Konten dari Pengguna

Memasak Telur dan Berfilsafat

Ahmad Rafah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Program Studi Manajemen Pendidikan.
3 Oktober 2024 6:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Rafah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menggoreng terlur diwajan. Sumber : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Menggoreng terlur diwajan. Sumber : Freepik
ADVERTISEMENT
Memasak telur mungkin tampak sebagai aktivitas yang sederhana, rutinitas sehari-hari yang dilakukan tanpa banyak berpikir. Namun, jika dilihat dari perspektif filsafat, aktivitas ini mengandung pelajaran mendalam tentang kehidupan, eksistensi, dan pengetahuan. Disini, kita akan menjelajahi bagaimana aktivitas memasak telur bisa menjadi simbol dari pemikiran filosofis, yang membahas konsep dasar seperti perubahan, substansi, keteraturan, dan pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT

Memasak sebagai Proses Perubahan dan Eksistensi

Salah satu konsep paling mendasar dalam filsafat adalah gagasan tentang perubahan, dan memasak telur adalah contoh yang tepat tentang bagaimana suatu substansi dapat berubah melalui tindakan manusia. Ketika kita memasukkan telur mentah ke dalam wajan panas, substansi telur berubah dari keadaan cair menjadi padat. Proses ini mengingatkan kita pada gagasan heraklitus tentang perubahan konstan dalam kehidupan. Ia mengatakan, "Tidak ada yang tetap, kecuali perubahan." Dalam memasak telur, kita menyaksikan proses transformasi yang tidak hanya fisik tetapi juga metaforis, yang merefleksikan perubahan konstan dalam hidup manusia.
Lebih jauh lagi, gagasan perubahan ini bisa dihubungkan dengan konsep eksistensialisme. Filosof seperti Jean-Paul Sartre berargumen bahwa eksistensi manusia tidak ditentukan oleh esensi yang tetap, tetapi oleh tindakan dan pilihan yang dibuat. Memasak telur, walaupun sederhana, adalah hasil dari serangkaian pilihan: bagaimana kita memutuskan untuk memasak (setengah matang, rebus, goreng), suhu yang kita gunakan, atau apakah kita akan menambahkan bumbu. Ini mengajarkan kita bahwa kehidupan adalah rangkaian tindakan dan keputusan yang membentuk pengalaman kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT

Telur sebagai Metafora Filsafat Alam

Telur ayam. Sumber : Freepik
Dalam filsafat, telur sering digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan potensi dan esensi kehidupan. Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, menggunakan telur dalam tulisannya tentang biologi untuk menggambarkan perkembangan dari sesuatu yang sederhana menjadi kompleks. Telur juga bisa dilihat sebagai representasi dari konsep tabula rasa, seperti yang diajarkan oleh John Locke. Menurut Locke, manusia dilahirkan seperti selembar kertas kosong (tabula rasa) yang kemudian diisi oleh pengalaman. Telur, dalam keadaan mentah, adalah simbol potensial yang belum terbentuk dan berubah sesuai dengan bagaimana kita mengolahnya—baik melalui panas (pengalaman) atau bumbu (pengetahuan).
Dalam filsafat Taoisme, aktivitas seperti memasak telur bisa dihubungkan dengan prinsip Wu Wei (tidak bertindak secara berlebihan). Memasak telur dengan tepat memerlukan kesabaran dan keseimbangan; terlalu lama memasak, telur akan keras, terlalu cepat, akan mentah. Ini mengajarkan kita bahwa keseimbangan dan harmoni dalam tindakan adalah penting, seperti yang diajarkan dalam filsafat Tao.
ADVERTISEMENT

Memasak dan Pengambilan Keputusan: Suatu Refleksi Epistemologis

Memasak telur, seperti semua kegiatan manusia, melibatkan pengambilan keputusan dan evaluasi dari hasil yang diinginkan. Dalam filsafat, pengambilan keputusan erat kaitannya dengan epistemologi, cabang filsafat yang mempelajari sumber dan batas pengetahuan. Setiap tindakan memasak adalah eksperimen kecil dalam mencari kebenaran. Apakah telur yang digoreng akan sesuai dengan selera kita? Bagaimana kita tahu waktu yang tepat untuk mengangkatnya? Di sini, kita menerapkan konsep trial and error, yang menuntun pada pengetahuan empiris yang berdasarkan pengalaman.
Filsuf Karl Popper juga menekankan pentingnya eksperimen dalam mencari pengetahuan yang benar. Dalam teori falsifikasinya, Popper berargumen bahwa kita tidak bisa pernah benar-benar membuktikan sesuatu, tetapi kita bisa mencari kesalahan dan belajar darinya. Hal yang sama berlaku saat kita memasak telur; kita mencoba, gagal, belajar, dan memperbaiki cara kita memasak agar hasilnya lebih baik di masa depan.
ADVERTISEMENT
Dari aktivitas sehari-hari yang sederhana seperti memasak telur, kita bisa mendapatkan banyak pelajaran filsafat yang mendalam. Mulai dari perubahan substansi, konsep eksistensi dan kebebasan memilih, hingga epistemologi dan pengambilan keputusan, memasak telur adalah tindakan kecil yang menyimpan refleksi besar tentang kehidupan. Aktivitas ini mengingatkan kita bahwa filsafat tidak hanya ada di dalam buku tebal atau ruang kelas, tetapi juga dalam rutinitas sehari-hari yang tampaknya sepele.