Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Korupsi Bansos: Mengapa Sistem Politik dan Budaya Indonesia Rentan?
12 Oktober 2024 16:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmadi Rahmat Sultannullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi bantuan sosial (bansos) kembali mencuat dan menggemparkan publik. Di tengah pandemi, ketika bantuan bagi masyarakat miskin dan terdampak sangat dibutuhkan, kasus penyelewengan dana bansos memperlihatkan betapa dalamnya masalah korupsi di Indonesia. Namun, ini bukan sekadar soal penyelewengan dana. Lebih dari itu, kasus ini mengungkap kelemahan mendasar dalam sistem politik dan budaya Indonesia yang membuat korupsi terus berulang. Pertanyaannya: mengapa sistem ini begitu rentan?
Politik Patronase dan Kekuatan Oligarki
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, budaya politik patronase masih sangat kuat. Dalam sistem ini, hubungan antara pejabat dan rakyat sering kali didasarkan pada kedekatan pribadi dan hubungan timbal balik, di mana pejabat merasa harus “mengembalikan” jasa atau dukungan dari pihak yang telah membantunya mencapai kekuasaan. Sistem ini menciptakan siklus korupsi, di mana pemimpin menggunakan kekuasaan dan dana publik untuk memperkuat posisi mereka atau membalas jasa pendukung politiknya.
Kasus bansos mencerminkan hal ini dengan jelas. Bansos yang seharusnya diberikan kepada rakyat miskin sering kali disalurkan berdasarkan kepentingan politik, bukan kebutuhan. Pejabat yang korup memanfaatkan dana ini untuk memperkaya diri sendiri, mendukung jaringan politik mereka, atau mempertahankan kekuasaan melalui politik uang. Inilah salah satu contoh nyata bagaimana politik patronase bekerja.
ADVERTISEMENT
Budaya Korupsi yang Mengakar
Selain itu, budaya korupsi di Indonesia telah menjadi begitu mengakar sehingga sering dianggap sebagai sesuatu yang "normal." Di banyak sektor pemerintahan, praktik korupsi dianggap sebagai bagian dari sistem. Seorang pejabat yang menduduki posisi tertentu diharapkan menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Ini menciptakan lingkaran setan, di mana pejabat merasa "berhak" atas bagian dari dana publik karena sudah melalui proses panjang dan mahal untuk mencapai posisinya.
Dalam konteks bansos, budaya ini terlihat dari bagaimana dana yang sangat penting bagi masyarakat miskin tetap saja bisa diselewengkan tanpa rasa malu atau tanggung jawab sosial. Tidak adanya rasa empati terhadap penderitaan rakyat mengindikasikan adanya kerusakan moral dalam tatanan pemerintahan yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Lemahnya Sistem Pengawasan dan Penegakan Hukum
Sistem politik Indonesia juga rentan terhadap korupsi karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Banyak lembaga pengawas yang seharusnya menjaga transparansi malah tumpul dan kadang terkooptasi oleh kekuatan politik. Hal ini memungkinkan korupsi terjadi tanpa ada pencegahan yang memadai. Dalam kasus bansos, meskipun penyelewengan dana dapat diungkap, penanganan kasus dan penjatuhan hukuman sering kali terkesan lambat dan tidak maksimal.
KPK, yang seharusnya menjadi lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi, justru mengalami pelemahan melalui revisi undang-undang yang mengurangi independensinya. Ini memperkuat pandangan bahwa penegakan hukum di Indonesia mudah dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi.
Minimnya Akuntabilitas Publik
Di sisi lain, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya akuntabilitas publik juga masih rendah. Meskipun masyarakat sangat keras dalam mengutuk korupsi bansos, banyak dari mereka yang enggan terlibat lebih jauh dalam proses pengawasan atau perubahan sistem. Partisipasi publik yang lemah ini membuat penguasa merasa aman dalam menjalankan praktik korupsi, karena jarang ada tekanan yang berkelanjutan dari masyarakat untuk memperbaiki sistem.
ADVERTISEMENT
Selain itu, budaya permisif di tingkat lokal juga berkontribusi. Banyak kasus di mana masyarakat malah menoleransi atau bahkan mendukung figur politik yang korup selama mereka bisa mendapatkan "keuntungan" langsung dari hubungan dengan pejabat tersebut, seperti akses bantuan atau program sosial lainnya.
Apa Solusinya?
Untuk memberantas korupsi bansos dan membenahi sistem yang rentan, perlu dilakukan reformasi yang mendalam di berbagai aspek:
KPK dan lembaga penegak hukum lainnya harus diberi dukungan penuh untuk bekerja secara independen, tanpa intervensi politik. Hukuman yang berat dan tegas harus diterapkan bagi para koruptor agar memberikan efek jera.
Praktik politik patronase harus dihentikan dengan membangun sistem politik yang lebih transparan dan berbasis meritokrasi. Partai politik harus berkomitmen untuk menciptakan kader-kader yang bersih dan mengedepankan kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis terhadap penggunaan dana publik dan ikut serta dalam pengawasan program-program pemerintah. Media dan organisasi masyarakat sipil bisa berperan besar dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya korupsi.
Penggunaan teknologi seperti blockchain dalam distribusi bantuan sosial bisa menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan penyelewengan. Dengan transparansi yang terjamin, penyelewengan dana bisa lebih mudah dideteksi dan dicegah.
Langkah Menuju Perbaikan Sistem Politik
Kasus korupsi bansos menunjukkan bahwa masalah korupsi di Indonesia bukan sekadar persoalan individu atau moral, tetapi juga masalah sistemik yang terkait erat dengan budaya politik dan lemahnya pengawasan. Jika tidak ada reformasi mendasar, kasus serupa akan terus berulang dan rakyat kecil akan selalu menjadi korban. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama bagi semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.
ADVERTISEMENT