Konten dari Pengguna

Kebebasan dan Diktator Abad 21

Ahmad Yani Alfatih
Mahasiswa Magister Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
11 Oktober 2023 17:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Yani Alfatih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebebasan jika disandingkan dengan kediktatoran, pada diri individu-individu dewasa ini tidak ada ruang lagi untuk pertanyaan, semua hampir selalu memilih kebebasan. Sekalipun pilihan itu kerap kali membawa konsekuensi buruk.
ADVERTISEMENT
Sejak masa aufklarung yang mengantarkan kepada revolusi Prancis 1789, kebebasan tampil sebagai prinsip politik yang kuat, kendati di beberapa tempat masih belum memagangnya sebagai prinsip utama. Di Indonesia sendiri, kebebasan politik baru menjadi wacana dan prinsip utama setelah dilahirkan dari rahim reformasi 1998. Kini, hampir semua gandrung dan sadar, bahwa kebebasan adalah prinsip paling ideal yang selalu dirindukan, baik secara narasi sosial politik maupun sistem ekonomi.
Prinsip kebebasan ini diasumsikan oleh banyak pihak sebagai modal penting bagi maju dan berjayanya negara-negara besar hari ini. Sebagaimana dikatakan Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nation Fail, kebebasan dalam politik maupun ekonomi adalah sistem paling menguntungkan.
Kurang lebih dua abad terakhir, kebebasan telah menjadi prinsip utama yang dominan dan telah memberi banyak kemajuan bagi banyak orang dalam kehidupan. Bahkan Francis Fukuyama telah mendeklarasikan bahwa sejarah telah berakhir dengan kebebasan berada disinggasana raja sebagai pemenang. (baca: The End of History and the Last Man).
ADVERTISEMENT
Namun kejayaan itu segera diinterupsi dan dipertanyakan eksistensinya untuk abad 21 ini oleh kemajuan iptek yang lahir berkat kebebasan itu sendiri. Seperti kata Yuval Noah Harari, di abad 21 ini, kebebasan menghadapi tantangan yang amat serius, yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Kita lantas bertanya, apa yang hendak mengancam kebebasan? Apakah reinkarnasi Hitler, Stalin, Lenin, atau jelmaan Orde Baru, mungkinkah sosok Big Brother seperti yang digambarkan Orwell dalam 1984? Atau mungkinkah kita hendak kembali berlutut di hadapan sang Raja sebagai pengendali kekuasaan dan pemegang otoritas? Apakah ada sistem yang lebih baik daripada kebebasan, dengan individu sebagai subjek paling mengerti tentang harapan dan menentukan keinginannya?
Yuval Noah Harari telah menggambarkan situasi itu (abad 21), di mana kebebasan dengan asumsi-asumsi dasarnya, bahwa tidak ada yang lebih mengerti harapan dan keinginan individu melainkan individu itu sendiri, segera akan menemui tantangan yang cukup serius dengan asumsi terbalik, bahwa individu tidak cukup baik memahami dirinya. Tantangan itu datang dari apa yang disebut oleh Harari sebagai revolusi kembar; kecerdasan infotek dan biotek yang terintegrasi, menjelma melebihi hantu komunisme (baca: 21 Abad Untuk Abad ke 21).
ADVERTISEMENT

