Volksraad, DPR RI, dan Pola Sejarah yang Berulang

Ahmad Pratomo
Peneliti sejarah, Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
27 Januari 2021 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anggota DPR pada rapat paripurna. Foto: ANTARA FOTO/ Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Anggota DPR pada rapat paripurna. Foto: ANTARA FOTO/ Muhammad Adimaja
ADVERTISEMENT
Sejarah adalah bagaimana kita melihat pola-pola peristiwa pada masa lampau untuk dijadikan pelajaran hari ini yang nantinya berguna untuk masa depan. Namun, apa jadinya jika masa lampau itu justru tidak dijadikan sebagai pelajaran?
ADVERTISEMENT
Berangkat dari asumsi itu, saya merasa iklim politik hari-hari ini memiliki pola yang sama dengan kondisi perpolitikan pada awal abad 20. Bagaimana kesamaannya? Mari kita buka lembaran sejarahnya.
Pada 1916, untuk memenuhi janjinya pada rakyat Hindia Belanda, dikeluarkan keputusan untuk membentuk Volksraad atau “Dewan Rakyat” yang dianggap sebagai penyalur aspirasi masyarakat Hindia Belanda ke Pemerintah. Namun, ada anggapan bahwa pembentukan Volksraad hanya “basa basi politik” semata.
Bagi sebagian orang, anggapan basa-basi politik itu terus hinggap ke wajah DPR hingga hari ini. Walaupun seluruh anggota DPR hari ini adalah orang Indonesia asli, namun sikap dan kebijakannya tidak ubahnya seperti dewan kolonial, Volksraad: lembek sebagai wakil rakyat di hadapan penguasa.
Dari 2019 sampai 2020, undang-undang yang menimbulkan kekisruhan disetujui dan disahkan oleh pemerintah dan DPR periode sekarang. Dari revisi UU KPK, UU Minerba, dan yang paling kontroversi, UU Cipta Kerja mewarnai headline media dalam negeri. Penolakan yang terjadi di hampir seluruh negeri tidak digubris oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Selain ketiga undang-undang di atas, atas inisiatif DPR, lahir UU Pemilu yang ditenggarai sebagai bentuk arogansi partai-partai besar yang bermaksud untuk “mengubur” hidup-hidup partai-partai kecil. Misalnya, dari parlementary treshold yang awalnya 4 persen menjadi 5 persen, sedangkan untuk DPRD yang sebelumnya ditiadakan untuk ambang batas, menjadi 4 persen untuk DPRD tingkat Provinsi, dan 3 persen untuk DPRD tingkat Kabupaten/Kota.
Pada Pemilihan Umum 2019 yang lalu yang masih menetapkan parlementary treshold sebanyak 4 persen saja, sebanyak 13,6 juta suara pemilih hilang lenyap begitu saja, apalagi jika naik menjadi 5 persen. Belum lagi suara pemilih di tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang akan ditetapkan menjadi 4 persen dan 3 persen. Praktis parlemen di semua tingkatan akan dikuasai partai-partai besar yang saat ini duduk di DPR, yang menutup mata dari partisipasi publik dan peranannya tidak lagi menjadi “penyambung lidah rakyat”. Tapi, menjadi “penyambung lidah para oligark”.
ADVERTISEMENT
Mengutip Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah, Volksraad dalam pandangan Serikat Islam Semarang dianggap sebagai “Dewan Rayap” dan anggotan-anggotanya tidak lebih dari “anak komedi”. Tampaknya anggapan itu masih sama dengan kondisi umum DPR RI hari ini.
Volksraad dibentuk setelah adanya keputusan Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling) Pasal 53 sampai Pasal 80 bagian Kedua tanggal 16 Desember 1916, dan dicatat dalam Staatsblat No. 114 tahun 1916. Aktif menjalankan fungsinya pada 1918.
Voksraad didirikan untuk menampung wakil-wakil masyarakat Hindia Belanda, walau pada kenyataannya jauh dari harapan. George Mc Turnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia menyebutkan bahwa awalnya Volksraad memiliki kekuasaan untuk memberikan nasehat dan pada 1927 diberi kewenangan untuk membuat undang-undang bersama Gubernur Jenderal. Namun, kewenangan itu tidak ada artinya karena Gubernur Jenderal memiliki hak veto.
ADVERTISEMENT
Pada susunan struktur pertamanya, keanggotaan Volksraad berjumlah 39 orang anggota dengan susunan 15 orang dari kalangan bumiputera dan 23 orang dari golongan Belanda dan Timur Asing. Pada 1927, keanggotaan Volksraad bertambah menjadi 55 orang anggota.
Setelah adanya pertambahan anggota, Volksraad mulai ramai diperbincangkan. Tidak seperti dalam pembentukan awal yang terdiri dari 19 orang dari kalangan bumiputra, hanya dua orang tokoh paling disegani yaitu dr. Tjiipto Mangunkusumo dan H.O.S. Tjokroaminoto. Periode 1930-1940, Volksraad diisi oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional, sebut saja Haji Agus Salim, Aboel Moeis, Soetardjo, M.H. Thamrin, Oto Iskandar Di Nata, dan sebagainya. Bahkan pada 1935, muncul Petisi Soetardjo yang isinya agar Pemerintahan Belanda bersedia berunding dengan perwakilan Indonesia dalam menentukan nasib Indonesia di masa depan.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan kedatangan Balatentara Jepang pada 1942, berakhir pula aktivitas Volksraad. Kemudian, pada era kemerdekaan, lembaga perwakilan dibentuk dengan nama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan ketua pertamanya Kasman Singodimedjo, yang kemudian dikenal sebagai tokoh teras Masjumi.
Poinnya adalah ada kemiripan pola dari Volskraad pada periode pertama dengan DPR RI hari ini: para anggotanya tidak mampu berbuat untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Meski sudah berganti wajah dan zaman, tapi semangat dibentuknya Volksraad pada pola perilaku dan olah kebijakan DPR RI hari ini hampir mirip-mirip: basa-basi politik.***