Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Polemik Pencatatan Perkawinan Sebagai Syarat Sah atau Syarat Administrasi Nikah
12 Mei 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari ahmad ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pencatatan perkawinan adalah terobosan baru di dalam hukum kekeluargaan islam di indonesia. Hal ini dikarenakan pencatatan perkawinan merupakan hal yang baru di rumuskan dalam hukum keluarga islam. Sejatinya hukum islam tidak mengatur secara konkret terkait pencatatan perkawinan baik dalam nash al-qur’an maupun hadis nabi, bahkan jika kita melihat kepada sejarah, Pada masa Rasulullah SAW maupun masa Sahabat, perkawinan sudah dapat dianggap sah jika telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan dan waktu itu belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Bahkan di kalangan ulama mazhab pun tidak ada yang merumuskan pensyaratan pencatatan di dalam perkawinan. Indonesia sebagai negara mayoritas umat islam nya menganut mazhab Syafi’i , Jika kita melihat syarat dan rukun yang di gariskan oleh imam Syafi’I , beliau membagi rukun nikah menjadi lima, yaitu calon mempelai suami, calon mempelai istri, wali nikah, dua orang saksi, dan shigat (akad).
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan sekarang ini ketika Pencatatan itu menjadi suatu keharusan dalam sebuah perkawinan. Untuk lebih jauh lagi, kita akan bahas berkenaan persoalan pencatatan perkawinan setidaknya ada dua pandangan hukum yang berkembang, yakni;
Pertama, perspektif yang memandang bahwa pencatatan perkawinan bukanlah sebuah syarat sah perkawinan , namun hanya sekadar persyaratan administratif yang harus dipenuhi sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan.
Mereka berdalil kepada Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan , tertuliskan pada pasal 2 ayat (1) bahwa sahnya sebuah perkawinan itu berdasarkan pada ketentuan dan aturan agama masing-masing. Dengan begitu pasal 2 ayat (2)-nya yang membicarakan tentang pencatatan perkawinan tidak memiliki kaitan sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Akan tetapi, persoalan ini menjadi rancu ketika adanya aturan-aturan tambahan, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974. Pada pasal 3 ayat (1) dinyatakan bagi mereka yang beragama islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Selain itu, dalam PP No. 9 tahun 1975 pada Pasal 10 ayat (3) dinyatakan : “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.”
ADVERTISEMENT
Dengan adanya tambahan aturan di atas, setidaknya ada dua poin penting yang dapat dikemukakan di sini : Pertama, secara hukum, pencatatan perkawinan di kantor pencatatan perkawinan tidak menjadi syarat bagi sahnya sebuah perkawinan. Kedua, tidak disyaratkan pencatatan perkawinan di hadapan pegawai pencatat. Artinya Perkawinan itu dapat dilakukan di luar kesaksian pegawai pencatat asalkan ada bukti autentik bahwa perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai UU No. 1/1974, ini menjadi dasar bagi kepentingan pencatatan perkawinan yang bersangkutan.
Atas argumen inilah pendapat hukum yang pertama beranggapan bahwa pencatatan perkawinan bukan syarat sah, melainkan hanya syarat administratif. Meskipun bersifat administratif, pencatatan perkawinan tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan ini-lah nantinya akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti autentik tentang telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah.
ADVERTISEMENT
Kedua, perspektif yang memandang pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya sebuah perkawinan. Mereka memiliki beberapa alasan atas argumen mereka ini, diantaranya;
a. Selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal peraturan perundang-undangan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (PP No. 9 tahun 1975) dan juga dari jiwa dan esensi UUP itu sendiri.
b. Pada UUP pasal 2 yang berbunyi , “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” , ini harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah.
c. Apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan Bab III (pasal 13 – 21) dan Bab IV (pasal 22/28), masing-masing tentang pencegahan dan pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No. 9 tahun 1975. Jika perkawinan sah tanpa ada pencatatan , pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
d. Jika dilihat dari sisi bahasa, arti kata “dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP berarti Kumulatif (Penambahan)
Menurut Abdul Halim, menempatkan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah dapat dilakukan dengan penerapan ijtihad insya’i (ijtihad bentuk baru) dengan memakai kaidah “menghindari/menolak bahaya itu diprioritaskan atas mendatangkan maslahat (kebaikan)”. Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum rakyatnya, maka pemerintah dapat menetapkan aturan yang mendukung terciptanya ketertiban dan kepastian hukum sesuai kaidah “Suatu tindakan/peraturan pemerintah, berintikan terjaminnya kemaslahatan rakyatnya”.
Kemudian menurut Prof. Mesraini meskipun pencatatan nikah tidak dibicarakan dalam al-qur’an, hadis, maupun kitab-kitab fikih klasik, tetapi sejumlah argumentasi bisa dibangun untuk mewajibkan pencatatan perkawinan, yaitu berdasarkan;
1. Pengembangan makna saksi, Saksi yang pada dasarnya adalah orang yang telah di kategorikan oleh para ulama mazhab yang dapat menjadi saksi, seperti orang tersebut laki-laki (ittifaq), muslim, merdeka, mampu mendengar, melihat dan memahami. Maka kemudian makna saksi ini dikembangkan lagi , yakni saksi nikah dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu saksi hidup dan saksi akta (tertulis) yang pada gilirannya bisa menjadi bukti autentik sebuah perkawinan. Akta perkawinan merupakan syarat wajib yang ditetapkan oleh negara, yang kedudukannya sangat penting dan berpengaruh dalam kehidupan bernegara.
ADVERTISEMENT
2. Qiyas Aulawi pada ayat mudayanah (utang piutang), Qiyas aulawi adalah qiyas ketika illat yang terdapat pada far'u (cabang) lebih utama daripada illat yang terdapat pada ashl (pokok). Jika kita melihat ayat tentang mudayanah di dalam surah al-Baqarah ayat 282 bahwa di ayat itu dijelaskan bahwa bagi siapa saja yang melakukan transaksi utang piutang untuk waktu yang ditentukan ,maka hendaklah bagi yang berhutang dan yang mengutangkan mereka menuliskannya/mencatatnya (utang tersebut). Dari ayat ini bisa kita ambil qiyas aulawi darinya, perkawinan sebagai far’u (cabang) dari persoalan utang-piutang sebagai ashl (pokok) dapat kita katakan bahwa perkawinan ini memiliki illat yang lebih utama , melihat perkawinan sebagai suatu ibadah yang dianjurkan syariat, serta sebagai perbuatan yang luhur dan sakral tentunya lebih pentinglah bagi perkawinan ini adanya pencatatan juga karena jika dalam utang-piutang saja diperintah untuk dicatatkan, maka tentu bagi perkawinan itu lebih penting lagi.
ADVERTISEMENT
3. Maslahah Mursalah, meskipun pencatatan perkawinan tidak ada dasar hukumnya, kita dapat menggunakan metode maslahah mursalah di dalamnya, yakni sebuah maslahah yang dianggap baik oleh akal manusia sedangkan nash tidak membicarakan/menjelaskannya (melarang atau memerintahkan).
4. Saddu al-Dzari'ah, selanjutnya adalah metode saddu al-dzariah yaitu menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan atau lebih mudahnya metode yang menutup jalan kemudaratan. Pencatatan perkawinan yang dilakukan bisa menjadi penutup bagi jalan kemudaratan yang muncul, yakni jika tidak dilakukan pencatatan maka akan timbul mudarat, seperti ketidakpastian status bagi wanita dan anak-anak. Maka dengan adanya pencatatan perkawinan ini nantinya akan menutup jalan mudarat, dengannya dapat dibuktikan keturunan yang sah dari perkawinan tersebut dan perolehan hak-haknya sebagai ahli waris.
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam.
Reference : Amiur Nuruddin & Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI.