Konten dari Pengguna

Bahasa Kita Formal, Tapi Tak Lagi Personal

Ahmad Sauqi Zamzami
Mahasiswa Unpam
8 Mei 2025 11:47 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Sauqi Zamzami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang duduk diam (sumber https://pixabay.com/id/photos/orang-duduk-bangku-sendiri-manusia-5956897/ )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang duduk diam (sumber https://pixabay.com/id/photos/orang-duduk-bangku-sendiri-manusia-5956897/ )
ADVERTISEMENT
Di meja rapat, di ruang kelas, di kolom komentar media sosial, bahasa kita semakin rapi, terstruktur, dan terstandar. Kita belajar berbicara dalam kalimat lengkap, menggunakan diksi yang baku, dan menata ujaran agar terlihat cerdas. Tapi di tengah semua keformalan itu, ada yang hilang yaitu
ADVERTISEMENT
Bahasa kita memang semakin formal, tetapi tidak lagi personal.

Bahasa Baku yang Terlepas dari Rasa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata formal diartikan sebagai “resmi atau sesuai dengan peraturan yang berlaku.” Sementara personal berarti “bersangkutan dengan pribadi seseorang.”
Masalahnya, saat bahasa hanya dikejar agar resmi, ia sering kehilangan unsur pribadi. Padahal, bahasa bukan sekadar alat menyampaikan isi kepala, ia juga jembatan dari hati ke hati.
Lihatlah surat dinas, pidato pejabat, atau pengumuman kampus. Kalimat-kalimatnya benar secara tata bahasa, tetapi terasa dingin, jauh, dan kaku. Kita seolah bicara, tapi tak mengundang dialog. Kita menyapa, tapi tak hadir secara utuh sebagai manusia.

Berbahasa Baku, Tapi Tak Menyentuh

Ilustrasi surat ( sumber https://pixabay.com/id/photos/teks-surat-tua-surat-surat-retro-4095909/ )
Di era digital, kita makin pintar memilih kata yang terlihat pintar. Tapi terlalu sering, kata-kata itu kehilangan jiwa. Kita menulis “dengan hormat” tapi sebenarnya tidak menghormati. Kita menutup email dengan “salam hangat,” padahal ditulis dengan jari yang dingin dan tergesa.
ADVERTISEMENT
Bahasa yang baik bukan hanya benar secara struktur, tetapi juga jujur secara rasa. Sayangnya, kejaran terhadap citra dan kesan membuat banyak dari kita lebih sibuk terdengar sopan daripada sungguh-sungguh hadir.

Bahasa Sebagai Ruang Pertemuan, Bukan Tembok

Kita butuh mengembalikan bahasa sebagai ruang pertemuan, bukan tembok pemisah. Kita perlu menyadari bahwa bahasa bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tapi bagaimana dan kepada siapa kita bicara.
Saat kita menulis kepada siswa, kepada teman, atau kepada publik, penting untuk bertanya,
Bahasa formal seharusnya tidak menghilangkan kehangatan. Bahasa profesional seharusnya tidak mematikan empati. Formalitas yang baik adalah yang tetap menghormati rasa manusia di balik kata-kata.
ADVERTISEMENT

Kembalikan Jiwa ke dalam Bahasa

Ilustrasi menulis ( sumber https://pixabay.com/id/photos/buku-catatan-tangan-pena-menulis-2178656/ )
Kita tak sedang menolak bahasa baku. Kita butuhnya. Tapi jangan biarkan keformalan menumpulkan kepekaan. Jangan biarkan kata-kata yang rapi mengasingkan kita dari pendengar atau pembaca kita.