Konten dari Pengguna

Gabungnya Indonesia dengan BRICS sebagai Manifestasi Persaingan Kelas Kapitalis

Ahmad Rizki Alimudin
Direktur Eksekutif SALAM Institute Priode 2022-2024
30 Oktober 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Rizki Alimudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: iStockphoto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: iStockphoto
ADVERTISEMENT
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS+ (Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) menandai langkah strategis yang memerlukan kajian mendalam. Keputusan ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan persaingan antar kelas kapitalis yang mendasari sistem ekonomi global. Hukum besi ekonomi, yang menjadi fondasi dalam sistem kapitalisme, menuntut bahwa modal harus terus bergerak dan beradaptasi. Oleh karena itu, persaingan di antara negara-negara, terutama dalam aliansi seperti BRICS+, bukanlah fenomena yang kebetulan, melainkan sebuah keharusan yang terintegrasi dalam struktur sistem tersebut.
ADVERTISEMENT

Hukum Besi Ekonomi dan Persaingan Global

Hukum besi ekonomi, sebagaimana diungkapkan oleh Karl Marx, menunjukkan bahwa dalam sistem kapitalis, modal tidak dapat tetap diam; ia harus bersaing, bergerak, dan mencari keuntungan di pasar yang kompetitif. Bergabungnya Indonesia dalam BRICS+ mencerminkan upaya negara ini untuk memperoleh akses yang lebih baik ke pasar global dan sumber daya strategis. Data dari Bank Dunia (2021) menunjukkan bahwa negara-negara BRICS menyumbang lebih dari 25% dari total Produk Domestik Bruto (GDP) dunia, mencerminkan kekuatan ekonomi yang signifikan di arena internasional. Namun, angka ini juga menunjukkan bahwa persaingan yang ketat berlangsung di antara anggota BRICS, yang dapat menciptakan ketegangan antara kepentingan nasional masing-masing negara.
BRICS+ seharusnya tidak dilihat hanya sebagai aliansi yang menjanjikan kerjasama saling menguntungkan, melainkan sebuah arena di mana negara-negara berusaha memperoleh bagian dari "kue" yang sama. Dengan demikian, penting untuk mempertanyakan efektivitas aliansi ini dalam menciptakan stabilitas. Apakah BRICS+ benar-benar mampu mendorong perdamaian abadi, atau justru berfungsi sebagai penunda konflik yang lebih mendalam? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama mengingat sejarah ketegangan antara anggota BRICS, seperti yang terlihat dalam hubungan antara Tiongkok dan India. Meskipun berada dalam satu aliansi, kepentingan nasional masing-masing tetap saling bertentangan, yang menunjukkan bahwa BRICS+ lebih berfungsi sebagai pengendali ketegangan ketimbang sebagai solusi konflik.
ADVERTISEMENT
Konsep bipolaritas atau multipolaritas sering kali diusulkan sebagai solusi untuk menciptakan stabilitas global. Namun, penelitian menunjukkan bahwa penataan ulang kekuasaan dalam skala global tidak selalu mengarah pada perdamaian yang diharapkan. Sebuah studi oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS, 2022) menunjukkan bahwa negara-negara dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi, seperti yang terdapat dalam BRICS, cenderung menghadapi ketegangan sosial dan politik yang lebih besar. Hal ini berarti bahwa aliansi ini, yang seharusnya menciptakan stabilitas, berpotensi memperburuk konflik yang sudah ada.

Ketimpangan Kekuasaan dalam BRICS

Lebih jauh, bergabungnya Indonesia dalam BRICS+ mencerminkan adanya ketimpangan kekuasaan di antara anggota aliansi. Hukum besi ekonomi menciptakan struktur kekuasaan yang tidak seimbang, di mana negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia memiliki kapasitas untuk mendominasi agenda politik dan ekonomi. Data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2021) mencatat bahwa investasi Tiongkok di Indonesia mencapai USD 4,5 miliar pada tahun 2021. Meskipun hal ini dapat dilihat sebagai peluang, ada risiko signifikan bahwa ketergantungan pada investasi asing dapat melemahkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Ketergantungan ini berpotensi mengarahkan negara untuk mengabaikan kepentingan nasional demi kepentingan investor besar, yang berujung pada penurunan kapasitas negara untuk merumuskan kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan untuk menunda konflik besar juga terlihat dalam dinamika hubungan internasional saat ini. Alih-alih menciptakan struktur yang adil dan seimbang, sistem kapitalis yang mendasari BRICS+ tampaknya lebih terfokus pada pembagian "kue" di antara negara-negara anggotanya. Hal ini menandakan bahwa, meskipun terdapat upaya untuk menciptakan kerjasama internasional, ketidakadilan struktural dalam sistem tetap ada. Sebuah laporan dari Pusat Analisis Kebijakan Publik (2022) menggarisbawahi bahwa persaingan antar anggota BRICS+ sering kali berujung pada pembagian sumber daya yang tidak merata, yang semakin memperdalam ketimpangan.
Dari sudut pandang Indonesia, tantangan yang muncul adalah bagaimana merumuskan strategi yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi dinamika global yang rumit ini. Diversifikasi ekonomi menjadi langkah kunci untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara besar. Investasi dalam sektor-sektor strategis yang berkelanjutan, seperti energi terbarukan dan teknologi hijau, harus menjadi prioritas utama bagi Indonesia. Lebih lanjut, diplomasi yang aktif diperlukan untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan internasional. Dengan membangun hubungan konstruktif dengan negara-negara di luar BRICS, Indonesia dapat menjaga kedaulatannya dan memaksimalkan potensi sumber daya yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Bergabungnya Indonesia dalam BRICS+ merupakan langkah strategis yang terjebak dalam dinamika persaingan kelas kapitalis. Meskipun aliansi ini menawarkan peluang, penting untuk mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar akan memberikan manfaat yang diharapkan. Dengan memahami hukum besi ekonomi yang mengatur sistem kapitalisme global, Indonesia dapat merumuskan langkah-langkah yang lebih bijak untuk menghindari terjebak dalam konflik yang tidak perlu. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa kepentingan nasional tidak terabaikan di tengah arus besar persaingan global yang semakin kompleks.
Dalam hal ini, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaan dalam BRICS+ untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya tanpa kehilangan kedaulatan dan integritasnya sebagai bangsa di tengah arus besar persaingan global? Melalui pendekatan yang kritis terhadap keanggotaan dalam aliansi ini, diharapkan Indonesia dapat merumuskan strategi yang tidak hanya memprioritaskan kepentingan ekonomi, tetapi juga memastikan kesejahteraan sosial dan politik bagi rakyatnya. Dengan demikian, jalan menuju pembangunan yang berkelanjutan dan adil dapat terwujud.
ADVERTISEMENT