Konten dari Pengguna

Demokrasi Simulatif: Ilusi Partisipasi, Manipulasi Media, dan Krisis Publik

Ahmad Sayyidulhaq Arrobbani Lubis
Master's Student of Sociology, University of North Sumatra - Article Editor
14 Oktober 2024 16:30 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Sayyidulhaq Arrobbani Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan.com, 2023
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan.com, 2023
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa yang dianggap sebagai basis demokrasi adalah bagaimana pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak politik dan hak asasi manusia dipastikan berjalan, termasuk hak hidup. Demokrasi didirikan atas prinsip bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan kesejahteraan, yang tidak boleh dilanggar oleh pemerintah atau otoritas lainnya. Hak hidup adalah salah satu hak paling dasar yang harus dijamin dalam setiap sistem demokrasi, karena tanpa itu, hak-hak lain seperti kebebasan berekspresi, beragama, dan berpartisipasi dalam pemerintahan menjadi tidak bermakna. Perlindungan hak untuk hidup merupakan dasar dari wacana hak asasi manusia dan pemerintahan yang demokratis. Tanpa jaminan hidup, tidak ada hak-hak lain—sipil, politik, atau ekonomi—yang dapat dilaksanakan atau dinikmati dalam ruang publik yang sehat (Ishay, 2004).
ADVERTISEMENT
Demokrasi yang sehat adalah yang mampu menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kesejahteraan kolektif, dengan selalu menempatkan hak hidup sebagai pilar utama dalam pembangunan kebijakan. Negara sebagai mandataris harus bertanggung jawab penuh atas keterjaminan hak hidup warga, dimulai sejak sebelum lahir, kelahirannya, saat ini, dan masa depannya. Maka apa yang disebut sebagai demokrasi pantasnya tidak terpaku dalam ruang semu yang kabur dengan kenyataan/realitas, karena ini menyangkut pada kehidupan warga negara secara penuh. Jean Baudrillard, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, memberikan kritik mendalam terhadap demokrasi dalam konteks masyarakat kontemporer yang didominasi oleh media dan simulasi.
Simulasi bukan lagi sebuah wilayah, makhluk referensial, atau substansi. Simulasi adalah pembuatan model-model yang nyata tanpa asal-usul atau realitas: sebuah hiperrealitas (Baudrillard, 1994). Dalam pandangannya, sistem politik modern, termasuk demokrasi, tidak lebih dari sekadar simulasi yang menciptakan ilusi partisipasi dan kebebasan. Dengan pandangan Baudrillard, fenomena ini dapat disebut sebagai demokrasi simulative, dimana partisipasi politik diatur dan diatur oleh mekanisme yang tidak sepenuhnya otentik. Warga negara tidak lagi benar-benar memengaruhi keputusan politik secara langsung, tetapi lebih dilibatkan dalam pertunjukan politik yang dipoles oleh media untuk menciptakan perasaan keterlibatan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi tidak lebih dari komoditas yang dikonsumsi oleh publik, di mana pemilu, kampanye, dan debat politik hanyalah sarana untuk menghibur dan memanipulasi massa, bukan untuk menciptakan perubahan substansial. Demokrasi dalam era modern, telah kehilangan otentisitasnya dan hanya menjadi bagian dari konsumsi budaya. Dalam skema ini, warga negara menjadi konsumen politik, bukan pelaku aktif yang berkuasa dalam sistem politik.

