Konten dari Pengguna

Perlukah 'Anak Nakal' Masuk Barak?

Ahmad Septian Said
Guru SMA Negeri 90 Jakarta dan Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia.
6 Mei 2025 11:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Septian Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto : canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : canva.com
ADVERTISEMENT
Indonesia baru saja memperingati hari Pendidikan Nasional, dan isu seputar pendidikan memang sedang naik-naiknya, boleh dibilang, pendidikan di Indonesia sedang mengalami masa uji yang signifikan. Sebagaimana baru-baru ini Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi membuat kebijakan untuk mengirimkan siswa dengan catatan kedisiplinan kurang baik 'Anak Nakal' ke barak militer. Meskipun saya bukan warga Jawa Barat, tetapi isu ini melintasi ruang, sehingga sebagai pelaku pendidikan, rasa-rasanya hal ini perlu diberikan catatan khusus.
ADVERTISEMENT
Per hari ini, data mencatat sudah ada 39 siswa dari Purwakarta dan 40 siswa dari Sumedang, yang dikirim oleh Gubernur Jawa Barat ke markas-markas tentara untuk menjalani program re-edukasi (pendisiplinan untuk mengubah perilaku). Termasuk di antaranya adalah para pelaku tawuran, geng motor, balapan liar, penyalahgunaan narkoba hingga pemain game online.
Komitmen untuk mendisiplinkan dan mengubah perilaku anak-anak tersebut perlu kita apresiasi, namun langkah yang diambil Gubernur Jabar itu perlu ditinjau kembali. Mengapa suatu kebijakan yang berkaitan dengan anak-anak mesti melalui tahapan yang matang?
Karena, berkaitan dengan anak atau remaja, tindakan yang dilakukan orang tua, guru atau pemerintah, bagi mereka akan diasosiasikan sebagai suatu timbal balik. Jika seorang anak melakukan kesalahan kemudian orang tua atau gurunya mengambil keputusan terhadap kesalahan itu, maka tindakan yang diambil oleh orang tua/guru itu akan membekas pada dirinya sebagai sebuah hukuman.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa tidak selalu niat baik mendisiplinkan anak, akan terbebas dari bias. Keputusan orang tua, guru atau pemerintah akan selalu mungkin mengandung bias implisit, sebuah sikap tanpa sengaja dan stereotipe tanpa sadar yang dapat memengaruhi pemahaman, tindakan dan keputusan seseorang.
Tanpa perlu perdebatan dan jika mau jujur, kita selalu meletakkan stereotipe bahwa anak-anak dari kalangan ekonomi rendah berpotensi lebih nakal dari anak-anak keluarga ekonomi tinggi, atau kita akan menganggap anak perempuan lebih rajin dari anak laki-laki. Itu adalah bias implisit, suatu keputusan yang dihasilkan tanpa adanya proses berpikir.

Masa Remaja

Kebijakan ini mulanya berawal dari kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pelajar terhadap kakeknya akibat kecanduan game online. Dan melalui Pak Dedi Mulyadi, Pemprov Jabar dengan cepat menyimpulkan bahwa pola asuh di rumah serta pendidikan konvensional tidaklah lagi mampu menghadapi generasi muda, sehingga perlu adanya intervensi untuk mengubah perilaku mereka, dan cara yang dilakukan adalah dengan pendekatan militer.
ADVERTISEMENT
Pertama, jika berkaitan dengan kenakalan remaja, banyak sekali faktor yang menyebabkan itu, misalnya penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan anak nakal antara lain disebabkan karena, kurang tersedianya waktu orang tua untuk mendidik anak karena harus bekerja, hal itu berdampak pada kurangnya pengawasan, pengaruh lingkungan tempat tinggal, dan menurut teori Rational Choice sangat mungkin kenakalan seorang anak didorong oleh kemauannya sendiri.
Kedua, masa remaja seperti yang sudah banyak disebutkan dalam penelitian, ditandai dengan perubahan fisik serta meningkatnya intensitas emosi. Selanjutnya, tuntutan kelompok sosial mulai perubahan minat serta pola perilaku. Dampaknya, nilai-nilai yang ia yakini pada masa anak-anak seperti harus berkata jujur, tidak boleh berkelahi, dan lain sebagainya akan mudah berubah oleh karena turut sertanya perubahan fisik serta psikisnya. Dan menurut Yudho Bawono (2011) sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi takut bertanggung jawab akan akibatnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, bagi kelompok remaja, identitas adalah suatu kepentingan, kesamaan dengan temannya, lingkungan serta identitas sosial merupakan dambaan personal. Diketahui juga bahwa remaja terkadang memiliki harapan yang tidak realistis, yang kemudian menimbulkan potensi emosional jika ekspektasinya tidak sesuai realitas. Hingga, mereka memasuki fase ambang dewasa, di mana mereka mulai merasa bingung dalam bersikap dan berperilaku layaknya orang dewasa.

Barak Anak

Sebuah penelitian dari Jamie E. Muscar yang menguji program rehabilitasi remaja berbasis disiplin militer di Amerika Serikat pada tahun 1980 saat tuntutan masyarakat Amerika ingin pemerintah mengambil tindakan cepat dan keras terhadap pelaku kekerasan. Hasil penelitiannya menunjukkan program tersebut gagal memenuhi tujuan rehabilitasi, dan justru menimbulkan banyak kasus di dalamnya sehingga memperburuk kondisi psikologis anak-anak.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dihasilkan oleh Doris L. MacKenzie seorang kriminolog Amerika menyatakan bahwa perubahan yang dibentuk oleh rasa takut akan bersifat temporer. Anak-anak yang memperoleh re-edukasi dengan pendekatan militer cenderung menghadapi perasaan takut, maka saat setelah ia keluar dari perasaan itu, mereka sangat mungkin mengulangi perbuatan yang sama.
Dalam penelitian lain, disebutkan bahwa Amerika pernah menyelenggarakan Juvenile Booth Camp pelatihan khusus yang berbasis militer maupun semi militer dengan memfokuskan pada perubahan perilaku anak nakal untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya meski program Juvenile Booth Camp mampu menanggulangi ‘anak nakal’ namun kurang efektif dalam penanganan residivis anak (2012).

Sikap Orang Dewasa

Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.
ADVERTISEMENT
Artinya bahwa seorang anak memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik, dengan tujuan perubahan bagi kehidupannya di masa depan menjadi lebih positif, dan upaya tersebut mesti dilakukan dengan melibatkan anak secara sadar alih-alih sebuah punishment.
Sebagaimana telah diurai pada argumen di atas, bahwa masa remaja adalah masa yang kompleks, perlu tahap demi tahap perubahan yang harus dilalui, sehingga lingkungan sekitar perlu memberi pendampingan kognitif dan afektif. Lingkungan inilah yang mesti menjadi perhatian kita bersama, adalah orang tua, guru serta masyarakat.
Melalui sekolah, guru dapat membantunya dengan program konseling, pembinaan edukatif serta proses yang lebih dialogis, karena untuk sampai kepada tahap anak mengerti atas tindakan impulsifnya (pelanggaran dan kenakalan), pendekatan keras sangatlah tidak mungkin, sebab itu perlu percakapan dua arah yang intens.
ADVERTISEMENT
Orang tua, harus menempatkan diri pada posisi yang suportif terhadap segala bentuk tindakan yang diambil oleh sekolah untuk mengubah perilaku anak ke depan, selama tindakan tersebut sesuai dengan kode etik serta ketentuan yang berlaku. Karena, masa-masa mereka harus terbiasa tidak selalu dibela orang tuanya, agar mereka merasakan bahwa perbuatan yang dilakukan menuntut tanggung jawab secara personal, sehingga mereka mulai menyadari eksistensi dirinya.
Harapannya jika lingkungan tempat anak-anak tinggal menjadi lingkungan yang saling mendidik, maka perubahan pada perilaku anak akan bersifat permanen, karena muncul dari dalam dirinya sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.