Asimilasi dan Akulturasi Budaya Punjungan di Sumatera Barat

Aidatul Fitriyah
Mahasiswa Sarjana Bahasa dan Sastra Inggris Universita Airlangga yang suka menulis dan bekerja dengan dunia kepenulisan
Konten dari Pengguna
27 Februari 2023 6:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aidatul Fitriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara merupakan negara multikulturalisme, maka tak heran jika setiap wilayah Indonesia akan dihuni oleh beragam etnis. Keberagaman tersebut akan berbaur dan membentuk sebuah pola interaksi sosial yang saling mempengaruhi. Dari sini biasanya akan terjadi akulturaasi dan asimiliasi kebudayaan untuk mementukan struktur dari konstruksi sosial dalam masyarakat. Namun Perubahan atau transformasi ini juga dipengaruhi oleh tradisi, nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat serta pengetahuan dasar yang ada pada setiap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Proses dari asimilasi dan akulturasi budaya juga terjadi pada para transmigran yang menetap di Sumatera Barat. Hal tersebut terjadi karena masyarakat asli di Sumatera Barat bersinggungan secara langsung oleh para transmigran yang berasal dari jawa.
Ilustrasi masyarakat Minangkabau (foto: shutterstock)
Tidak hanya itu, keragaman budaya daerah akan dipengaruhi oleh faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka akan semakin kompleks pula perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan mendasar dari interaksi suku Minang dengan suku Jawa yang menjadi transmigran sangat dipengaruhi oleh asal geografis masyarakat itu berasal.Semakin besar wilayahnya, maka akan semakin kompleks pula perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan mendasar dari interaksi suku Minang dengan suku Jawa yang menjadi transmigran sangat dipengaruhi oleh asal geografis masyarakat itu berasal. Terbentuknya hubungan interaksi masayarakat menyebabkan adanya budaya yang diadopsi menjadi sebuah kebudayaan lokal baru oleh masyarakat transmigran yang ada di Desa Koto Gadang Jaya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dikaji oleh Departemen Magister Kajian Sastra dan Budaya yang bertajuk “Asimilasi dan Akulturasi Budaya Punjungan Pada Prosesi Pernikahan Masyarakat Transmigran di Bumi Minangkabau”. Riset ini membahas tentang interaksi sosial masyarakat yang membentuk asimilasi dan akulturasi budaya Punjungan oleh etnis transmigran Jawa dan penduduk asli Minangkabau.
Punjungan merupakan istilah yang digunakan untuk undangan yang berada dalam rantang bersusun 4 dengan masing-masing isi yang berbeda dalam tiap rantangnya. Di susun pertama akan berisi nasi yang dilapisi oleh daun, lalu yang kedua berisi ayam biasanya dibuat ayam bumbu serundeng. Satu ekor ayam utuh di bagi 4 bagian lalu akan dibumbu. Satu potong dari empat bagian tersebutlah yang akan dimasukkan kedalam rantang di susun kedua. Lalu selanjutnya pada susunan ketiga rantang di isi dengan mie goreng. Mie yang digunakan juga spesifik yaitu mie bihun putih. Lalu pada susun terakhir di is oleh jajanan berupa kue bolu panggang dan kertas kecil undangan. Kertas undangan tersebut berisi nama penyelenggara acara pernikahan, nama kedua mempelai, dan juga tanggal dilaksanakannya pernikahan.
ADVERTISEMENT

Proses Akulturasi Punjungan

Pada zaman dulu prosesi pernikahan dilakukan dengan menggunakan undangan tertulis saja, namun di Koto Gadang Jaya memiliki tradisi yang berbeda. Sebagai wujud dari dampak interaksi sosial dengan masyarakat asli, maka warga lokal sana menggunakan punjungan untuk mengundang kerabat terdekat. Secara eksplisit Punjungan juga bermakna sebagai akulturasi dalam modifikasi undangan terhadap orang-orang terdekat.
Masyarakat Minangkabau biasanya melakukan kunjungan rumah untuk meminta tolong bantuan tenaga selama pesta pernikahan dilaksanakan. Sehingga hal ini diadaptasi oleh masyarakat Jawa yang tidak mampu menjangkau dari rumah kerumah karena jarak ataupun kesibukan lainnya. Sehingga modifikasi undangan ke rumah ini digantikan Punjungan yang mana dilakukan untuk menggantikan undangan tertulis.
Ilustrasi pembuatan Punjungan (Foto: Shutterstock)
Proses akulturasi yang terjadi dalam tradisi ini berupa perlakuan istimewa terhadap tamu undangan yang ditujukan kepada ninik mamak (saudara dari keluarga ibu) dan datuak (ketua suku atau orang yang berpengaruh). Hal ini menjadi budaya baru yang digunakan sampai sekarang oleh masyarakat pendatang. Berawal dari budaya undangan ke rumah serta undangan tertulis yang mana setelah datang ke acara pesta akan dibawakan semacam hadiah berupa makanan dari tuan rumah maka ada inisiatif untuk melakukan punjungan bagi orang-orang yang dirasa terhormat dan ditinggikan kelas sosialnya dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal ini, akulturasi budaya yang dilakukan oleh masyarakat pendatang berupa Punjungan juga mempunyai nilai ekonomi. Ketika pernikahan berlangsung masyarakat Minang akan membuat wadah amplop yang berbentuk miniatur rumah gadang. Miniatur ini mempunyai lubang pada bagian atasnya dan nantinya para tamu undangan akan memasukkan amplop kedalamnya. Hal inilah yang melatarbelakangi bagaimana awalnya punjungan yang syarat akan makna penghormatan berubah menjadi bernilai ekonomi.
Punjungan yang ditujukan kepada orang yang sekiranya dirasa mampu oleh orang yang mengadakan acara juga dilakukan oleh penduduk asli Minangkabau. Sehingga ketika ada dari masyarakat Minang ingin mengundang orang Jawa mereka juga akan melakukan Punjungan meski tidak secara spesifik dipilih berdasarkan strata sosial namun hanya dipilih berdasarkan ingin diundang saja secara merata tanpa adanya spesifikasi khusus dan juga dengan sangsi yang sama apabila tidak mengembalikan punjungan dengan sumbangan yang disepakati atau yang sudah biasa terjadi dalam masyarakat. Sehingga Punjungan yang disadur oleh kedua belah pihak tetap menggunakan ciri khas masing-masing tanpa menghilangkan budaya asli.
ADVERTISEMENT

Proses Asimilasi Punjungan

Asimilasi budaya Punjungan awalnya disebabkan oleh terbentuknya suku campuran Jawa Minang yang melakukan pernikahan. Garis keturunan Minangkabau diturunkan oleh Ibu atau matrilinieal sedangkan masyarakat Jawa mengikuti keturunan dari Bapak atau ptarilinieal. Sehingga terjadi perbedaan budaya tentang perspektif garis keturunan. Ketika perempuan etnis Minang menikah dengan lelaki orang Jawa maka anak yang lahir akan menarik garis suku dari ibunya. Sedangkan bagi lelaki Minang yang menikah dengan perempuan Jawa maka garis sukunya tidak diteruskan.
Ilustrasi asimilasi budaya pernikahan Minang-Jawa (foto: Shutterstock)
Disinilah Punjungan berperan dalam pembentukan budaya baru yang diterapkan masyarakat Minang. Tidak lagi sebagai media penghormatan, budaya ini telah menjadi kebiasaan baru yang mengalami perubahan. Jika menurut orang Jawa Punjungan ditujukan untuk menghormati orang-orang yang memiliki strata sosial lebih tinggi, maka pihak Minangkabau dimaksudkan untuk menghormati masyarakat Jawa. Namun, seiring perjalanan waktu tradisi ini bergeser dan membentuk ciri khas masing-masing etnis.
Penambahan galamai khas minang untuk efisiensi punjangan (foto: arsip dokumentasi peneliti)
Ciri khas yang dapat membedakan punjungan yang dilakukan masyarakat Jawa dan Minang pun dapat dilihat dari segi kemasan dan isinya. Sehingga perbedaan ini menunjukkan asimilasi budaya punjungan oleh masyarakat Minangkabau. Awalnya hal tersebut hanya digunakan oleh masyarakat Minang untuk menghormati masyarakat pendatang mulai di jadikan budaya baru terlebih bagi Jawa- Minang yang sudah menjadi suku baru akibat dari asimilasi pernikahan.
ADVERTISEMENT
Sehingga Punjungan bagi masyarakat Minang menjadi hal yang juga bersifat ekonomis bukan hanya sekedar bersifat menghargai budaya saja. Hal ini menunjukkan secara ekonomi masyarakat asli juga terpengaruh oleh tindakan dan prilaku masyarakat pendatang di daerah setempat akibat dari interaksi sosial antar kedua belah pihak kelompok masyarakat.
Proses Akulturasi dan Asimilasi budaya yang terjadi oleh masyarakat Minang dan Jawa memberikan dampak positif pada perkembangan budaya dan hubungan sosial masyarakat. Karena hal ini mampu mencegah munculnya konflik-konflik yang berasal dari persaingan maupun pertentangan budaya yang ada di desa Koto Gadang Jaya