Politik sebagai Hiburan: Membedakan Antara Citra dan Substansi

Kita hidup di era di mana politik sering kali dianggap sebagai sebuah bentuk hiburan. Politisi semakin memanfaatkan platform media untuk memupuk status selebritas mereka, mengaburkan batas antara wacana politik dan hiburan (Rai & Monk-Payton, 2024). Fenomena ini bukan hanya sekadar hasil dari perkembangan teknologi informasi, tetapi juga mencerminkan pergeseran mendalam dalam cara kita memahami dan terlibat dalam proses politik. Infotainment menggabungkan informasi dengan hiburan, yang mengarah pada konten politik yang sensasional yang dapat mengaburkan isu-isu kritis (Hoffman & Rotich, 2023).
ADVERTISEMENT
Media massa telah mengambil alih peran penting dalam membentuk narasi politik, menjadikan peristiwa-peristiwa politik lebih dramatis dan menarik, sementara pada bagian substansi dari kebijakan sering kali terabaikan. Kita perlu menyadari bahwa apa yang kita saksikan bukanlah proses deliberatif dengan partisipasi aktif, pertukaran ide, fokus pada kualitas argument, keputusan yang berbasis consensus dan inklusi dan representasi yang mendalam, melainkan sebuah pertunjukan yang dibungkus dalam citra dan penampilan.
Ketika kita sebagai warga negara merasa terlibat dalam politik melalui pemilu dan kampanye, penting untuk mempertanyakan seberapa nyata keterlibatan tersebut. Sering kali, suara kita hanya sebatas sebagai bagian dari tontonan yang tidak menghasilkan perubahan berarti. Keputusan politik yang diambil tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat, tetapi lebih pada strategi komunikasi dan citra publik. Kita perlu menyadari bahwa menjadi penonton dalam drama politik ini tidak memberikan dampak positif pada kehidupan kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Melalui Baudrillard kita diingatkan bahwa dalam dunia hiperrealitas, representasi politik tidak lagi mencerminkan realitas, melainkan menciptakan realitas baru yang sering kali terputus dari kebutuhan kita. Dengan mempertanyakan dan menantang status quo ini, politik tidak seharusnya hanya menjadi tontonan yang menghibur, tetapi harus menjadi arena di mana suara dan kepentingan kita didengarkan. Substansi politik dalam dunia politik harus dikembalikan, hal ini ditujukan agar partisipasi warga negara tidak sebatas ada pada tataran simbolik, melainkan menjadi kekuatan yang mendorong transformasi sosial.

Krisis Kepercayaan Terhadap Institusi Politik dalam Era Demokrasi Simulatif

Krisis kepercayaan terhadap institusi politik dalam era demokrasi simulatif semakin mendalam dan menjadi permasalah besar yang dihadapi masyarakat. Ketidakpuasan yang meluas terhadap proses politik, yang sering kali dianggap tidak transparan dan tidak akuntabel, menciptakan skeptisisme yang signifikan terhadap pemerintah dan lembaga demokrasi. Apalagi keputusan yang diambil oleh pemimpin politik tidak lagi mencerminkan aspirasi dan kebutuhan rakyat, tetapi lebih didasarkan pada kepentingan elit dan kelompok tertentu, maka konsekuensinya masyarakat akan merasa terasing dari proses yang seharusnya mereka kendalikan.
ADVERTISEMENT
Krisis kepercayaan terhadap institusi politik dapat dilihat sebagai manifestasi dari hiperrealitas yang membentuk persepsi kita terhadap demokrasi. Dalam dunia yang didominasi oleh citra dan simulasi, institusi politik berfungsi lebih sebagai representasi daripada sebagai entitas yang memiliki substansi. Ketika masyarakat terpapar oleh informasi yang terdistorsi dan narasi yang dibangun oleh media, kepercayaan terhadap institusi politik semakin tergeser. Rakyat tidak hanya meragukan efektivitas kebijakan yang diterapkan, tetapi juga mempertanyakan legitimasi para elit politik yang berkuasa.
Dalam hiperrealitas, apa yang kita lihat dan rasakan sering kali tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, pemilu dan kampanye politik bukan lagi ruang bagi warga untuk mengekspresikan aspirasi mereka, tetapi menjadi pentas yang disiapkan untuk menciptakan ilusi keterlibatan. Para pemimpin politik mengemas diri mereka dalam citra yang telah diseleksi dengan cermat, mengabaikan substansi dari kebijakan yang mereka tawarkan. Iklan politik menggambarkan bagaimana media sosial menciptakan lingkungan yang sangat nyata. Iklan-iklan ini menggunakan simbol dan bahasa untuk membangun realitas politik baru, memengaruhi persepsi dan keterlibatan pemilih melalui konten yang digerakkan oleh kecerdasan buatan (Daherman et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Konsep hiperrealitas Baudrillard menyoroti objektifikasi individu dalam budaya kontemporer, di mana warga negara menjadi konsumen pasif dari narasi politik yang dimediasi. Kepasifan ini mengurangi subjektivitas mereka, mereduksi mereka menjadi objek dalam tontonan politik (Masut et al., 2023). Warga negara, dalam posisi ini, menjadi konsumen dari "produk politik" yang dijual kepada mereka, bukannya pelaku aktif yang memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan. Fenomena ini memperkuat krisis kepercayaan ketika politik disajikan sebagai hiburan, banyak orang merasa terputus dari realitas kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka. Masyarakat menjadi skeptis terhadap kemampuan institusi politik untuk merespons kebutuhan mereka. Dalam banyak kasus, suara mereka tidak hanya diabaikan, tetapi juga dipandang sebagai bagian dari "tontonan" yang diatur untuk kepentingan segelintir elit yang menguasai sistem.
ADVERTISEMENT

Membangun Kembali Partisipasi Publik: Dari Simulasi Menuju Substansi

Pada krisis kepercayaan dan ilusi partisipasi yang menyelimuti demokrasi simulatif ini, penting untuk membangun kembali bentuk partisipasi publik yang otentik dan bermakna. Perlu untuk menggali kembali makna sejati dari partisipasi politik untuk memasuki kembali dunia yang dibentuk oleh realitas substantif. Dalam hal ini, partisipasi tidak boleh hanya terbatas pada ritual simbolik yang memenuhi normatifnya demokrasi, melainkan menjadi proses yang mampu mereaktifkan keterlibatan warga negara secara aktif dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka sendiri.
Proses ini membutuhkan perubahan paradigma dalam cara negara memahami hubungan antara warga dan institusi politik. Pemahaman dengan mementingkan citra dan manipulasi media haruslah dialihkan menuju pendekatan yang berfokus pada substansi dan keadilan. Warga negara bukan hanya sebagai konsumen informasi, tetapi sebagai produsen ide dan inisiatif yang mampu mempengaruhi kebijakan publik. Penciptaan ruang bagi suara-suara yang sering kali terabaikan menjadi penting dalam hal ini. Sebagai langkah awal, perlu adanya upaya untuk memisahkan antara konten politik yang bermakna dan citra yang menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Warga negara harus terlibat untuk berpartisipasi dalam forum-forum deliberatif yang memungkinkan pertukaran ide secara langsung dan mendalam. Selain itu, upaya untuk mendekonstruksi citra-citra politik yang terdistorsi juga harus dilakukan. Media harus bertanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat dan kontekstual, sehingga warga dapat membuat keputusan yang lebih baik. Pada saat yang sama, pendidikan politik yang menekankan pentingnya partisipasi aktif harus diperkuat untuk membangun kesadaran kritis masyarakat.
Dalam perjalanan ini, kita harus tetap kritis terhadap cara kita berinteraksi dalam dunia politik. Masyarakat perlu ditanamkan rasa memiliki terhadap proses politik dan ditantang untuk melampaui batasan-batasan yang ada, sehingga partisipasi tidak hanya menjadi sekadar simbol. Hanya dengan merobohkan tembok-tembok simulasi dan membangun kembali jembatan yang menghubungkan citra dengan substansi, kita dapat berharap untuk menghidupkan kembali makna sesungguhnya dari demokrasi yang berlandaskan pada hak asasi manusia dan kesejahteraan kolektif.
ADVERTISEMENT

References

Baudrillard, J. (1994). The Illusion of the End. Stanford University Press, Stanford.
Daherman, Y., Taufiq, I., Moekahar, F., & Haryadi, O. (2024). Hyperreality of #pilpres2024 in digital political advertisements on Social Media based on Artificial Intelligence. Journal of Law and Sustainable Development, 12(1), 1–14. https://doi.org/10.55908/sdgs.v12i1.2419
Hoffman, L. H., & Rotich, G. K. (2023). The Geopolitics of Infotainment. Oxford Research Encyclopedia of Communication, 19(36). https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228613.013.1042
Ishay, M. R. (2004). The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. University of California Press, California.
KumparanNEWS. (2023, December 13). Pakar Politik UGM Nilai Prabowo Kerepotan di Debat Capres, Anies & Ganjar Lancar. Retrieved October 14, 2024, from Kumparan.com website: https://kumparan.com/kumparannews/pakar-politik-ugm-nilai-prabowo-kerepotan-di-debat-capres-anies-and-ganjar-lancar-21lEhlL06jR
ADVERTISEMENT
Masut, V. R., Wijanarko, R., & Pandor, P. (2023). Objektivikasi Subjek dalam Budaya Kontemporer berdasarkan Konsep Hiperrealitas Jean Baudrillard. Jurnal Filsafat Indonesia, 6(3), 303–315. https://doi.org/10.23887/jfi.v6i3.59000
Rai, S., & Monk-Payton, B. (2024). In Focus Introduction: The Celebritization of Politics in Global Media Culture. Journal of Cinema and Media Studies, 63(2), 144–148. https://doi.org/10.1353/cj.2024.a919195