Konten dari Pengguna

Pandangan Ibnu Sina Tentang Eksistensi Manusia dan Asal-Usulnya

Ai Putri Arumsari
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
31 Desember 2024 11:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ai Putri Arumsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buku Ilmiah. Foto: milik sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buku Ilmiah. Foto: milik sendiri
ADVERTISEMENT
Pemikiran Ibnu Sina tentang eksistensi manusia membuka wawasan mendalam mengenai asal-usul kita sebagai makhluk hidup. Lahir pada tahun 370 H (980 M) di Bukhara, Ibnu Sina, yang dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna, tidak hanya mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai ilmuwan besar, tetapi juga sebagai pemikir yang mengungkap hakikat eksistensi. Dalam pandangannya, segala sesuatu yang ada di dunia ini bergantung pada kenyataan bahwa hal itu memang memiliki eksistensi.
ADVERTISEMENT
Pemikiran Ibnu Sina tentang eksistensi ini mengajak kita untuk memahami bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta memiliki alasan keberadaan yang logis. Terkadang, kita sering kali bertanya-tanya, "Siapakah kita?" dan "Dari manakah kita berasal?" Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Ibnu Sina, harus dijawab dengan cara yang logis dan mudah dipahami agar dapat diterima oleh akal dan hati kita. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Sina tentang asal-usul manusia dan eksistensinya menawarkan perspektif yang mendalam tentang posisi kita dalam alam semesta.
Riwayat Hidup Singkat Ibnu Sina
Ibnu Sina, yang oleh dunia Barat dikenal dengan sebutan Avicenna, lahir pada 370 H (980 M) di kota Bukhara, yang saat itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Beliau adalah seorang ilmuwan Muslim yang memiliki kontribusi luar biasa dalam berbagai bidang, terutama dalam kedokteran, filsafat, dan ilmu pengetahuan alam. Sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah intelektual dunia Islam, Ibnu Sina dikenal karena pemikirannya yang cemerlang dan pengaruhnya yang mendalam, yang tidak hanya membentuk arah ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam, tetapi juga meninggalkan jejak yang signifikan dalam perkembangan pemikiran Barat.
ADVERTISEMENT
Selain keahliannya di bidang kedokteran dan filsafat, Ibnu Sina juga diakui sebagai seorang ahli hikmah dan pemikir besar yang mendalami berbagai disiplin ilmu, dari matematika hingga astronomi. Beliau kemudian dianugerahi gelar Al-Syaikh Al-Rais (Pemimpin Orang-Orang Bijak) dan Hujjatul Haq (Bukti Kebenaran), yang mencerminkan statusnya sebagai seorang figur intelektual yang dihormati di dunia Islam. Gelar-gelar ini tidak hanya menggambarkan kebijaksanaan dan kedalaman ilmu beliau, tetapi juga posisi Ibnu Sina sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan ajaran spiritual.
Sejak usia dini, Ibnu Sina sudah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Keistimewaan ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang sangat mendukung perkembangan intelektualnya. Rumahnya di Bukhara menjadi tempat berkumpulnya para sarjana yang bertukar pikiran, menjadikannya sebagai pusat diskusi dan kajian ilmiah.
ADVERTISEMENT
Di tempat tersebut, sering diadakan diskusi yang mendalam, debat intelektual, serta Bhatsul Masail (pemecahan persoalan kompleks), yang mendorong Ibnu Sina untuk mengasah keterampilan berpikir kritis dan ilmiah. Beliau tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang ada, tetapi juga mengembangkan teori-teori baru yang menjadi dasar bagi banyak penemuan ilmiah di masa depan.

