan lama bahwa, tugas satu-satunya dari pelajar adalah belajar saja.
ADVERTISEMENT
Kesatuan Tentara Pelajar terlahir dari keputusan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang membentuk organ pertahanan dalam organisasinya sebagai reaksi terhadap kedatangan kembali Belanda yang dikenal dengan NICA. Pembentukan IPI bagian pertahanan ini kemudian segera diikuti oleh berbagai cabang IPI di berbagai kota. Singkatnya, pasukan pelajar yang bernama Tentara Pelajar ini kemudian diresmikan Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (embrio TNI) pada 1946.
Pada 1947, organisasi Tentara Pelajar disusun seperti organisasi militer. Dari regu, kompi, hingga batalyon. Hingga pada 1948, Tentara Pelajar masuk ke dalam struktur resmi TNI dalam susunan Brigade 17 TNI. Kesatuan Tentara Pelajar tersebar ke berbagai daerah di Sumatera dan Jawa. Khusus di Jawa Timur, dikenal sebagai pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).
ADVERTISEMENT
Salah satu jejak pertempuran kesatuan Tentara Pelajar adalah pada saat Serangan Umum 1 Maret 1949. Pertempuran yang dianggap sebagai salah satu pertempuran paling fenomenal yang dilakukan TNI dan rakyat karena dampaknya yang begitu besar: mengubah keputusan dunia internasional terhadap kolonialisme di Indonesia.
Strategi Tentara Pelajar Detasemen III Brigade 17 TNI dalam SU 1 Maret
Pada Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Tentara Pelajar dipimpin langsung oleh Komandan Detasemen III, Kapten Martono yang merangkap sebagai Komandan Sub Wehrkreise 104-C. Kapten Martono mengerahkan pasukannya, yaitu Seksi 1 pimpinan Darsono dan Seksi 2 pimpinan Suwarno untuk menyerang Kaliurang dan pos-pos militer Belanda sekitar perbatasan Yogyakarta. Komandan Kompi 2, Sudarsono bergabung dengan Kapten Martono melakukan operasi di Kaliurang. Penyerangan ke Kaliurang bertujuan untuk menghambat pasukan Belanda yang rupanya sudah bersiaga memberikan bantuan kepada sesama tentara Belanda yang berada di Yogyakarta (Imran, 1985).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pasukan Seksi 3 pimpinan Ali Adi yang berada di sektor Barat Yogyakarta bergerak maju menuju jantung ibukota. Tentara Pelajar Seksi 3 bersama pasukan Mobile Brigade ditugaskan bertempur dari sektor Barat dibawah pimpinan Mayor Ventje Sumual selaku Komandan pasukan KRIS yang merangkap sebagai Komandan Wehrkreise 103-A.
Pada saat berada di kota, pasukan Seksi 3 pimpinan Ali Adi menyerang pos Belanda di Hotel Merdeka (sekarang Hotel Inna Garuda) dari arah Stasiun Tugu. Pada saat bergerak mundur, pasukan Tentara Pelajar Seksi 3 yang berada di sektor Barat Malioboro bertemu iring-iringan tank dan kendaraaan lapis baja. Pertempuran tidak dapat terhindarkan, banyak korban berjatuhan. Akhirnya pasukan dengan cepat masuk ke gorong-gorong yang melintas di bawah jalan tersebut atas saran salah satu anggota yang mengenal kawasan itu. Rupanya gorong-gorong itu menggiring pasukan Tentara Pelajar ke luar Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Enam jam kemenangan atas pendudukan Belanda di Yogyakarta merupakan kemenangan militer dan politik. Di satu sisi, Serangan Umum 1 Maret memberi daya kejut yang luar biasa bagi Belanda. “Kemenangan” dalam serangan umum ini adalah kemenangan para pemuda dan rakyat bersama TNI.
Di sisi yang lain, serangan ini membawa dampak politik yang besar dalam percaturan politik Internasional. Serangan Umum 1 Maret juga merupakan kemenangan secara politik. Belanda semakin dikucilkan dunia Internasional. Sebaliknya, citra republik yang sebelumnya digambarkan Belanda sebagai negara yang terpecah dan lemah sebagai kekuatan militer, ternyata mampu membalikkan kedudukan. Peranan pelajar pejuang dalam Serangan Umum 1 Maret tidak bisa dianggap remeh, khususnya Tentara Pelajar Detasemen III Brigade 17 yang menurunkan seluruh pasukannya dalam satuan Kompi 2 yang bergerak dari dua sektor, sektor Utara dan Barat Yogyakarta.
ADVERTISEMENT