Bergesernya Otoritas

Sebelum revolusi aufklarung, kebebasan adalah sesuatu yang istimewa, yang hanya diperoleh oleh orang-orang istimewa, raja-raja yang dikultuskan, di mana hanya orang-orang itulah yang bisa berkehendak, yang mengendalikan otoritas. Dalam interaksi politik, tidak ada keharusan seorang penguasa mendengar suara hati dan pikiran individu masyarakat, tidak ada aspirasi yang mesti didengar, semua kebijaksanaan dan kebenaran terletak pada penguasa. Dengar dan patuhi!
Ketika zaman mulai tercerahkan, kondisi itu bergeser mengikuti bergesernya paradigma tentang kebenaran, bahwa tidak ada manusia yang dapat menghegemoni kebenaran, tidak ada darah dalam daging yang dikultuskan. Kebenaran adalah milik setiap individu merdeka sebagai subjek yang berpikir dan merasakan apa yang terbaik untuk dirinya serta bertanggung jawab atas pilihannya, individu adalah makhluk berkehendak.
ADVERTISEMENT
Dengan prinsip dasar itulah kebebasan berdiri dengan penuh keyakinan dan bersabda, bahwa tidak ada yang lebih baik dari kebebasan, bahwa tidak ada yang dapat mengerti pikiran, perasaan dan harapan terdalam saya melebihi saya sendiri. Dalam interaksi sosial politik maupun ekonomi, paradigma itu berselimut dalam bentuk Hak Asasi Manusia, yang bagi pembela HAM adalah sesuatu yang lebih mulia dari apa pun.
Hingga kini, paradigma (HAM) itu masih kokoh berdiri di puncak singgasana sebagai yang terbaik dan mungkin tak tergantikan. Namun segera setelah revolusi kembar infotek dan biotek yang akan mengintegrasikan aspek organik (biologi) dengan anorganik (teknologi) akan merongrong kebebasan setiap individu.
Kemajuan revolusioner dalam teknologi informasi dan biologi kini menemukan titik perjumpaan yang sungguh tak terduga pada zaman-zaman sebelumnya. Kedua aspek itu bertemu pada satu pemahaman, bahwa cara kerja otak, perasaan dan tubuh manusia bukanlah suatu kehendak bebas yang misterius, melainkan mekanisme saraf (mekanisme biokimia) yang menghitung probabilitas dengan amat cepat.
ADVERTISEMENT
Kita sekarang berada pada kondisi bertemunya dua sisi itu. Pada satu sisi ilmu biologi menjelaskan misteri kerja otak, perasaan dan tubuh manusia. Di sisi yang lain, ilmu computer mencapai puncaknya dengan kemampuan pemrosesan data yang amat canggih. Jika kedua aspek itu terintegrasi, sebagaimana dikatakan Harari, akan menghasilkan algoritma Big Data yang dapat memonitor aktivitas setiap individu dan lebih lanjut dapat memahami pikiran, perasaan dan kehendak setiap individu lebih rinci hingga pada aspek yang hendak disembunyikan sekalipun. Pada titik itulah otoritas bergeser.

Hegemoni Digital

Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Lalu bagaimana bisa sampai pada kondisi itu, di mana Big Data memahami pikiran, perasaan dan kehendak individu, dan bahkan mengancam kebebasan?
Perlahan kita mengerti, dalam situasi tertentu, bahasa tubuh kita adalah bahasa yang paling murni, jujur sebagai ekspresi perasaan kita. Sederhananya, jika kita berhadapan dengan sesuatu yang kita takutkan, atau mendekat pada api yang cukup panas, atau mungkin ketika berjalan telanjang kaki tiba-tiba menginjak Paku, maka tubuh kita akan menunjukkan reaksi spontan yang mengisyaratkan perasaan kita tanpa harus kita ucapkan satu kata pun.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kita adalah makhluk yang memiliki kecenderungan tertentu. Ada yang cenderung pada hal-hal yang humor, ada yang cenderung pada hal-hal romantik, ada yang cenderung pada harmoni musik tertentu, ada yang cenderung pada hal-hal ilmiah, atau mungkin pada hal-hal yang seksual, dsb. Kini kecenderungan-kecenderungan itu menyelinap dalam ruang-ruang digital yang setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik kita berinteraksi dengannya.
Maka, bukan sesuatu yang mengagetkan jika ruang digital yang cerdas itu memahami kita dengan baik berdasarkan interaksi kita dalam ruang digital saat menjelajahi Web, menonton YouTube, Tiktok, Facebook, dsb. Bukankah ruang-ruang digital itu seringkali merekomendasikan video, konten atau iklan tertentu setiap kali kita berinteraksi dengannya?
Begitulah algoritma digital mengumpulkan data real-time dan memahami kita sebaik mungkin. Dan kini, dalam keterangan Harari, para insinyur sedang mengembangkan perangkat lunak yang dapat mendeteksi emosi manusia berdasarkan gerakan mata dan otot wajah manusia. Dengan menaruh kamera yang lebih baik pada segala macam perangkat lunak yang kita gunakan. Dengan begitu, algoritma semakin mengerti apa yang membuat kita tersenyum, tertawa, bersedih, menangis, bergairah, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Kini, kalimat Orwel mesti kita ganti, bukan lagi “Big Brother is watchin you” tetapi “Big Data is watching you”. Kita dalam kondisi diintai setiap hari, setiap jam, setiap menit oleh sesuatu yang bukan Hitler, yang bukan Stalin, bukan Lenin, bukan Orde Baru, melainkan makhluk pengintai yang lebih canggih.
Sekarang akan ke mana informasi setiap kita (Big Data) yang diperoleh itu, dan apa yang akan diperbuat dari data itu? Tentu saja kepada siapa yang mengendalikan ruang-ruang digital itu data kita berlabuh, dan pada siapa saja yang mengendalikan data itu nasip data ditentukan. Entah untuk kepentingan ekonomi, politik maupun ideologi. Satu hal yang pasti, dengan data itu kita dapat dimanipulasi, dikonstruksi, hingga dibuat tidak berdaya. Kebebasan kita, pada akhirnya adalah kebebasan naif yang direkonstruksi oleh algoritma big data.
ADVERTISEMENT