Ibnu Sina dan Konsep Eksistensi Dari Segala Sesuatu Yang Ada

Ibnu Sina menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bergantung pada kenyataan bahwa hal itu memang ada, atau yang disebut eksistensi. Menurutnya, puncak pengetahuan manusia adalah ketika kita bisa memahami hakikat atau dasar dari segala yang ada di alam semesta. Ibnu Sina juga berpendapat bahwa manusia pada awalnya tidak ada, namun keberadaannya muncul dari satu sumber yang disebut Al-Haq. Al-Haq (Allah SWT) ini adalah asal dari segala sesuatu yang ada di dunia. Namun, Al-Haq bukanlah sesuatu yang tergantung pada hal lain, karena Tuhan adalah yang pertama kali ada di alam semesta, jauh sebelum segala sesuatu lainnya muncul.
ADVERTISEMENT
Segala sesuatu yang ada di semesta ini pasti diciptakan oleh yang Maha Awal, yaitu Sang Pencipta, Allah SWT. Sebagaimana QS Al-Hasyr:24 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
هُوَ اللّٰهُ الْخَـالِـقُ الْبَا رِئُ الْمُصَوِّرُ لَـهُ الْاَ سْمَآءُ الْحُسْنٰى ۗ يُسَبِّحُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
"Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana."(QS. Al-Hasyr 59: Ayat 24)
Kita harus meyakini dengan sepenuh hati bahwa jika Allah tidak mengadakan kita, jika Allah tidak menciptakan kita, maka kita tidak akan ada di dunia ini. Tanpa-Nya, tidak ada kehidupan, tidak ada alam semesta, dan tidak ada segala sesuatu yang kita kenal.
ADVERTISEMENT
Semua yang ada di sekitar kita, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, memiliki asal-usul yang hanya bisa ditemukan dalam kehendak dan ciptaan-Nya. Sebagai makhluk yang diciptakan, kita seharusnya menyadari bahwa keberadaan kita adalah anugerah yang sangat besar, dan kita tidak dapat terlepas dari ketentuan-Nya. Keberadaan kita di dunia ini bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari rencana dan kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, yang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan dan hikmah yang mendalam.
Coba bayangkan sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan ini memiliki warna yang indah, bentuk yang menarik, dan cerita yang dalam. Namun, jika kita merenung lebih jauh, lukisan ini tidak akan ada jika tidak ada seorang seniman yang melukisnya. Sebelum lukisan itu ada, semuanya hanya berupa ide di dalam benak sang seniman. Tidak ada warna, tidak ada gambar, hanya sebuah konsep. Baru setelah seniman tersebut mulai menggoreskan kuasnya di kanvas, lukisan itu mulai terbentuk dan menjadi nyata.
ADVERTISEMENT
Dalam contoh lain, kita bisa membayangkan sebuah meja yang terletak di ruang tamu. Meja ini memiliki empat kaki kokoh, permukaan yang halus, dan desain yang rapi. Namun, jika kita berpikir lebih dalam, meja ini tidak akan pernah ada jika tidak ada seseorang yang membuatnya. Sebelum ada pembuatnya, meja ini hanyalah ide di dalam pikiran sang pembuat tidak ada bentuknya, tidak ada bahan-bahannya. Hanya setelah pembuatnya mulai bekerja, mengumpulkan kayu, mengukur, memotong, dan merakit bagian-bagian tersebut, meja itu akhirnya ada dan bisa digunakan.
Begitu pula dengan segala sesuatu di dunia ini. Sebuah benda tidak akan muncul begitu saja tanpa ada yang menciptakan atau mengaturnya. Seperti meja yang tidak ada tanpa pembuatnya, alam semesta ini juga ada karena ada yang menciptakannya. Dalam pandangan Ibnu Sina, Tuhan adalah "Pembuat" pertama yang menciptakan segalanya, tanpa tergantung pada apapun, dan segala yang ada berasal dari-Nya. Tuhan menjadadi sumber dari segala yang ada. Tanpa Tuhan yang pertama kali ada, tidak ada yang bisa ada setelahnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, eksistensi makhluk yang diciptakan tidaklah wajib. Sebagaimana sebuah lukisan yang dibuat oleh sang pelukis, lukisan tersebut tidak wajib ada jika sang pelukis tidak berkehendak untuk membuatnya. Begitu pula dengan meja, ia tidak wajib dibuat oleh pembuatnya. Tidak ada paksaan bagi pembuat meja untuk menciptakan meja tersebut. Semua ini menunjukkan bahwa penciptaan sesuatu, baik itu lukisan, meja, maupun makhluk hidup, sepenuhnya bergantung pada kehendak penciptanya. Tidak ada kewajiban bagi pencipta untuk mewujudkan segala sesuatu, karena semua itu merupakan hasil dari keputusan dan kehendak bebas sang pencipta.
Oleh karena itu, Ibnu Sina berpendapat bahwa wujud keseluruhan alam semesta tidak akan melebihi status "kemungkinan". Sebab, makhluk yang ada di bumi ini berasal dari satu pancaran atau sumber yang sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, ada atau tidak adanya manusia itu sah-sah saja. Manusia mungkin ada, begitu pula manusia mungkin tidak ada. Semua itu tergantung pada kehendak Al-Haq (Allah SWT), antara mengadakan atau tidak mengadakan. Tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengadakan atau tidak mengadakan segala sesuatu.
ADVERTISEMENT