Agama Konghucu di Indonesia VS Ajaran Konghucu di China

Ahmad Sulthon Zainawi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
3 September 2020 5:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Sulthon Zainawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu pelegalan Konghucu sebagai salah satu agama di Indonsia terjadi pada masa pemerintahan Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui pertemuan tokoh agama di bali (Oktober 1999) dan masyarakat China di Beijing (November 1999). Sebenarnya kabar baik terhadap umat Konghucu waktu itu tidak hanya datang dari presiden Gus Dur tapi juga dari ketua MPR-RI, Amin Rais pada saat penutupan sidang umum MPR 1999.
ADVERTISEMENT
Tak dipungikri, isu tersebut menjadi realita ketika presiden Gus Dur memperbolehkan semua kegiatan keagamaan Konghucu dengan dikeluarkannya Inpres No. 27 1998 dan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan Inpres ini, maka dicabutlah Inpres No. 14 tahun tahun 1967 tentang diskriminasi agama Kongucu dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Kemudian rakyat Konghucu dapat merayakan hari raya Imlek 2551 secara nasional yang diadakan di Jakarta dan Surabaya pada bulan Februari 2000.
Pengkuan ini dilatar belakangi oleh 9 nilai prisma Pemikiran Gus Dur, yaitu: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Persaudaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Ksatria, dan kearifan lokal. Atau lebih gampangnya menyebut 9 nilai prisma itu dengan sebutan sikap humanis dan pluralis.
ADVERTISEMENT
Alasan penerimaan Konghucu sebagai salah satu agama yang beretnis China di Indonesia menurut Gusdur; pendapat Negara terhadap suatu agama merupakan kekeliruan. Menurutnya, agama dapat dikatakan agama atau tidak bukanlah urusan pemerintah sebab yang menghidupkan agama adalah hati manusia.
Maka secara resmi alias legal, Konghucu merupakan salah satu dari 6 agama yang banyak dianut oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Namun beda sekali dengan konghucu di Negeri Tirai bambu, negeri dimana para etnis Tionghoa berasal. Konghucu disana bukanlah suatu agama melainkan seorang mahaguru yang ajarannya sangat diagungkan.
Sumber tersebut didapatkan dari salah satu alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo yang saat ini merupakan kandidat doktor di Sun Yat-Sen University, China asal kelahiran Situbondo, yaitu Novi Basuki. 10 tahun hidup dan mengenyam pendidikan di China, tentu bukan hal yang asing bagi Novi Basuki untuk menceritakan seluk beluk tentang China.
ADVERTISEMENT
Sesuai pengalaman, pernah suatu ketika saya bertamu ke rumah Novi Basuki di Sumber Malang, Situbondo (16/04) kemarin. Disana Novi Basuki menceritakan bagaimana realita konghucu sesungguhnya di China yang sangat amat berbeda dengan konghucu di Indonesia, bahkan mirip seperti Islam Nusantara.
Ajaran Konghucu yang utama disana termaktub dalam kitab klasik berjudul Lun Yu yang tak lebih dianggap sebagai ajaran moral untuk falsafah hidup fundamental orang China. Isinya membahas tentang bagaimana cara bertatak rama mulai dari hal kecil namun krusial, seperti beretika kepada orang tua misalnya. Sampai kepada pembahasan bagaimana suatu negara dikelola dan seperti apa kelayakan seorang pemimpin di negara itu.
Sebagai salah contoh, dalam kitab Lun Yu bab 2 ayat 19 dan 20 Konghucu mengklarifikasi kapabilitas yang harus dimiliki oleh pemimpin suatu negara. Diantaranya; mengahadapi rakyat dengan keluhuran budi, memberi suri teladan dan dengan sikap bhakti dan kasih sayang, serta dapat mengangkat orang jujur dan menyingkirkan orang munafik.
ADVERTISEMENT
Disebutkan demikian, karena Konghucu adalah seseorang yang bermoral dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Baginya, tolak ukur utama kesuksesan seorang pemimpin tidak diukur dari kekuasaannya, tapi yang lebih penting adalah etika yang baik nan mulia.
Kemiripan dengan Islam Nusantra
Alasan disebut bahwa ajaran Konghucu mirip dengan Islam Nusantara, sebab di China ada Istilah Islam Konghucu sebagaimana Istilah Islam Nusantara di Indonesia. Perbedaan diantara keduanya hanyalah dalam kategori Mazhab. Jika Islam Nusantara bermazdhab Syafi’i, Islam Konhucu bermazhab Hanafi. Selebihnya hampir sama atau kalau dalam bahasa keren disebut 11:12
Contoh kemiripan diantara keduanya adalah berdakwah dengan melalui pendekatan budaya. Baik Islam Nusantara maupun Islam Konghucu, semuanya berdakwah dengan menyesuaikan kepada adat dan budaya yang ada kemudian membenarkan secara perlahan. Dalam perihal ini, sejarah Walisongo wabil khusus Sunan Kalijaga dalam menyebarkan syariat Islam mewakili bagaimana Islam Nusantara yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Alkisah, Sunan Kalijaga menyebarkan Islam dengan menggunakan dakwah bermodel kesenian dan kebudayaan lokal berupa wayang. Mekanisme dakwahnya, ia mengganti cerita wayang tentang Mahabrata dan Ramayana yang sebelumnya bercorak Hindu menjadi Islam. Peran beberapa tokoh di dalamnya seperti Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa digambarkan sebagai rukun islam.
Sama persis dengan Islam Konghucu di China yang tidak serta merta menyalahkan dan menghilangkan tradisi lama. Pada masa penyeberan Islam di China, masjid dibiarkan mempertahankan corak arsitektur China yang lebih menyerupai kelenteng dan orang muslim disana tidak dipaksa agar sefasih orang Arab ketika melafadzkan makharijul huruf. Ujar Novi Basuki dalam ceritanya ketika saya bertamu (16/04) kemarin.
Memahami kepada kemiripan tersebut, justru Islam Nusantara bertolak belakang dengan Islam Arab dilihat dari ciri-cirinya meski Islam sendiri lahirnya di Arab. Menurut KH. Said Aqil Siradj sebagai ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) Islam Nusantara berciri ramah, toleran, dan anti radikal. Sedangkan Islam Arab terlalu kering dan sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara yang telah mengamalkan Islam [Nusantara] yang kaya dan penuh nuansa, sebagaimana diucapkan oleh Prof. Azyumardi Asra selaku cendikiawan Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT