Konten dari Pengguna

Paradoks DIY : Termiskin di Pulau Jawa, Tapi Warganya Paling Bahagia

Ahmad Ramdani
Mahasiswa Politeknik Statistika STIS
23 Januari 2025 16:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Ramdani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Ilustrasi Yogyakarta. Foto: Dok. Kemenparekraf RI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Yogyakarta. Foto: Dok. Kemenparekraf RI
ADVERTISEMENT
Sebutan istimewa memang layak disandang Yogyakarta. Tak hanya sebagai pusat pendidikan hingga budaya, pesona wisata kotanya telah berhasil meyakinkan banyak orang bahwa gelar istimewa itu bukan sekadar sebutan saja.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, di balik citra istimewanya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga menyimpan fakta yang mengejutkan. Provinsi ini mencatat tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Meski demikan, di saat yang sama, berdasarkan indeks kebahagiaan, DIY justru berada di angka yang paling tinggi di Pulau Jawa.
Hal ini menimbulkan paradoks kebahagiaan dalam kemiskinan. Alhasil fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, bagaimana warga DIY bisa tetap merasa bahagia di tengah keterbatasan ekonomi?
Mari kita ulas di sini!

Kemiskinan di DIY

Pada tanggal 1 Juli 2024, BPS Provinsi DIY merilis Profil Kemiskinan D.I. Yogyakarta Maret 2024. Berdasarkan publikasi tersebut persentase penduduk miskin pada bulan Maret 2024 sebesar 10,83 persen.
Angka itu turun 0,21 poin persen dibandingkan Maret 2023, dan turun 0,66 poin persen dibandingkan September 2022. Selain itu, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebanyak 445,55 ribu orang dan turun 2,9 ribu orang terhadap Maret 2023.
ADVERTISEMENT
Apabila dibandingkan September 2022, jumlah penduduk miskin Maret 2024 turun 18,1 ribu orang. Penurunan tersebut menunjukkan adanya keberhasilan pemerintah Provinsi DIY dalam mengentaskan kemiskinan masyarakatnya walaupun secara peringkat di Pulau Jawa. Namun, provinsi ini tetap menjadi yang tertinggi dalam hal kemiskinan dibandingkan provinsi lainnya.

Tetap bahagia di tengah kemiskinan

Di tengah gempuran kemiskinan yang masih stagnan itu, terdapat plot twist yang sangat mengejutkan di tahun ini. Berdasarkan publikasi data dari BPS Provinsi DIY, didapatkan bahwa di tahun 2024 Provinsi DIY memiliki Indeks Kebahagiaan sebesar 70,77%. Angka ini berhasil mengantarkan Provinsi DIY menduduki urutan pertama sebagai provinsi dengan Indeks Kebahagiaan tertinggi di Pulau Jawa.
Fenomena ini menarik perhatian karena menunjukkan bahwa kebahagiaan masyarakat tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kemakmuran ekonomi. Berdasarkan publikasi Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kebahagiaan seseorang dipengaruhi oleh tiga dimensi utama, yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Provinsi DIY, dimensi makna hidup dan kepuasan terhadap hubungan sosial mungkin memiliki pengaruh yang dominan. Tradisi budaya yang kuat, nilai gotong-royong, dan rasa kekeluargaan yang terjalin erat di masyarakat Yogyakarta menjadi landasan utama terciptanya kebahagiaan, meskipun tingkat kemiskinan tinggi.
Selain itu, DIY dikenal sebagai daerah yang kaya akan keindahan alam dan budaya. Kehidupan di lingkungan yang asri dan minim polusi, dengan keberadaan situs-situs budaya seperti Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan, dan aktivitas seni tradisional, memberikan warga perasaan nyaman dan bangga terhadap identitas mereka.
Fenomena kebahagiaan di tengah kemiskinan yang dialami masyarakat DIY mencerminkan kompleksitas nilai kehidupan yang tidak semata-mata bergantung pada kondisi ekonomi.
Dalam budaya Jawa, terdapat prinsip nrimo ing pandum, yang berarti menerima dengan ikhlas apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Prinsip ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari rasa syukur, keseimbangan, dan kesederhanaan dalam menjalani hidup. Masyarakat Yogyakarta, dengan kuatnya akar budaya dan spiritualitas mereka, menjadikan nilai ini sebagai fondasi dalam menghadapi tantangan hidup.
ADVERTISEMENT
Paradoks ini tidak hanya menjadi cerminan daya tahan sosial masyarakat DIY, tetapi juga pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu diukur oleh materi, melainkan oleh harmoni antara manusia, alam, dan budaya. Dengan memahami fenomena ini, kita diajak untuk melihat kebahagiaan dari perspektif yang lebih luas, menempatkan nilai-nilai non-material sebagai bagian penting dalam membangun kehidupan yang bermakna.