Konten dari Pengguna

Hari Raya dan Tirakat Anti Gratifikasi

Ahmad Syahrus Sikti Official
Penulis adalah Hakim Peradilan Agama. Penulis menyelesaikan program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pemerhati isu-isu sosial.
17 Maret 2025 13:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Syahrus Sikti Official tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source canva.com/image by @mauliagusti
zoom-in-whitePerbesar
source canva.com/image by @mauliagusti
ADVERTISEMENT
Jelang hari raya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi Terkait Hari Raya.
ADVERTISEMENT
Pemberian gratifikasi kepada birokrat tidak perlu dilakukan anggota masyarakat. Pemberian seperti parsel, hampers atau buah tangan lainnya lebih bermanfaat diberikan kepada panti asuhan atau kelompok fakir miskin ketimbang diberikan kepada birokrat yang notabene mampu secara finansial dan sudah mendapatkan take home pay yang cukup. Meskipun birokrat tersebut baik hati dan banyak membantu kita, masyarakat tidak perlu repot membalasnya dengan buah tangan sebab bukan membahagiakan justru menjadi masalah di kemudian hari.
Saat hari raya, masyarakat tidak boleh “genit” menyodorkan tawaran gratifikasi kepada birokrat sebab pemberian buah tangan kepada birokrat termasuk kategori gratifikasi yang dilarang hukum positif dan hukum agama. Mengapa dilarang? Pertama, pemberian gratifikasi dapat memicu terjadinya konflik kepentingan. Tidak ada pemberian gratis di dunia ini, setiap pemberian pasti ada maksudnya. Masyarakat yang memberikan gratifikasi saat hari raya tentu memiliki kepentingan meskipun tidak tampak. Kepentingan tersebut dibungkus dalam bentuk buah tangan, jika suatu saat pemberi gratifikasi ada keperluan maka yang bersangkutan tinggal menghubungi birokrat tersebut. Kedua, larangan menerima gratifikasi bertujuan agar birokrat tidak melakukan korupsi. Gratifikasi yang diterima birokrat akan mengubah keputusan sehingga pemberi gratifikasi akan mendapatkan privilege dan jalur pintas ketimbang orang lain. Ini adalah kezhaliman yang merusak tatanan birokrasi. Ketiga, seorang birokrat dilarang menyalahgunakan wewenang. Seorang birokrat yang masih menerima gratifikasi saat hari raya, maka sikap dan keputusannya mudah digoyang dan dipengaruhi oleh sang pemberi. Seorang birokrat yang seharusnya netral dan objektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya menjadi berat sebelah akibat “intervensi” buah tangan yang diterimanya.
ADVERTISEMENT
Seorang birokrat sebagai abdi negara sudah selayaknya malu menerima gratifikasi saat hari raya. Kebiasaan menerima akan menjadi boomerang bagi oknum birokrat ketika dirinya meminta atau menerima gratifikasi recehan maupun jumbo. Selain menjatuhkan harga diri di mata masyarakat, perilaku tercela tersebut akan terungkap suatu saat nanti, entah ada yang membocorkan atau sang pemberi yang menceritakan sendiri tindakannya kepada orang lain. Informasi tersebut menjadi bola panas dan liar di ruang publik yang menyebabkan wibawa sang birokrat anjlok seketika.
Lalu apa yang dapat dilakukan masyarakat? Jika ada oknum birokrat yang memberi kode atau terang-terangan meminta gratifikasi kepada masyarakat saat hari raya maka masyarakat dapat melaporkan kepada pihak berwenang, jika perlu diviralkan agar netizen membantu dan mengawasi perilaku bejat oknum birokrat tersebut.
ADVERTISEMENT
Budaya Malu Yang Hilang
Budaya malu telah lenyap di sebagian arena birokrasi. Oknum birokrat yang masih menerima gratifikasi jelang hari raya urat malunya sudah putus. Pemberian gratifikasi yang seharusnya ditolak secara tegas justru masih diterima oknum birokrat dengan berbagai modus operandi yang semakin konyol. Praktik tercela seperti ini sungguh memalukan dan mencoreng wajah birokrasi Indonesia. Jika didiamkan, praktik semacam ini dapat mendegradasi birokrasi ke titik nadir.
Oknum birokrat yang masih menerima gratifikasi saat hari raya tidak terlepas dari perubahan sosial. Gaya hidup urban dimana moral dan etika semakin redup membuat relasi sosial semakin jauh dari praktik terpuji. Perubahan gaya hidup di masyarakat tentu saja berpengaruh terhadap tensi malu di ruang publik. Artinya semakin ruang publik jauh dari nilai-nilai moral dan etis maka semakin redup rasa malu di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Penyebab hilangnya budaya malu di arena birokrasi adalah kita terlalu silau dengan budaya-budaya yang diimpor dari barat, budaya barat yang inklusif dan bebas telah menggerus budaya otentik khas nusantara. Apa yang datang dari barat dianggap istimewa, diterima mentah-mentah tanpa kritisisme sehingga masyarakat mudah meniru budaya barat. Asimilasi budaya barat inilah yang perlahan mulai meredupkan sinar kearifan lokal sehingga terjadi perubahan standar nilai besar-besaran di tengah masyarakat.
Tirakat Anti Gratifikasi
Hari kemenangan tidak boleh dikotori oleh segala bentuk penerimaan gratifikasi. Ajaibnya, hari raya yang merupakan barometer keberhasilan dalam ritual ibadah ternyata belum membekas sebab perilaku nirintegritas masih saja bercokol di dalam diri sang oknum.
Jangan sampai hari raya dijadikan momentum untuk memanen gratifikasi dari masyarakat karena masih ada oknum yang berani menerima langsung atau melalui pihak ketiga yang berada di bawah kendalinya, bahkan mereka tutup mata terhadap kondisi finansial sang pemberi. Mau orang susah atau bukan yang terpenting bagi sang oknum adalah menerima pemberian gratifikasi guna di-display di ruang tamunya, entah karena ingin pamer di hadapan para tamunya atau memang gemar mengoleksi barang gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Modus operandi penyerahan gratifikasi memiliki tenggang waktu tertentu biasanya terjadi saat pra maupun pasca hari raya keagamaan. Oleh karena itu, elemen lembaga dan warga negara harus bergandengan tangan untuk mengawasi para birokrat secara intensif saat memasuki waktu rawan. Sedangkan para birokrat tetap menjalankan tirakat anti gratifikasi agar diri dan keluarganya terhindar dari barang haram saat merayakan hari kemenangan.