Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengurai Benang Kusut Tindak Kekerasan Di Lingkungan Pendidikan
9 November 2024 21:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Septian Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan membuat persepsi masyarakat terhadap kualitas sekolah di Indonesia menjadi semakin buruk. Sekolah yang mulanya dianggap sebagai tempat aman bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sekarang mulai tergeser citranya menjadi tempat yang menyeramkan.
ADVERTISEMENT
Kekerasan di lingkungan pendidikan kerap terjadi dalam beberapa dimensi, di antaranya kekerasan siswa kepada siswa, guru kepada siswa atau siswa kepada guru. Tanpa menganggap yang satu lebih buruk dari yang lain, sejujurnya kekerasan itu akan membawa dampak buruk bukan hanya pada kondisi psikis seseorang secara personal, melainkan juga pada kualitas pendidikan itu sendiri secara komunal.
Di tengah tingginya angka kekerasan yang terjadi di sekolah, nampaknya belum terlihat ada upaya serius dari pemerintah untuk menekan angka tersebut. Kendati, melalui Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) pemerintah telah merekomendasikan pembentukan Tim Pencegahan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap sekolah, namun sepertinya hal itu dirasa belum cukup mengurai permasalahan yang ada.
ADVERTISEMENT
Ketersebaran informasi mengenai Permendikbudristek ini dianggap belum cukup optimal. Sehingga, banyak di antara guru, siswa bahkan orang tua yang belum mengetahui, tindakan apa yang termasuk dalam kategori kekerasan. Selain itu, guru yang juga sering menjadi sorotan dalam hal ini, nampaknya perlu mengevaluasi diri akan fungsinya dalam relasi kuasa sebagai pendidik.
Sebagaimana yang terjadi pada seorang guru di SMAN 2 Cianjur yang memukul wajah siswanya hanya karena senyuman . Hal itu, mungkin tidak akan terjadi jika guru memahami posisinya dalam ruang pendidikan, yakni sebagai orang yang dianggap mampu memahami peserta didik. Pemahaman pedagogis akan fungsi dan posisinya sebagai seorang pendidik sangat penting dalam menentukan hubungannya dengan siswa.
Oleh karena itu, untuk mengurai tindak kekerasan yang terjadi di sekolah khususnya yang berpotensi melibatkan guru sebagai pelaku. Perlu adanya monitoring dari dinas terkait untuk memastikan apakah setiap elemen di sekolah sudah tersosialisasi serta berperan aktif menjalankan amanat Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang PPKSP.
ADVERTISEMENT
Manajemen sekolah harus mampu menjembatani pertemuan antara orang tua, siswa dan guru mengenai upaya menyamakan persepsi terhadap proses pendisiplinan, jika siswa melanggar peraturan. Sebab di satu sisi guru dibebankan dengan fungsinya sebagai pendidik sementara di sisi lain ada hak-hak perlindungan anak yang juga perlu diperhatikan bersama.
Dengan memahami apa saja tindakan yang termasuk ke dalam kategori kekerasan, maka besar kemungkinan para guru akan mengetahui batasan-batasan dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Akan tetapi hal itu tidak serta merta melindungi guru dalam tugas mengajarnya, jika pemahaman tersebut tidak dipahami juga oleh orang tua, oleh karena itu, penting juga bagi orang tua memahami bahwa disiplin positif merupakan bagian dari pendidikan.
Selanjutnya, menurut Iman Zanatul Haeri Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dalam sebuah siniar, agar kesadaran akan peran guru sebagai pendidik dan fungsinya dalam relasi kekuasaan terbangun, maka guru juga perlu berperan aktif dalam organisasi profesi. Dengan begitu, guru juga mengetahui apa langkah strategis yang harus dilakukan jika di kemudian hari harus berhadapan dengan perkara hukum.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit guru yang dipidanakan oleh orang tua siswa, karena orang tua merasa tidak terima dengan cara guru, menegur, memperlakukan atau menasihati anaknya. Oleh karena itu kesadaran akan adanya advokasi terhadap guru juga menjadi sesuatu yang penting. Karena, sama halnya dengan dokter, teknisi dan profesi lainnya, profesi guru juga dilindungi oleh hukum, selama perbuatannya sesuai dengan norma hukum serta asas kepatutan yang berlaku.
Penyebab Kekerasan Di Kalangan Siswa
Selain kekerasan yang melibatkan guru, kekerasan yang melibatkan siswa juga tidak kalah peliknya, dari mulai perundungan, perkelahian hingga tawuran pelajar. Hal itu menjadi momok yang menakutkan bagi para orang tua. Kekerasan yang terjadi di kalangan siswa harus segera ditemukan solusinya, sebab jika tidak hal itu akan menghambat cita-cita Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan Febri Marlangan, Ni Made Novi Suryanti dan Syafruddin pada Jurnal Pendidikan Sosial Keberagaman dengan judul Kekerasan Di Sekolah Studi Pada Siswa SMA/SMK Di Kota Mataram, menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan antar siswa di antaranya adalah dukungan massa. (Marlangan, Suryanti, & Syafruddin, 2020)
Sejalan dengan itu Jurnal Psikologi Volume 1 berjudul Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Perilaku Tawuran Pada Siswa SMK di Kota Bekasi, yang disusun oleh Farhan Saputra dan kawan-kawan menyebutkan dorongan dari grup atau geng untuk bertindak agresif demi mempertahankan loyalitas dan identitas diri di dalam grup menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan antar sesama siswa. (Saputra, Maemun, Oktian, & Pertiwi, 2024)
Dalam teori Hierarki Kebutuhan Maslow, pada dasarnya untuk segala sesuatu yang telah dicapai, manusia pasti memerlukan penghargaan demi rasa kepuasan tersendiri. Penghargaan itu diberikan oleh orang lain kepada dirinya. Dalam hal ini, pencapaian yang sering terjadi dalam lingkaran kekerasan adalah dianggap berani melakukan agresifitas. Sehingga dorongan untuk melakukan kekerasan atas dasar kebutuhan akan pengakuan dari kelompoknya menjadi sangat besar.
ADVERTISEMENT
Hal ini menegaskan bahwa peran serta orang tua dan sekolah dalam mengawasi lingkungan pertemanan siswa memiliki pengaruh langsung dalam terjadinya kekerasan di kalangan siswa. Untuk itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu menciptakan lingkungan positif yang dapat mengakomodir kebutuhan peserta didik akan pengakuan dari lingkungannya.
Guru dan seluruh elemen sekolah harus bisa menerapkan budaya penghargaan pada setiap langkah kecil pencapaian positif yang diraih oleh siswa. Tak kalah penting, hal ini juga harus membudaya di antara siswa lainnya, sehingga pengakuan atas pencapaian itu juga hadir di antara sesama siswa.
Selain itu, kebijakan anti-kekerasan juga perlu menjadi semangat sekolah dalam upaya meminimalisir kekerasan di lingkungannya. Sanksi bagi para pelaku kekerasan mesti memperhatikan prinsip edukatif agar dapat memberikan efek jera. Peran guru bimbingan konseling serta pembinaan keagamaan juga dapat dilakukan sebagai upaya rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Membangun sistem tersebut tentu bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Pentingnya kolaborasi dan peran aktif dari berbagai pihak sangat menentukan perbaikan kualitas sekolah secara signifikan. Dengan memperhatikan fungsi guru sebagai pendidik serta kebutuhan siswa akan pengakuannya, maka sekolah diharapkan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua pihak.