Konten dari Pengguna

Lambatnya Transisi Energi di Indonesia, Apakah karena Monopoli Listrik?

Ahyar
Clean Energy Activist / Reporter Kantor Berita ITB / Mahasiswa Teknik Metalurgi ITB
6 September 2021 13:55 WIB
clock
Diperbarui 22 September 2021 14:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahyar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara--Sumber : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara--Sumber : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Selama ini energi kelistrikan masyarakat Indonesia sangat digantungkan hanya oleh salah satu pihak saja. Masyarakat seakan-akan dipaksa untuk memilih penyedia layanan tersebut karena tidak ada pilihan lain atau juga masyarakat seakan-akan dipaksa untuk tidak memiliki alternatif energi lainnya?
ADVERTISEMENT
Pembangkit listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara sudah digunakan sejak 1897 yang dibangun di daerah Gambir oleh Belanda (Raditya, 2019). Hingga kini, PLTU masih menjadi teknologi utama yang terus digunakan dan dikuasai oleh sekelompok pihak saja. Bahkan mereka menguasai dan memonopoli pasar energi listrik.
Sudah sejak lama masyarakat Indonesia tidak mempunyai pilihan untuk memilih akan menggunakan pilihan energi yang baik. Mereka digantungkan untuk tetap menggunakan pilihan tersebut walaupun pilihan itu banyak menimbulkan dampak negatif bagi mereka seperti pemadaman listrik tiba-tiba, pemanasan global, hingga dampak kesehatan bagi mereka yang tinggal di sekitaran di mana PLTU tersebut dibangun.
Seperti yang dapat dilihat pada grafik di bawah terlihat dari tahun 2010 hingga 2015 terjadi peningkatan produksi listrik menggunakan batubara sedangkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) malah turun dari tahun ke tahun. Hal ini miris terjadi di tengah banyak negara berlomba-lomba beralih ke energi bersih terbarukan.
Bauran produksi energi listrik 2010-2015 – Sumber : Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)
Baru-baru ini muncul kebijakan pemerintah mengenai target pemasangan sebesar 3,6 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di tahun 2025 (Pribadi, 2021a). Hal ini menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia sekaligus memberi pilihan baru.
ADVERTISEMENT
Masyarakat dituntut agar bisa memainkan peran penting ini sebagai lapisan ketiga agar terlepas dari belenggu ketergantungan tersebut. Di lapisan pertama ada mereka para oligarki penguasa PLTU batubara dan di lapisan kedua terdapat pelaku bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT).
Lapisan ketiga inilah yang harus diperbanyak karena energi merupakan kebutuhan primer dan sudah selayaknya masyarakat sebagai konsumen turut berperan aktif untuk menyediakan energi listrik bagi kebutuhan mereka sendiri.
Masyarakat jugalah yang mempunyai peranan penting dalam menyukseskan transisi energi dari energi tidak terbarukan ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan serta ikut dalam menyukseskan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% di Tahun 2025 (Pribadi, 2021c). Dengan semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan energi alternatif seperti panel surya, otomatis penyedia layanan PLTU batubara juga akan berkurang dan lama-kelamaan akan tergantikan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Indonesia termasuk salah satu negara tertinggal dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) terkhusus dalam hal energi surya. Bila dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Indonesia tidak menunjukkan pergerakan yang signifikan dalam hal instalasi panel surya beberapa tahun terakhir.
Lantas pemerintah mulai melakukan perubahan peraturan terkait kebijakan Energi Baru Terbarukan (EBT) yakni terkait peraturan ekspor-impor (eksim) dari yang awal mulanya 65% menjadi 100% (Pribadi, 2021c) agar lebih banyak lagi masyarakat yang mau menggunakan teknologi panel surya ini. Namun demikian, akibat dari kebijakan ini timbul berbagai macam polemik terutama persaingan antara pelaku bisnis PLTU batubara dengan Independent Power Producer (IPP) sebagai pelaku bisnis EBT.
Sedikit saja Indonesia terlambat, maka Indonesia akan jauh tertinggal dalam pengembangan panel surya tersebut karena saat ini panel surya sudah diproduksi masif oleh China dan Taiwan. Mau tidak mau Indonesia harus mengambil peran andil dalam hal tersebut. Berbagai masalah dan tantangan juga muncul mengenai penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT) ini. Beberapa langkah alternatif bisa diambil untuk mendapatkan keuntungan mutualisme antar pihak namun tetap saja tidak sempurna.
ADVERTISEMENT
Langkah tersebut dapat ditempuh dengan menggiatkan dan mengampanyekan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai lifestyle. Contoh sederhana penerapannya yaitu dengan mengajak para influencer untuk menggunakan panel surya dengan menerapkan feed-in-tariff (FIT) yang menarik. Maka secara tidak langsung masyarakat akan mengikutinya serta juga akan banyak muncul pelaku bisnis EBT. Bagi pelaku bisnis PLTU, masih terdapat cadangan batubara sebesar 38,84 miliar ton lagi dan masih bisa bertahan selama 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru (Pribadi, 2021b). Alternatif yang bisa dilakukan adalah konversi batubara. Tentunya dengan bantuan kebijakan pemerintah agar pihak terkait mempunyai dorongan serta komitmen untuk melakukannya.
Konversi batubara bisa dengan memanfaatkan teknologi Underground Coal Gasification yaitu sebuah teknik mengubah batubara menjadi gas di dalam tanah dengan menginjeksikan gas oksigen sebagai agen pembakar lapisan batubara sehingga didapatkan gas yang akan dialirkan melalui sumur produksi (Jhanesta, 2020). Dengan demikian lebih ramah lingkungan karena pembakaran dilakukan di bawah tanah sehingga sisa pembakaran atau abu tidak mencemari udara.
Teknologi Underground Coal Gasification - Sumber gambar: gettyimages.com
Selain itu, sebagian besar batubara yang dimiliki oleh Indonesia mayoritas berkalori rendah sehingga bisa dimanfaatkan untuk diubah menjadi dimethyl ether (DME) yang dapat digunakan untuk mensubstitusi liquefied petroleum gas (LPG). Hal tersebut sekaligus dapat mengatasi permasalahan kelangkaan gas LPG karena sampai saat ini Indonesia masih mengimpor 75% dari total kebutuhan gas nasional dan akan melonjak naik sampai 83,55% pada tahun 2024 sesuai dengan perkiraan Kementerian ESDM.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berbasis baterai dapat diterapkan sebagai pengganti PLTU berbasis batubara agar dapat menopang beban dasar (base load). Akibat dari hal tersebut nantinya masyarakat tidak digantungkan lagi pada salah satu pihak saja yang menguasai pasar. Masyarakat dapat lebih leluasa dalam menciptakan dan mengatur kebutuhan energinya sendiri yang juga merupakan kebutuhan primer mereka.
Semua kebijakan yang dibuat memang tidak sempurna.Namun, yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana peran aktif pemerintah dalam membuat peraturan yang tidak hanya menguntungkan salah satu pihak tetapi banyak pihak dan tentunya pihak yang paling utama untuk dipentingkan adalah masyarakat itu sendiri.