Konten dari Pengguna

Kajian Semiotika: Unsur Jawasentris Pemilihan Nama Ibu Kota Negara "Nusantara"

Ahmad Syarifudin Firdaus
Saya merupakan mahasiswa program studi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Saya memiliki sejumlah pengalaman di bidang public speaking seperti menjadi pembawa acara dan moderator. Saat ini saya memfokuskan diri saya dalam bidang jurnalistik.
26 Desember 2022 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Syarifudin Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jawasentris. Sumber: Ilustrasi Penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jawasentris. Sumber: Ilustrasi Penulis.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf memang selalu dipenuhi sensasi. Berbagai kebijakan baru mewarnai pemerintahan ini, salah satunya adalah adanya realisasi proyek pemindahan ibu kota negara. Pada tahun 2019 lalu, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantar Timur. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya undang-undang pemindahan IKN (Ibu Kota Negara) disahkan. Berbagai pembangunan dikebut karena target selesainya proyek ini adalah tahun 2024 mendatang, atau lebih tepatnya sebelum Pemilu 2024 dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Pada Januari 2022 lalu, Presiden Joko Widodo secara mendadak mengumumkan nama resmi IKN Indonesia. Peresmian nama IKN ini sontak menjadi pro-kontra di masyarakat, lantaran nama yang dipilih presiden adalah nama Nusantara. Masyarakat yang kontra terhadap penamaan ini beranggapan jika pemberian nama Nusantara ini akan mengkerdilkan diksi Nusantara yang sudah ada dan berkembang hingga saat ini.
Sementara itu, presiden sendiri telah mengeliminasi 79 nama lain yang diusulkan seperti Warnapura, Cakrawalapura, hingga Kartanegara. Alasan utama pemilihan nama Nusantara ini adalah karena istilah Nusantara ini sudah ikonik di dunia Internasional dan selalu merujuk ke Kepulauan Indonesia (Yuliana & Atikurrahman, 2022) . Namun, apakah nama Nusantara ini sudah merepresentatifkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan?
ADVERTISEMENT
Dalam proses pemberian nama pada suatu tempat, proses yang paling rumit bukan terletak pada bagaimana nama tersebut dimunculkan. Namun, kerumitan muncul pada bagaimana publik dapat secara bersama menyepakati susunan kata tersebut menjadi sebuah nama dan mempersepsinya dengan makna yang sama (same meaning). Hal ini berkaitan erat dengan Teori Semiotika yang kental mempelajari mengenai tanda dan lambang. Dalam Teori Semiotik Pierce, sebuah tanda bersifat mewakili acuannya (Nurgiyantoro, 1994).
Sementara itu, pro-kontra pemilihan nama Nusantara sebagai nama ibukota Indonesia yang baru timbul akibat adanya anggapan jika kata tersebut akan memicu ambiguitas atau kegagalan penafsiran. Hal ini terjadi karena terdapat satu nama yang merujuk pada objek berbeda. Nama Nusantara sudah berkembang di masyarakat Indonesia dan sejumlah negara tetangga Indonesia. Nama ini merujuk kepada kesatuan gugusan kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki jejak histori dan kebudayaab yang sama, namun yang pada akhirnya harus terpisah menjadi beberapa negara karena dampak imperialisme barat. Sementara pemindahan nama Nusantara menjadi nama salah satu kota dapat menyebabkan bias pemaknaan atas istilah "Nusantara".
ADVERTISEMENT
Dalam kajian semiotika, setiap tanda atau lambang, dalam konteks ini adalah kata, mewakili rujukan atau referensinya masing-masing. Rujukan ini erat kaitannya dalam hal pemaknaan. Kata "Nusantara" yang digunakan sebagai nama ibukota sangat bias merujuk pada kepulauan Nusantara yang lebih dulu digunakan dan dikenal masyarakat. Selain itu, kata ini juga rawan untuk diartikan sebagai bentuk Jawasentris karena pada asal-muasal kemunculannya, kata ini merujuk sebagai sudut pandang orang Jawa dalam melihat wilayah di luar Pulau Jawa.
Jika dikaji lebih mendalam kaitannya dengan munculnya nama Nusantara dari segi sejarah, maka sebenarnya pemilihan kata ini menggeser makna Nusantara itu sendiri. Menurut Agus Aris Munandar, seorang arkeolog Universitas Indonesia, istilah Nusantara secara spesifik merujuk pada wilayah Kepulauan di luar Pulau Jawa yang hendak dikuasai oleh Kerajaan Majapahit sebagai bagian dari ambisi Gadjah Mada dalam Sumpah Pallapa. Pendapat Sejarawan, JJ Rizal, mengatakan jika nama Nusantara ini merupakan produk cara pandang Jawa di era Majapahit yang mana saat itu membagi wilayah kepulauan Indonesia menjadi 3 nama, Negaraagung (wilayah ibu kota Majapahit), Mancanegara (wilayah luar ibu kota dengan pengaruh budaya Majapahit), dan Nusantara (wilayah luar Jawa tanpa pengaruh budaya Majapahit). Artinya, pemilihan kata Nusantara ini cenderung lebih memandang wilayah Indonesia dari sudut pandang histori masyarakat Jawa. Hal ini menjadi pemantik distorsi pemaknaan yang dapat terjadi di kemudian hari dan menjadi landasan konflik antarmasyarakat di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Selain dalam makna, kata Nusantara sendiri diambil dari bahasa Sansekerta yang kemudian diadaptasikan menjadi bahasa Jawa Kuno. Hal ini membuktikan jika pemilihan nama Nusantara ini dapat memicu dugaan kecenderungan Jawasentris.
Lokasi IKN Nusantara yang terletak di luar Pulau Jawa, yang mana berada di bekas wilayah Kerajaan Kutai, pasti memiliki kekuatan budaya lokal tersendiri. Jika tidak ada kata yang mampu merepresentatifkan Indonesia secara keseluruhan, setidaknya nama IKN Nusantara dapat diadaptasikan dari budaya sekitar tempat IKN itu berada. Dengan dipilihnya nama Nusantara untuk merujuk suatu wilayah di Kalimantan, pemerintah seakan membawa “budaya Jawa” ke Pulau Kalimantan yang mana juga memiliki budaya tersendiri.
Seharusnya pemerintah mempertimbangkan kembali pemilihan nama Ibu Kota Baru Nusantara, mengingat pemilihan nama tersebut sangat kental dengan dugaan "Jawasentris" dan sangat rawan terjadi distorsi pemaknaan oleh masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Refrensi:
Nurgiyantoro, B. (1994). TEORI SEMIOTIK DALAM KAJIAN KESASTRAAN. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan, Vol.13(1), 51-66.
Yuliana, N. & Atikurrahman, M. (2022). Ibu Kota Negara yang (tak) Dirindukan: Kendi Nusantara, Jawaisme Jokowi, dan Semiologi Barthesian. Jurnal Online FONEMA, Vol.5(2), 104-128.