Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Sanding: Transformasi Karya Sastra ke Dalam Karya Film
21 Januari 2022 17:59 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ahmad Zulkarnaen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam ranah sastra, terdapat istilah sanding, yang dapat disamartikan dengan bandingan. Kedua istilah tersebut memiliki kecocokan makna. Bisa juga, sanding dalam konteks yang dimaksud merupakan suatu singkatan dari ‘sastra bandingan’. Membandingkan karya sastra satu dengan karya sastra lainnya, seperti puisi dengan puisi, prosa dengan prosa, puisi dengan prosa, dan bahkan membandingkan karya sastra dengan karya yang di luar karya sastra sekalipun, merupakan cara kerja sastra bandingan. Jadi, yang terpenting dalam kajian sanding atau sastra bandingan adalah membandingkan.
ADVERTISEMENT
Dasarnya adalah membandingkan. Namun sebetulnya, banding-membandingkan sangatlah penting. Si ibu yang pergi berbelanja ke warung sayuran akan mendapatkan sayuran bagus jika pintar-pintar memilihnya. Atau mungkin, jika sayuran yang dicari si ibu tidak ada, si ibu akan mencari sayuran yang rasanya mirip dengan sayuran yang dicarinya. Dan jika si ibu tidak menemukan sayuran yang rasanya mirip, mungkin si ibu akan pindah ke warung sayuran lain untuk mencari sayuran yang dicarinya atau sayuran yang rasanya mirip dengan sayuran yang dicarinya.
Salvador Dali, pelukis surealis asal Spanyol tidak serta-merta berkontribusi pada gerakan surealis jika Joan Miro (pelukis dan pematung), Paul Eluard (penyair), Rene Magritte (pelukis) tidak memperkenalkannya pada surealis. Ada sesuatu yang membawa Dali pada gerakan surealis. Namun tidak berhenti di situ, tahun 1929, Dali mengeksplorasi lukisannya dengan mengolaborasikan antara seni lukis dan seni film. Kemudian, tahun-tahun berikutnya runtutan lukisan Dali muncul dalam film, yang sampai akhirnya kita bisa menikmati karya Dali sambil dengan menonton film.
ADVERTISEMENT
Nah, sebetulnya tidak ada yang murni dan steril dalam sebuah karya. Lukisan Salvador Dali sekalipun, yang memiliki faktor historis mengenai genre yang dianutnya. Atau bahkan film-film yang terinspirasi dari lukisan-lukisan Dali. Bisa kita sebut apa yang terjadi dalam karya Dali disebut dengan alih wahana. Hal tersebut sama dengan apa yang terjadi dalam karya sastra. Kadang kita sering menemukan karya sastra yang hampir-hampir mirip, misal antara karya sastra A dan karya sastra B. Atau mungkin, setelah melihat karya film C, kita berpikir ‘kok mirip dengan karya sastra A dan karya sastra B?’.
Banyak sekali karya sastra yang memiliki kemiripan. Dalam kesusastraan Indonesia misalnya, ada karya Mahbub Djunaedi yang berjudul Angin Musim (1986) dengan karya Natsume Soseki yang berjudul I’m a Cat (1972). Dalam kesusastraan Malaysia, ada karya Hassan Ibrahim yang berjudul Tikus Rahmat (1963) dengan karya George Orwell yang berjudul Animal Farm (1945). Kemudian, Soemanto, ahli sastra Universitas Gajah Mada (UGM) berkali-kali membandingkan Godlob dengan Menunggu Godot karya Danarto. Untuk alih wahana, kita dapat menemukan salah satunya, adalah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menjadi film Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo.
ADVERTISEMENT
Namun kajian bandingan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi. Kajian ini justru mengetengahkan. Sapardi Djoko Damono (2005) mengonsepsikan bahwa “sastra tidak turun dari langit”. Maksudnya adalah adanya ketegasan dalam pengaruh sosial pada karya sastra, tidak terpotong lingkaran sejarah kerasi. Karya sastra lahir atas mata rantai dan penuh liku-liku, sekaligus menyajikan kepiawaian. Pada tataran penciptaan, pengarang memiliki daya kreasi dan imajinasi dengan memoles keadaan yang kadang-kadang telah ada. Tugas kajian bandingan adalah mencari, menemukan, serta mengidentifikasi celah lembut yang dioleskan pengarang dalam karya yang dibuatnya.
Tahun 2019 lalu, penulis skenario Reza Hasan dan sutradara Ubaidillah Arif mengadaptasi cerpen Putu Wijaya yang berjudul Bersiap Kecewa, Bersedih Tanpa Kata-Kata menjadi film pendek yang berjudul Senandika. Dalam kajian sastra bandingan, metode yang dilakukan Ubaidillah di sini adalah metode alih wahana atau transformasi dari karya sastra ke dalam karya film. Metode ini merupakan salah satu metode yang menarik dalam ranah bandingan, sebab metode ini membandingkan antara karya sastra dengan karya yang berada di luar karya sastra.
ADVERTISEMENT
Jika kita membandingkan antara apa yang dilakukan oleh Ubaidillah dengan apa yang dilakukan oleh Hanung adalah sama. Sama-sama mengkonversi karya sastra ke dalam bentuk film. Setelah dikonversi, karya tersebut bertransformasi menjadi karya film, serta memiliki proses transformasi seperti unsur pengurangan, penambahan, dan variasi, setidak-tidaknya dalam aspek struktur. Ini berkaitan dengan upaya penciptaan pengarang. Kita lupakan Hanung, dan fokus ke Ubaidillah, sebab contoh data yang diambil di sini adalah karya film garapan Ubaidillah.
Sebetulnya film pendek garapan Ubaidillah ini kurang terkenal. Filmnya hanya bisa diakses di kanal Youtube.
Namun keterlibatan film pendek ini hanya digunakan sebagai bahan pengambilan data, juga sebagai sedikit contoh proses yang dilakukan dalam upaya bandingan dengan metode transformasi. Jelas, ada upaya yang dilakukan sutradara Ubaidillah dan penulis skenario Reza, yang pertama adalah mengubah aspek karya, dari karya sastra menjadi karya film. Yang kedua adalah dari aspek struktur antara karya asli dengan karya film yang dibuatnya.
ADVERTISEMENT
Dalam aspek karya yang mengacu pada kajian sastra bandingan, hal ini disebut bandingan aliran baru. Sebab apa yang dilakukan oleh Ubaidillah adalah alih wahana lintas karya yang masuk ke dalam sastra bandingan mazhab Amerika. Di Indonesia, film cerita pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) yang mengadaptasi dari kisah legenda Jawa Barat. Kemudian, disusul oleh film Eulis Atjih garapan G. Kruger dengan adaptasian dari novel bahasa sunda yang berjudul Tjario Eulis Atjih karya Akhmad Bassah alias Joehana. Hal itu terus terjadi hingga sekarang, seperti apa yang dilakukan Hanung dan Ubaidillah.
Selanjutnya adalah aspek struktur karya dari cerpen Putu Wijaya yang berjudul Bersiap Kecewa, Bersedih Tanpa Kata-Kata ke dalam film garapan Ubaidillah Arif yang berjudul Senandika. Dalam aspek ini, yang disebut sebagai proses penciptaan sebuah karya, dengan beberapa upaya yang dilakukan oleh Ubaidillah sebagai sutradara dan Reza sebagai penulis skenario, yaitu perubahan unsur seperti, pengurangan, penambahan, serta variasi, yang tentunya telah didiskusikan juga disesuaikan oleh Ubaidillah Arif bersama rekan garapannya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dengan melihat data di atas, setidak-tidaknya kita mengatahui upaya yang dilakukan oleh penulis skenario dan sutradara ketika karya filmnya adalah adaptasian dari karya sastra. Lebih dari itu, upaya penciptaan ini pun dapat kita jadikan sebagai referensi pengadaptasian karya dengan struktur serta unsur pengurangan, penambahan, dan variasi. Upaya yang dilakukan Ubaidilah Arif adalah upaya memperpanjang mata rantai karya sastra dengan metode transformasi. Di sisi lain, Ubaidillah turut serta mengabulkan konsespsi Sapardi mengenai kajian sastra bandingan yang bebunyi: Sastra tidak turun dari langit.
Endraswara (2014) bilang bahwa perjalanan jauh dan panjang yang dilalui sastra bandingan berjalan dengan lamban. Kelambanan yang dimaksud mungkin mengarah pada orang-orang yang ahli di bidang kajian sastra bandingan. Namun, agaknya hal ini tidak terjadi pada orang-orang yang berusaha menciptakan karya, menyandingkan karya satu sebagai referensi, dengan karya yang sedang atau akan dibuatnya. Ini merupakan sebuah kemajuan. Menambah-nambah pekerjaan pemerhati sastra yang hendak bergembira ria dengan banding-membanding.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Arif, Ubaidillah. (2019). https://youtu.be/Tcby6Zk-PNs . Tangerang Selatan: Unpam.
Endraswara, Suwardi. (2011). Metodologi Peneitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop.
Wijaya, Putu. (2011). Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata. Jakarta: Kompas.