Konten dari Pengguna

Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Perkawinan Beda Agama

Ahyari Anwar
Sebuah kata tak bisa dijadikan landasan tanpa adanya fakta. Hallo saya merupakan mahasiswa UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta prodi Hukum Keluarga.
22 September 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahyari Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tinjauan Yuridis terhadap Peran Pengadilan Agama dalam Kasus Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Yurisprudensi Putusan MA No. 1400/K/Pdt/1986

Ilustrasi pernikahan beda agama. Sumber: www.unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan beda agama. Sumber: www.unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Putusan MA Nomor 1400/K/Pdt/1986 tentang perkawinan beda agama tersebut dilihat dari anatomi perkara, kebetulan pihak pasangan yang beragama Islam bermaksud melepaskan diri dari ketentuan hukum agamanya dan mengikuti agama calon pasangannya yang non-Islam.
ADVERTISEMENT
Seandainya anatomi kasus beda agama dibalik bahwa pasangan yang non-Ilsam berkehendak untuk melepaskan hukum agamanya dan menghendaki perkawinan dilaksanakan menurut hukum agama pasangan yang Muslim, kehendak menikah diajukan Kantor Urusan Agama (KUA) kemudian atas dasar salah satu calon tidak beragama Islam lalu ditolak oleh KUA.
Meskipun demikian, tidak berarti pengadilan agama serta merta dapat mengizinkan perkawinan beda agama. Jika diikuti yurisprudensi putusan Mahkamah Agung No.1400 K/Pdt/1986, tanggal 20 Januari 1989 tersebut ada fakta yang sangat menentukan yaitu “seseorang tidak mengindahkan hukum agama dan memilih untuk melangsungkan perkawinan di luar hukum agamanya”.
Permohonan perkawinan beda agama, dalam arti sesungguhnya tidaklah ada, yang ada adalah kehendak salah satu calon pasangan untuk menundukkan diri pada agama pasangannya, kemudian oleh pengadilan ditafsirkan tidak mengindahkan ketentuan agama yang dipeluk. Tidak mengindahkan ketentuan hukum agama, merupakan ranah hak pribadi masing-masing umat beragama yang tidak bisa dipaksa oleh pihak manapun.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian , dalam praktiknya tidak ada pelanggaran terhadap UU perkawinan. Apabila terjadi permohonan perkawinan beda agama yang masing-masing tetap bertahan pada hukum agama masing-masing.Jika ditemukan fakta yang demikian, selayaknya pengadilan memberikan sikap pegawai pencatat nikah (KSC atau KUA) yang menolak mencatatkan.
Ahyari Anwar, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program studi Hukum Keluarga.