Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kongkalikong Korupsi Dana Desa di Kabupaten Wajo
28 Desember 2021 13:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Iqbal M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi mengeluarkan rilis Catatan Akhir Tahun Penegakan Hukum dan Antikorupsi pada Selasa, 29 Desember 2020. Peneliti ACC Sulawesi, Hamka mengatakan bahwa periode 2019 dan 2020 terdapat 28 Kepala Desa di Sulawesi Selatan yang tersandung kasus korupsi Dana Desa, tren ini meningkat dibanding beberapa tahun terakhir. Korupsi dana desa tersebar di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan di antaranya: Kepulauan Selayar, Luwu Timur, Soppeng, Sinjai, Gowa, Luwu Utara, Maros, Bantaeng, Wajo, dan Barru. Kemudian, pada Ahad, 12 September 2021, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa Anggaran Dana Desa merupakan dana yang paling rentan dikorupsi. Pada Semester I 2021, Pemerintah Desa menjadi lembaga pelaku kasus korupsi terbesar di Indonesia. Peneliti ICW, Lalola Easter menyebut bahwa ada 62 kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa. Lalola menambahkan bahwa aktor yang paling banyak melakukan tindak korupsi atau yang ditetapkan sebagai tersangka di Semester I 2021 adalah Aparat Desa. Lalola mendesak pemerintah untuk mengetatkan pengawasan terhadap Perangkat Desa, mengingat anggaran yang dikucurkan untuk Desa sangat besar yaitu Rp 72 triliun pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Berbagai modus korupsi Dana Desa, seperti: mark up pengadaan barang dan jasa, laporan fiktif, proyek fiktif, anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukan, pungutan oleh aparat desa, perjalanan fiktif, penggelembungan honorarium, mark up pembelian alat tulis kantor, memungut retribusi/pajak desa, serta pemangkasan anggaran publik. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengatakan bahwa banyaknya kasus korupsi yang terjadi di desa disebabkan oleh Kepala Desa yang tidak memiliki kapasitas dalam mengelola keuangan dan pengawasan masyarakat lemah.
Di Kabupaten Wajo, 24 September 2020 yang lalu, Aparat Kepolisian Polres Wajo telah menetapkan Ambo Asse (Kepala Desa Botto) dan Faisal (Sekretaris Tim Pengelola Kegiatan Desa Botto) sebagai tersangka korupsi Dana Desa tahun 2017-2018. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka korupsi atas proyek pembangunan fisik dan program pemberdayaan masyarakat yang dinilai tidak sesuai dengan RAB dan petunjuk teknis. Ambo Asse dan Faisal terbukti menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 297.477.610,-. Kemudian, 21 Desember 2021, Ibu dan Anak kompak melakukan korupsi di Desa Bottopenno. Berdasarkan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan, Nur Asmi (Mantan Kepala Desa Bottopenno) dan Andi Rismayani (Mantan Sekretaris Desa Bottopenno) terbukti merugikan negara sebesar Rp 1.470.594.964,47. Korupsi tersebut berasal dari pengelolaan Dana Desa (DD), Anggaran Dana Desa (ADD), dan Dana Bagi Hasil Pajak Retribusi (DBHPR) kurun 2018, 2019, dan 2020.
ADVERTISEMENT
Kongkalikong antara Ibu dan Anak di Kabupaten Wajo secara otomatis membuka pintu bagi aparat penegak hukum untuk menertibkan Kepala Desa yang terbukti mencuri uang rakyat. Masyarakat juga harus sadar bahwa Korupsi sudah masuk di Desa bukan lagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Masyarakat perlu mengawasi jalannya proses pembangunan di Desa. Tidak cukup sampai di situ, masyarakat harus terlibat aktif dalam transparansi anggaran publik mengingat lemahnya pengawasan di Desa. Selain itu, beberapa Desa di Kabupaten Wajo cenderung tertutup dengan masyarakat seperti Desa Ongkoe, Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo. Hampir seluruh elemen masyarakat di Desa Ongkoe tidak mengetahui bahwa Desa telah memiliki anggaran sebesar Rp 1.3 miliar/tahun. Kami melakukan konfirmasi kepada Aparat Desa, jawabannya cukup mencengangkan. Baik Aparat Desa hingga BPD, keduanya dengan enteng mengatakan bahwa itu bukan urusan kami. Perilaku tersebut tentu kontradiktif dengan Undang-Undang dan kebijakan turunan lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa. Kepala Desa berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat desa secara tertulis setiap akhir tahun anggaran. Undang-Undang tersebut juga menjelaskan bahwa Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa. Kebijakan tersebut memperkuat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dijelaskan bahwa Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik yang diperoleh dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. Undang-Undang tersebut menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan hingga alasan pengambilan keputusan. Bahkan mewajibkan badan publik untuk menginformasikan kepada publik secara berkala meliputi informasi badan publik, kegiatan dan kinerja badan publik, laporan keuangan, dan informasi lainnya. Lalu, dalam Peraturan Bupati Wajo Nomor 3 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Alokasi Dana Desa dan Penetapan Besaran Alokasi Dana Desa Setiap Desa Dalam Daerah Kabupaten Wajo Tahun Anggaran 2021 Pasal 15 menyebutkan bahwa pelaksanaan dan pengawasan penggunaan ADD dilakukan oleh pejabat di tingkat daerah, BPD, masyarakat (individu atau kelompok masyarakat).
ADVERTISEMENT
Awalnya, kami meminta dokumen Rencana Anggaran Biaya (RAB) kepada AK (Sekretaris Desa Ongkoe) serta IA dan HT (BPD Desa Ongkoe). Namun, ketiganya menolak dengan berbagai alasan. Bahkan, Sekretaris Desa Ongkoe mengatakan bahwa dokumen tersebut merupakan rahasia desa yang tidak bisa diakses oleh masyarakat. Padahal, kami telah menemui dan berdiskusi langsung dengan PMD Kecamatan Belawa. Beliau mengatakan bahwa dokumen tersebut bisa diakses oleh masyarakat desa, silakan koordinasi dengan Aparat Desa. Sialnya, Aparat Desa Ongkoe tidak menanggapi permintaan tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak masuk akal, tidak berdasar, bahkan melanggar Undang-Undang. Namun, kami sangat memaklumi perilaku tersebut mengingat kompetensi Aparat Desa yang masih kurang. Serta pengetahuan mengenai kewajiban sebagai penyelenggara negara juga minim. Situasi seperti ini sudah lazim ditemukan di beberapa tempat terutama daerah-daerah yang minim informasi. Masyarakat mengetahui keculasan aparat. Namun mereka khawatir dengan kekuasaan yang dimiliki yang bersangkutan. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah guna mencegah terjadinya korupsi dana desa, antara lain: Pertama, mencegah melalui pengawasan formal dan informal. Pengawasan formal dilakukan dengan memaksimalkan peran Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa, serta memperkuat kapasitas pendamping desa dan aparat desa. Di satu sisi diperlukan keterlibatan masyarakat dengan open data keuangan desa. Pengawasan informal dilakukan dengan memaksimalkan peran Badan Permusawaratan Desa (BPD) dalam menyerap aspirasi masyarakat desa; Kedua, penindakan dan pemberian efek jera. Penindakan dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Aparat desa yang terbukti mencuri uang rakyat perlu diberi sanksi pemecatan dan sanksi pidana; Ketiga, pemerintah harus melakukan evaluasi tata kelola penyaluran dan pengelolaan dana desa.
ADVERTISEMENT
Muhammad Iqbal M
S2 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM