Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hari Santri Nasional: Santri Bukan Alat Suara Oligarki
24 Oktober 2024 13:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ahmad Rizki Alimudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Ini merupakan penghormatan atas kontribusi kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional. Santri, sebagai komunitas yang identik dengan kesederhanaan dan moralitas Islam, telah memainkan peran signifikan dalam sejarah sosial-politik Indonesia. Namun, dalam peringatan ini, kita juga perlu melakukan refleksi kritis terhadap dinamika santri dalam politik kontemporer Indonesia, khususnya terkait dengan kekuatan oligarki yang semakin mendominasi lanskap politik dan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Hari Santri bukan sekadar perayaan, melainkan momen penting untuk menegaskan kembali peran santri dalam menjaga integritas moral dan independensi politiknya. Ini menjadi urgensi, terutama saat berbagai elemen politik, termasuk santri, semakin terjerat dalam lingkaran oligarki. Pertanyaannya adalah, apakah santri dapat terus menjadi agen perubahan sosial yang independen, atau justru hanya menjadi alat suara oligarki yang memperkuat status quo kekuasaan?
Santri Bukan Alat Suara Oligarki
Dalam sejarah politik Indonesia, santri dikenal sebagai kelompok yang berperan dalam memperjuangkan keadilan sosial dan moralitas publik. Mereka hadir sebagai pembawa suara masyarakat kecil dan menjadi pelindung nilai-nilai keagamaan yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan transformasi peran santri dalam politik yang cenderung pragmatis dan, dalam beberapa kasus, justru menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang lebih menguntungkan oligarki ketimbang rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Menurut Jeffrey A. Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy, Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang dikendalikan oleh oligarki. Para oligark memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar, yang memungkinkan mereka mempengaruhi kebijakan publik demi kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam konteks ini, santri yang terjun ke politik sering kali berada dalam posisi sulit: di satu sisi, mereka harus mempertahankan idealisme Islam yang membela kaum lemah, namun di sisi lain, mereka harus berkompromi dengan kekuatan oligarki yang semakin mendominasi.
Sejumlah penelitian mengonfirmasi dominasi oligarki dalam politik Indonesia. Burhanuddin Muhtadi (2020) dalam penelitiannya tentang hubungan antara oligarki dan politik elektoral di Indonesia menegaskan bahwa oligarki memiliki kontrol signifikan atas partai politik dan pemilu. Dalam konteks ini, santri yang terlibat dalam politik praktis sering kali terseret ke dalam jaringan oligarki, baik melalui pendanaan kampanye, aliansi politik, maupun kebijakan ekonomi yang pro-korporasi.
ADVERTISEMENT
Contoh konkret dari hal ini adalah keterlibatan beberapa politisi santri dalam mendukung kebijakan-kebijakan yang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang lebih menguntungkan perusahaan besar daripada kaum buruh. Sejumlah politisi berlatar belakang santri, yang seharusnya membela kepentingan kaum kecil, justru mendukung kebijakan tersebut, yang pada akhirnya memperkuat posisi oligarki di Indonesia.
Pendidikan Pesantren: Antara Moralitas dan Tekanan Ekonomi
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang melahirkan santri, memainkan peran vital dalam membentuk pola pikir dan nilai-nilai moral mereka. Pesantren telah lama menjadi benteng moralitas Islam yang mengajarkan kesederhanaan, kejujuran, dan perjuangan bagi keadilan sosial. Namun, dalam konteks kontemporer, pesantren juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam mempertahankan independensinya dari pengaruh kekuatan politik dan ekonomi besar.
ADVERTISEMENT
Dalam studinya, Zainal Arifin (2021) menunjukkan bahwa beberapa pesantren di Indonesia mulai terpengaruh oleh kekuatan politik dan ekonomi eksternal. Banyak pesantren yang kini menerima bantuan dari pengusaha besar atau partai politik untuk menjalankan kegiatan mereka. Sementara di satu sisi, hal ini dapat membantu meningkatkan kapasitas pesantren dalam menyediakan pendidikan yang lebih baik, di sisi lain ada kekhawatiran bahwa ketergantungan finansial ini akan memengaruhi independensi pesantren dalam menyuarakan kritik terhadap kekuasaan.
Selain itu, dalam beberapa kasus, pesantren besar juga mulai terlibat dalam bisnis dan investasi yang melibatkan jaringan oligarki. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pesantren, yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran moralitas dan keadilan sosial, akan kehilangan esensinya dan menjadi bagian dari sistem ekonomi-politik yang dikuasai oleh oligarki.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, masih banyak pesantren di Indonesia yang mempertahankan independensinya dan tetap kritis terhadap kekuatan oligarki. Pesantren-pesantren ini menolak segala bentuk campur tangan dari kekuatan politik atau ekonomi besar, dan fokus pada pengajaran Islam sebagai agama yang membela kaum tertindas (mustadh'afin). Mereka percaya bahwa santri harus menjadi agen perubahan sosial yang memperjuangkan keadilan dan melawan ketidakadilan struktural yang diproduksi oleh oligarki.
Santri dan Peran Politik yang Diharapkan
Meski tantangan yang dihadapi santri dalam politik Indonesia sangat besar, tidak berarti mereka tidak dapat memainkan peran penting dalam membela kepentingan rakyat kecil. Salah satu langkah penting yang harus diambil oleh santri adalah mempertahankan komitmen terhadap nilai-nilai moralitas Islam dan menjauhi godaan pragmatisme politik yang sering kali membawa mereka ke dalam lingkaran kekuasaan oligarki.
ADVERTISEMENT
Sebagai kelompok yang memiliki basis moralitas yang kuat, santri memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin politik yang bersih dan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat. Mereka harus mampu berdiri di atas semua tekanan politik dan ekonomi, dan tetap konsisten dalam memperjuangkan keadilan sosial. Salah satu kunci untuk mencapai ini adalah melalui penguatan pendidikan politik kritis di pesantren, sehingga santri yang terjun ke dunia politik memiliki kesadaran akan pentingnya independensi politik dan integritas moral.
Penelitian dari Choi (2019) menunjukkan bahwa santri yang memiliki pendidikan politik yang baik lebih cenderung bersikap kritis terhadap kekuasaan dan menolak segala bentuk kooptasi oleh oligarki. Oleh karena itu, pesantren perlu memperkuat kurikulum politik yang kritis, yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga pengetahuan tentang dinamika politik dan ekonomi kontemporer. Dengan demikian, santri akan lebih siap menghadapi tantangan dalam dunia politik yang penuh dengan godaan kekuasaan dan uang.
ADVERTISEMENT
Menjaga Independensi Santri
Hari Santri harus menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk menilai kembali peran santri dalam politik Indonesia. Santri bukan sekadar simbol moralitas, tetapi juga agen perubahan sosial yang memiliki tanggung jawab besar dalam membela kepentingan rakyat kecil. Namun, di tengah dominasi oligarki, santri menghadapi tantangan besar dalam menjaga independensi politiknya.
Untuk itu, penting bagi santri untuk tetap kritis dan tidak terjebak dalam politik praktis yang hanya menguntungkan segelintir elit. Pesantren, sebagai tempat pendidikan santri, juga harus menjaga integritasnya dan menolak segala bentuk campur tangan dari kekuatan oligarki. Hanya dengan cara ini, santri dapat terus memainkan peran penting sebagai penjaga moralitas publik dan agen perubahan sosial yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Santri bukanlah alat suara oligarki. Mereka adalah garda depan dalam perjuangan melawan ketidakadilan sosial, dan harus terus mempertahankan independensinya di tengah tantangan zaman. Dengan memperkuat pendidikan kritis di pesantren dan mendukung santri yang berani bersikap kritis terhadap kekuasaan, kita dapat memastikan bahwa santri akan tetap relevan dalam perjuangan panjang untuk keadilan sosial di Indonesia.