Hukum Pernikahan Online Dalam Pandangan Islam dan Negara

ahmad ardiansyah
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN jakarta
Konten dari Pengguna
13 November 2022 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ahmad ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto : Ahmad Ardiansyah
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan dalam pengertian menurut ahli hadis dan ahli fikih adalah sebuah perkawinan; dalam arti hubungan yang terjalin antara suami istri dengan ikatan hukum islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan.
ADVERTISEMENT
Rasulullah telah mengajarkan kepada kita untuk mengadakan walimah atau pesta perkawinan setelah selesai prosesi akad nikah sampai dengan ijab kabul Sebagaimana dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang menceritakan bahwa sesudah perkawinan Nabi Muhmmad dengan Safiah binti Hujai bin Akhtab setelah selesai perang Khaibar. Nabi Muhammad bersabda “Beritahukanlah, umumkanlah kepada orang sekeliling kamu perkawinan kita”. Walimah sendiri berarti sebuah pesta perkawinan untuk pengumumannya kepada masyarakat.
Walimah atau pesta perkawinan telah lumrah dalam adat pernikahan masyarakat kita yang digelar secara terbuka berikut dengan akad nikahnya agar orang lain dapat menghadiri nya, namun seiring berkembangnya masa disertai makin canggihnya teknologi, maka muncullah pemikiran baru bagaimana jika akad pernikahan itu digelar terpisah tidak satu tempat ataupun secara daring melalui media elektronik seperti handphone ? Apakah ini sejalan dengan ketentuan dalam hukum islam dan bagaimana negara mengatur terkait persoalan ini, sahkah pernikahan tersebut?berikut penjelasannya!
ADVERTISEMENT
Sebelumnya mari kita kenali dahulu apa saja yang menjadi rukun dalam pernikahan. Kata rukn ini memiliki arti sebagai sisi terkuat yang menjadi pegangan sesuatu, di dalam nikah terdapat lima rukun, yaitu calon suami,calon istri,wali (dari pihak calon istri), dua orang saksi, dan shighah. Dari lima rukun ini masing-masing memiliki persyaratan yang harus dipenuhi.
Pandangan Agama
Mengenai pernikahan online ini yang menjadi perselisihan di antara para ulama adalah penafsiran terhadap salah satu syarat akad nikah yaitu pelaksanaan nya dalam satu majelis. Memang para ulama menyepakati bahwa syarat akad nikah itu harus satu majelis. Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam mengartikan “Satu Majelis” ini, Menurut Imam Hanafi satu majelis berarti satu waktu artinya tidak boleh dilakukan dalam dua jarak waktu yang terpisah. Berbeda dengan Imam Hanafi, Justru ulama Malikiah berpendapat bahwa akad nikah tidak akan menjadi rusak dengan adanya pemisah yang sesaat, seperti dipisahkan dengan Khotbah yang sebentar. Namun menurut Imam Syafi’I satu majelis, yakni satu tempat karena wali dan mempelai laki-laki harus hadir dalam satu tempat dan saksi yang harus melihat dengan jelas oleh mata dan kepalanya sendiri pihak yang melakukan ijab kabul.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari kitab Kifayatul Akhyar dan Hasyiyah al-Bujayromi disebutkan bahwa kehadiran wali, calon suami dan dua saksi di satu tempat itu merupakan syarat dalam akad nikah dan bagi saksi harus melihat dan mendengar mulut dua orang yang berakad, yakni calon suami dan wali saat mengucapkan akad nikah. Hal ini menjadi bentuk kehati-hatian (ihtiyat) para ulama Syafi’iyah dalam menetapkan suatu hukum, lebih-lebih lagi dalam masalah akad nikah, yang berfungsi menghalalkan sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh syariat. Maka dapat diketahui bahwa, persyaratan satu majelis dalam akad nikah ini bukan hanya untuk menjaga kesinambungan waktu, namun juga terdapat persyaratan lain, yaitu al-mu’ayanah ,yakni hadirnya kedua belah pihak dalam satu tempat agar persyaratan melihat dan mendengar secara nyata pihak yang mengucapkan ijab dan Kabul dapat terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya memutuskan jika akad nikah yang digelar secara online hukumnya Tidak sah. Terutama jika akad nikah tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab kabul akad pernikahan. Abdul Muiz Ali selaku Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI mengatakan bahwa akad nikah hukumnya sah apabila syarat-syarat dalam ijab kabul terpenuhi, yakni dilaksanakan secara ittihad al-majelis (berada dalam satu tempat), dengan lafaz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung).
Di dalam penuturannya Abdul Muiz juga menjelaskan jika calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, ijab kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara tawkil (mewakilkan). Jika para pihak tidak bisa hadir secara fisik atau tidak mau mewakilkan,maka pelaksanaan akad nikah secara online dapat dilakukan dengan syarat berikut:
ADVERTISEMENT
1. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar (audio visual).
2. Dalam waktu yang sama. Adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak yang dapat dibuktikan secara teknis.
3. Adanya jaminan pengakuan dari pemerintah.
Pernikahan online yang tidak memenuhi syarat di atas, maka hukumnya tidak sah dan apabila telah terpenuhi syarat-syaratnya, maka harus dicatatkan pada pembuat akta nikah (KUA).
Pandangan Negara
Negara telah mengatur mengenai urusan perkawinan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dasar berlakunya Hukum Islam di bidang perkawinan tentulah merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ini terutama yang terdapat pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 (2) yang menetapkan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku
Dari bunyi ayat ini menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah hukumnya apabila dilakukan sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan di samping itu bahwa tiap-tiap dari perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam islam sendiri keabsahan suatu pernikahan ini terwujud dengan terpenuhinya syarat dan rukun dari pernikahan, yaitu adanya kedua calon mempelai, kedua mempelai telah dewasa dan berakal, tidak adanya paksaan kepada mempelai, adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan, pemberian mahar (maskawin) dari calon pengantin suami kepada sang istri, harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki yang adil dan islam merdeka, dan harus adanya upacara ijab kabul dalam prosesi akad nikah.
ADVERTISEMENT
Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yakni
1. Tidak ada paksaan di dalam perkawinan.
2. Pada dasarnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami begitu sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri.
3. Bagi pria harus telah berumur 19 tahun dan Wanita berumur 16 tahun.
4. Mendapat izin restu dari masing-masing kedua orang tua mereka.
5. Tidak terhalangi oleh sesuatu yang termasuk larangan-larangan perkawinan.
6. Kemudian perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Sedangkan mengenai pelaksanaan akad nikah telah diatur dalam pasal 25 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
- Pada waktu akad nikah, calon suami dan wali nikah datang sendiri mengahadap PPN (P3NTR).
- Apabila calon suami atau wali nikah tidak dapat hadir pada waktu akad nikah disebabkan keadaan memaksa, maka dapat diwakilkan oleh orang lain.
Pada intinya adalah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ini tidak mengatur jelas tentang wali nikah maupun pelaksanaan akad nikah secara online, yang terpenting adalah pernikahan dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan dengan memenuhi syarat yang tertera dalam peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka dengan itu keabsahan sebuah pernikahan dapat dipastikan. Dan ini merupakan sebuah kekosongan hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat.