Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resep Manjur Kesuksesan PLTS Atap Vietnam
21 September 2021 12:31 WIB
Tulisan dari Ahyar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini sering terjadi peningkatan kekhawatiran dalam hal perubahan iklim, keamanan dan akses energi, kesehatan akibat polusi udara, dan diikuti dengan semakin menipisnya energi fosil. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan akan produksi dan penggunaan energi alternatif yang rendah karbon menjadi suatu pilihan.
ADVERTISEMENT
Paris Agreement yang telah diterbitkan pada tahun 2015 menjadi suatu mekanisme untuk membatasi temperatur dunia di bawah 2oC atau 1,5oC sebagai acuan ideal. Semua negera termasuk Indonesia setuju untuk mendukung dan berkomitmen menerapkan peraturan tersebut demi kelangsungan generasi selanjutnya.
Salah satu komitmen tersebut yakni target pemasaran 3,6 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di tahun 2025 (Pribadi, 2021). Panel surya juga diprediksikan akan memimpin sektor transformasi elektrik global dan akan terinstalasi sebesar 8.519 GW pada tahun 2050 (IRENA, 2019).
Kapasitas panel surya diprediksikan meningkat enam kali lipat pada tahun 2030 dibandingkan pada tahun 2018 (IRENA, 2019).
Perkembangan dan evolusi panel surya sejauh ini sangat luar biasa. Dimulai sejak pertama kali silicon monocrystalline diciptakan (1941), dilanjutkan peningkatan efisiensi sebesar 20% oleh University of South Wales (1985), hingga pesawat pertama yang menggunakan panel surya (2015) menjadikan panel surya teknologi yang berkembang sangat cepat, matang, dengan harga yang kompetitif (IRENA, 2019).
ADVERTISEMENT
China salah satu negara yang mengembangkan dan terdepan dalam hal produksi panel surya. Hulu hingga hilir berhasil mereka kuasai dengan sangat baik. Produksi masif yang dilakukan China juga menyebabkan penurunan harga dari solar panel tersebut.
Proses pembuatan panel surya dimulai dari penambangan dan pengolahan silika yang berasal dari pasir silika yang dilebur hingga mencapai suhu 1600oC, kemudian dimurnikan hingga mencapai kemurnian 99,9999%. Setelah murni, dilakukan pelelehan kembali dan ditarik untuk mendapatkan kristal satu arah untuk jenis monokristalin, dilanjutkan dengan proses cutting untuk mendapatkan silikon wafer sebagai bahan baku panel surya.
Indonesia sendiri masih mengimpor solar module atau wafer untuk memproduksi panel surya. Padahal silikon merupakan unsur kedua terbanyak di bumi, terdapat sekitar 24,2 miliar ton pasir kuarsa dan 3,2 miliar ton kuarsit (Badan Geologi, 2018) yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Namun, sampai sekarang belum ada satu pun pabrik peleburan silika yang terdapat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk bisa ikut andil dalam penguasaan daerah hulu ini karena panel surya akan menjadi energi yang sangat menjanjikan bagi masa depan. Bila terlambat, Indonesia akan kalah tentunya dalam hal penguasaan teknologi dengan negara ASEAN lainnya.
Berbagai kisah sukses dari penerapan panel surya ini banyak contohnya. Salah satunya adalah Vietnam yang masih satu wilayah Asia Tenggara dengan Indonesia. Mereka berhasil menginstalasi 16,5 GW pada akhir tahun 2020.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lonjakan tersebut dikarenakan pada awal April 2020, Perdana Menteri mengeluarkan keputusan mengenai feed-in-tariff (FiT) sebesar US$ 8,38/MWh dibandingkan dengan sebelumnya sebesar US$ 9,35/MWh baik untuk rooftop maupun utilities.
Kebijakan lainnya terdapat pada pemerintah yang memainkan peran penting dalam pengembangan panel surya skala utilitas dengan memberikan fleksibilitas untuk memobilisasi pendanaan dari semua sumber termasuk asing dan telah dibebaskan dari pajak penghasilan selama empat tahun pertama. Pajak penghasilan dalam sembilan bulan berikutnya akan dikurangi 50% dan berikutnya 10% hingga tahun ke-15 operasi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, peralatan impor juga telah bebas dari tarif impor dan telah bebas pembayaran sewa tanah mulai dari 14 tahun hingga seluruh umur proyek tergantung lokasi.
Faktor lainnya yaitu Vietnam tidak memberlakukan persyaratan konten lokal sebagai syarat FiT seperti yang berlaku di Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Vietnam juga mengizinkan sektor swasta untuk berinvestasi di jalur transmisi untuk menghubungkan pembangkit mereka dengan proyek lain di area yang sama ke jaringan utama (Setiawan, 2021).
Dari kisah sukses tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa kunci dari keberhasilan implementasi panel surya adalah kebijakan pemerintah. Pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat mengenai pengembangan, target, stabilisasi regulasi dan kebijakan terhadap Energi Baru Terbarukan (EBT).
ADVERTISEMENT
Terkhusus panel surya seperti pengeluaran kebijakan feed-in-tariff (FiT) dan pendanaan inovatif yang menarik agar lebih banyak perusahaan swasta yang akan berinvestasi dalam panel surya ini disertai juga dengan insentif bagi masyarakat.
Selanjutnya menciptakan pasar yang menjanjikan baru kemudian bermain di bagian hulu dengan membangun pabrik peleburan dan pengolahan silika. Ketika market pasar sudah jelas nantinya akan banyak investor-investor swasta yang akan muncul sendirinya. Sehingga Indonesia ke depannya akan lebih mandiri tidak bergantung pada negara lain karena kita memiliki apa yang seharusnya kita miliki dan harus dimanfaatkan dengan tepat guna.
Bila dibandingkan dengan China memang kita belum sebanding dan jauh tertinggal namun dengan adanya integrasi dari sektor hulu hingga hilir dengan sendirinya Indonesia akan mandiri.
ADVERTISEMENT