Konten dari Pengguna

Fenomena Krusial Lembaga Penerbitan di Negara Indonesia

Ahmad Sirfi Fatoni
Saya dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Bahasa & Sastra, Universitas Negeri Makassar. Minat keilmuan saya terkait isu Bahasa Arab, Sastra Arab, Terjemahan, dan Pemikiran Arab Klasik-Kontemporer. Saya menyukai isu sosial, budaya & politik
10 November 2024 9:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Sirfi Fatoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penerbitan pada dasarnya adalah usaha profit-oriented, bukan usaha amal secara sukarela. Kalkulasi finansial (untung-rugi) akan menjadi pertimbangan yang signifikan dalam proses dan tahapan penerbitan buku. Atas dasar hal itu, dapat dimaklumi bahwa jika pertimbangan pasar menjadi hal yang krusial bagi umumnya lembaga penerbitan. Minat dan perhatian pada penerbitan buku bertumpu kepada animo massa dan respon pasar. Sepertinya kita harus memahami hal itu sebagai keniscayaan zaman kapitalisme. Namun demikian, alangkah baiknya jika semangat profit oriented tersebut kemudian dapat berjalan seiring dengan tujuan dan substansi dari penerbitan, khususnya karya-karya terjemahan, bukan malah meniadakannya.
Ilustrasi Lembaga Penerbit di Indonesia (Sumber: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/lembaga%20penerbit/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lembaga Penerbit di Indonesia (Sumber: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/lembaga%20penerbit/)
Penerbit yang melawan gerak zaman kapitalisme ini, kiranya tidak akan bertahan lama dan survive, kecuali ia mempunyai patron, yakni sumber funding yang cukup permanen dan kuat. Jika demikian keadaannya akan muncul pertanyaan: bukankah sama saja bahwa penerbit yang disebut terakhir itu tidak otonom dengan dirinya sendiri. Jika penerbit yang profit oriented tidak bisa melepaskan diri dari pertimbangan-pertimbangan pasar, maka jenis penerbit yang terakhir biasanya tidak otonom terkait “ideologi” dari pihak yang menjadi penyandang dana.
ADVERTISEMENT
Perbincangan seputar topik ini (penerbit mana yang lebih baik, antara penerbit yang berorientasi profit atau penerbit yang berorientasi amal) kiranya akan berujung pada banyak jawaban yang sangat relatif dan diskusi kusir yang variatif. Menurut fenomena di atas, baik atau buruknya suatu penerbit tidak dapat sepenuhnya dilihat dari status tersebut, namun lebih berkenaan pada hubungan penerbit dengan substansi dan tujuan penerbitan yang ditekuninya. Dalam konteks buku terjemahan, pihak penerbit mestinya mempunyai beberapa kriteria mendasar yang digunakan untuk memutuskan penerbitan suatu karya terjemahan.
Dapat diintisarikan setidaknya ada beberapa pokok yang perlu ditekankan oleh pihak penerbit, yaitu sebagai berikut:
1. Dorongan untuk selektif
Sikap selektif terkait dengan pemilihan naskah, baik naskah yang akan diberikan kepada penerjemah (untuk diterjemahkan) ataupun naskah terjemahan yang diajukan penerjemah untuk diterbitkan. Secara mendasar, sikap selektif mencakup dua hal, yaitu selektif materi dan selektif kualitas terjemahan. Selektif materi berarti dalam menentukan naskah terjemahan yang layak terbit, penerbit sebaiknya mengedepankan visi dan misinya untuk masyarakat dan kemanusiaan, daripada misalnya hanya menekankan aspek esensi. Akan tetapi, pertimbangan yang lain yaitu menyangkut persoalan pasar. Tema atau judul yang sensasional terutama tentang seksualitas dan dunai gaib senantiasa menjadi icon untuk merebut jiwa masyarakat dan pasar. Inilah ujian “ideologis” terberat yang sering dihadapi oleh setiap penerbit, yaitu antara visi versus pasar.
ADVERTISEMENT
Penerbit juga perlu selektif dalam hal kualitas terjemahan. Tidak jarang dengan pertimbangan tema yang menarik dan sangat menjanjikan di pasaran, lembaga penerbit bersedia untuk menerbitkan karya terjemahan yang sesungguhnya mempunyai kualitas terjemahan yang kurang memenuhi standar. Dampaknya, pembaca yang tidak kritis akan menjadi korban dari hal itu.
2. Berjiwa profesional
Yang dimaksud di sini yaitu penerbit mempunyai konsentrasi pada bidang tertentu dan bahasa tertentu yang diperkuat oleh staf-staf dan ahli bahasa yang terkait. Misalnya, suatu penerbit yang berkonsentrasi di bidang sastra, atau bahasa, atau politik internasional, atau sufisme sebaiknya harus melengkapi diri dengan sumber daya manusia yang benar-benar mempunyai perhatian yang mumpuni pada bidang tersebut.
3. Pengupayaan hak-hak penerjemah dengan baik
ADVERTISEMENT
Persoalan ini berulang kali disebut sebagai sumber atau biang kebangkrutan dunia terjemahan kita, yakni rendahnya pendapatan dari profesi penerjemah sebagai penyebab utama bagi penerjemah untuk tidak melakukan kerjanya dengan baik dan ideal. Seharusnya profesi penerjemah harus diperhitungkan dengan cara memberikan hak atau honor yang memadai, karena yang bekerja adalah otak bukan otot, kerja otak lebih berat daripada kerja otot dalam konteks ini. Bagi penerjemah, agar dapat menghasilkan kualitas terjemahan yang baik dan diterima oleh penerbit, seorang penerjemah harus mengetahui kemampuannya, termasuk kemampuan dalam hal menerjemahkan teks-teks baik itu teks bahasa Arab atau Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Seorang penerjemah disarankan untuk tidak memaksakan diri menerjemahkan teks-teks berat di luar kapasitasnya, sehingga hal itu akan mempengaruhi kualitas terjemahannya dan kepuasan khalayak umum dalam membaca karya terjemahannya pasca diterbitkan.
ADVERTISEMENT
Penulis: Ahmad Sirfi Fatoni
Dosen Tetap Prodi Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar