Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Mengurai Mitos Gerakan Mahasiswa Angkatan ‘66: Agent of Change?
9 April 2022 22:29 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ahmad Shalahudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 12 Januari 1966, pukul setengah 9, 10.000 mahasiswa bergerak dari Kampus UI Salemba menuju Senayan. Di pagi hari itu, mereka menghimpun diri di titik tujuan yang direncanakan sebelumnya, Gedung DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Ribuan orang ini diorganisasikan dan mengorganisasikan diri dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dalam apa yang mereka maksudkan sebagai show of force itu, tuntutan mereka—yang kemudian disebut Tritura, “Tiga Tuntutan Rakyat”—diteriakan dengan lantang: “BUBARKAN PKI, GANYANG MENTERI PLINTAT-PLINTUT, TURUNKAN HARGA BENSIN”. Coretan-coretan memenuhi tembok gedung DPR-GR: ‘Rakyat Melarat’, ‘Menteri-Menteri Foya-Foya di HI’, ‘Menteri-Menteri Jangan Nyabo Melulu – Bubarkan PKI’.
Beberapa jam kemudian, rombongan mahasiswa diterima Ketua DPR GR Kabinet Dwikora I, Arudji Kartawinata, yang menjanjikan akan menyampaikan tuntutan langsung kepada Bung Karno. Kata beberapa mahasiswa, “Kita terima janji dalam bulan puasa.”—untuk menunjukkan kepercayaan bahwa janjinya tidak akan dikhianati. Soe Hok Gie , di antara ratusan mahasiswa yang memasuki gedung DPR-GR, mungkin tak sendirian dalam keyakinannya bahwa “Mungkin mahasiswa akan membakar gedung ini jika tuntutannya tidak berhasil dalam 3 hari lagi.”
ADVERTISEMENT
Episode 56 Tahun yang Lalu
Sejak suasana panas di hari itu, demonstrasi terus berlanjut dan membesar. Lalu-lintas macet akibat boikot jalanan dan kendaraan yang dilakukan ribuan mahasiswa. Di tingkat tertentu, demonstrasi bahkan meluas menjadi konflik horizontal antara rombongan mahasiswa anti-PKI dengan ribuan mahasiswa lainnya yang tergabung dalam CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan GMNI-ASU (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia-Ali Soerachman). Kita pun tahu, sebagaimana dicatat oleh Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia , bahwa rombongan mahasiswa anti-PKI itu berintikan kelompok pemuda Islam, Katolik, dan mantan PSI yang kesetiaan politiknya bersesuaian dengan kepentingan ABRI.
Tentunya, sangat terang bahwa pihak ABRI berada di belakang demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI. Meskipun kemudian menjadi lebih jelas lagi, bahwa pada permulaan 1966 ini, hanya sedikit anggota PKI yang tersisa untuk dibunuh dan tuntutan ini—untuk meminjam ungkapan Ricklefs—hanya menjadi “celaan” bagi Bung Karno. Pendeknya, demonstrasi anti-PKI itu berikut dengan “Tiga Tuntutan Rakyat” yang lantang diteriakkan oleh ribuan mahasiswa—dengan sematan Rakyat yang tidak memiliki makna apa pun, kecuali—merupakan cerminan upaya perebutan kekuasaan oleh Soeharto dkk. dari Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Rentetan demonstrasi mahasiswa anti-PKI ini yang diklaim sebagai show of people’s force pada akhirnya hanyalah semacam machtsvertoon (pameran kekuatan) bagi kelompok Soeharto dkk. Hanya saja, sebab kekuasaan Bung Karno yang masih terlampau kuat, menyerang langsung Bung Karno saat itu hanya akan menampilkan kebodohan semata-mata. Bahkan, untuk menindas apa yang disebutnya “Gestapu”—sebutan yang dibuat untuk disejajarkan dengan polisi rahasia Nazi, Gestapo, Geheime Staatspolizei—Soeharto dkk. mengklaim bahwa ia sedang membela “revolusi” dan melawan percobaan “kontra-revolusi”. Demikianlah, sebagaimana dikutip dari Inventarisasi Arsip KOTI Nomor 17, dalam laporan yang diberi judul “Progress Report sementara dari Panitia Chusus Staf Angkatan Bersenjata tentang fakta penelitian Gerakan Kontra Revolusioner G 30 S, serta gagasan penyelesaian politik”, pada awalnya ABRI pun menyebut gerakan yang dilakukan Letkol Untung pada dini hari 1 Oktober 1965 sebagai “Gerakan Kontra Revolusioner G 30 S”.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, sebagaimana diketahui luas, episode terakhir dari apa yang disebut dengan “Gerakan Mahasiswa Angkatan ‘66” tidak terjadi seperti yang diharapkan para eksponennya. Apa yang dihasilkannya dengan menjadi “boneka ABRI” hanyalah berupa kekuasaan otoriter berumur 30 tahunan yang mendambakan masyarakat apolitis melalui penghambaan pada stabilitas politik, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan percaya mati-matian pada trickle-down-effect, dan tidak mengenal seperangkat Hak Asasi Manusia. Pendeknya, sejak meneriakkan “Tiga Tuntutan Rakyat”, gerakan mahasiswa angkatan ‘66 telah menipu dirinya sendiri dengan mengatasnamakan rakyat.
Meski episode itu telah berlalu 56 tahun lamanya dan generasi post-Reformasi cenderung mengalami—apa yang diistilahkan Ariel Heryanto sebagai—amnesia sejarah yang bersifat selektif, kita bisa menduga bahwa semangat dan ingatan sejarah masih tetap ditempelkan kuat dalam regenerasi gerakan mahasiswa hari ini, yang sebagian besar populasinya berupa kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dugaan tersebut bisa jadi keliru bila dipahami bahwa “Episode 56 Tahun Lalu” dimengerti secara jernih dan saksama oleh mahasiswa generasi kini. Bila diamati sejumlah artikel yang ditulis terkait gerakan mahasiswa angkatan ‘66, dugaan kita bisa dibenarkan dalam pengertian bahwa “Episode 56 Tahun Lalu” lalu itu dipahami dengan terlampau romantis dan sangat dekat dengan kekeliruan. Kata seorang penulis , “bahwa mahasiswa pada saat itu berperan besar dalam perubahan sosial dan menjadi sebuah kekuatan politik yang bisa bergerak dengan skala yang besar.”
Penulis tidak akan meramalkan bahwa “Episode 56 Tahun Lalu” itu akan terjadi lagi secepatnya, meskipun demonstrasi mahasiswa yang dipimpin Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI ) beberapa hari belakangan begitu marak. Akan tetapi, kiranya siapa pun bisa mengamati romantisme dan mitos sejarah yang dilanggengkan, bahwa mahasiswa adalah agent of change yang berperan besar dalam perubahan sosial, masih terlampau kuat dalam ingatan gerakan mahasiswa terkini. Bahkan, ingatan yang hampir sepenuhnya keliru itu membentuk dan juga menguatkan identitas mahasiswa sebagai aktor utama perubahan sosial.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa sebagai "Kekuatan Moral"
Lantas, dari mana identitas agent of change ini terbentuk? Kita mungkin perlu mengingat kembali, sebagaimana dicatat Geoffrey Robinson dalam The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966 , bahwa apa yang terjadi dalam “Episode 56 Tahun Lalu” bukan sekadar tentang militer mengendalikan mahasiswa layaknya boneka, tetapi—yang terpenting—juga tentang pembersihan gerakan dan ideologi kiri melalui pembunuhan lebih setengah juta orang. Pembunuhan Massal 1965-1966—yang diikuti teror fisik, persekusi, kerja paksa, hingga penyiksaan seksual—menyediakan prakondisi bagi proyek floating mass (massa mengambang) yang diinisiasi Letkol Ali Moertopo. Sebab sejak itu, Soeharto dkk. berhasil membersihkan “politik mobilisasi massa” yang marak dari kehidupan masyarakat sebelumnya—dengan menghancurkan gerakan buruh, petani, dan pelajar radikal.
Apa yang tersisa bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia, sebagaimana dicatat dengan baik oleh Max Lane dalam Unfinished Nation:Indonesia Before and After Soeharto , hanyalah “meyimbukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan, yakni bekerja dan berproduksi.” Akan tetapi, terdapat satu seksi dalam masyarakat yang dibebaskan oleh—untuk meminjam istilah Max Lane—Orde Baru Soeharto (OBS ) dari larangan politik mobilisasi massa: mahasiswa. Bukan hanya sebagai imbalan karena telah membantu militer membasmi komunisme, mahasiswa menikmati “panggung negara” karena kebutuhan militer demi menciptakan kesan legitimasi sipil bagi rezim junta militer yang akan dibentuknya.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, gerakan mahasiswa didefinisikan ulang sebagai gerakan kelompok mahasiswa anti-kiri yang dipimpin KAMI. Paradoksnya, meskipun mereka memberikan legitimasi sipil bagi militer untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno dan membentuk rezim junta militer, mahasiswa digambarkan sebagai “kekuatan moral” yang sama sekali tidak tertarik pada persoalan kekuasaan. Kalimat Max Lane lainnya, masih dalam Unfinished Nation: Before and After Soeharto, juga perlu dicatat: “Koran-koran yang dahulunya menempel pada partai-partai politik dan memiliki perspektif ideologi tertentu kini secara terang-terangan menggunakan cara pandang kontra-revolusi atau diam-diam menyetujuinya dalam masalah-masalah pokok.” Demikian, “Episode 56 Tahun Lalu” bukan hanya berhasil menciptakan rezim junta militer berumur 30 tahun lebih, melainkan juga turut membentuk identitas gerakan mahasiswa sebagai agent of change.
ADVERTISEMENT
Kita juga tidak boleh lupa, sebagaimana ditunjukkan Ruth McVey dalam artikelnya, "Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution ", bahwa konjungtur politik semasa dekade 1960-an menyediakan basis bagi pembentukan identitas gerakan mahasiswa angkatan '66. McVey mengamatinya dengan cermat bahwa: “Para mahasiswa, yang berasal dari keluarga-keluarga elite dan dengan jaminan karir di birokrasi, juga tidak tertarik pada PKI. Selain itu, para idealis di antara mereka tergalaukan oleh korupsi dan kemunafikan Demokrasi Terpimpin, dan mereka mempertimbangkan PKI secara khusus sebagai pihak yang bersalah karena mendukung sistem itu ...” Akibatnya, ekspresi kelas dan ide-ide anti-Establishment dari gerakan mahasiswa angkatan '66 menyatu dengan wacana anti-Komunisme yang diproduksi militer melalui monopoli informasi.
Pada akhirnya, gerakan mahasiswa angkatan ‘66—mungkin juga kini—layaknya teologi Leibniz menggambarkan Tuhan sebagai “tukang arloji akbar”, tidak bertindak apa pun sepanjang militer merebut dan membentuk kekuasaannya. Hingga akhirnya, episode rezim junta militer pun dimulai.
ADVERTISEMENT