Konten dari Pengguna

Riset: Mempertahankan Tradisi Sakral Tengger dari Ombang-ambing Komodifikasi

Aidatul Fitriyah
Mahasiswa Sarjana Bahasa dan Sastra Inggris Universita Airlangga yang suka menulis dan bekerja dengan dunia kepenulisan
26 Februari 2023 6:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aidatul Fitriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panorama Bromo Tengger Semeru (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Panorama Bromo Tengger Semeru (Sumber: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak bisa dipungkiri bahwa tengger memiliki perpaduan alam dan budaya yang eksotis. Maka tak heran jika ada seseorang menyebut tengger sebagai Pusaka Saujana (Cultural Landscape). Pesona tengger memiliki sumbangsih terhadap sektor pariwisata di Indonesia apabila dikelola dengan bijaksana. Namun jika kita telaah pengelolaan alam, budaya dan masyarakat adat di sini masih tergolong kompleks. Alih-alih membantu devisa negara, justru kehadiran pariwisata di Tengger memiliki potensi sebagai pemicu masalah sosial lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemajuan sektor pariwisata secara progresif pada Taman Nasional Bromo Tengger Semeru kenyataannya memberikan pengaruh terhadap sudut pandang masyarakat terhadap tradisi lokal. Siapa sangka bahwa pelaksanaan tradisi seperti adat upacara di Tengger justru mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Sehingga, secara tidak lambat laun tradisi tersebut akan disuguhkan sebagai kemasan pariwisata. Dan dampaknya akan terjadi desakralisasi upacara adat di daerah Tengger yang justru bergeser sebagai kesenian tradisional.
Untuk mencegah ancaman tersebut terealisasi, maka diperlukan suatu strategi yang bersifat adaptif untuk mempertahankan kesakralan tradisi dengan strategi preventif. Upaya ini juga dibahas dalam Salah satu riset yang dilakukan oleh Departemen Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga yang berjudul “Upacara Adat Tengger di Ambang Komodifikasi: Merawat Tradisi dari Ancaman Desakralisasi”. Dalam riset tersebut juga menjelaskan seputar Nilai filosofis dari tradisi lokal Tengger.
ADVERTISEMENT

Memaknai Nilai Filosofi Tradisi guna Meraih Keselarasan Kosmis

Upacara yang dilaksanakan secara ajeg oleh Wong Tengger ternyata mengandung nilai-nilai filosofis yang secara intensif memuat pesan-pesan ekologis tentang relevansi sikap hidup masyarakat dalam memaknai dan menjalani kehidupan. Seperti halnya Yadnya Kasada, Yadnya Karo, dan Unan-unan adalah wujud kristalisasi dari perspektif Wong Tengger terhadap kinerja alam semesta yang terkoneksi satu sama lain.
Para penduduk Tengger tidak pernah mengeksploitasi alam hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, namun mereka lebih cenderung menjaga keselarasan antara manusia dan alam. Mereka senantiasa menempatkan diri agar tetap sejajar, seimbang, dan selaras dengan alam.
Dalam riset tersebut mengungkapkan bahwa penduduk sana mengejawantahkan relasi manusia dan alam Tengger yang terlihat dari cara pandang mereka terhadap keberadaan Gunung Bromo. Masyarakat sana percaya bahwa Gunung Bromo bukan hanya dianggap sebagai gunung yang suci, namun juga sebagai pembawa berkah. Bahkan ketika gunung tersebut erupsi mereka menganggap hal tersebut sebagai berkah karena di sana tempat para leluhur bersemayam.
Ilustrasi Pelaksanaan Yadnya Kasada di Tengger (Photo: Shutterstock)
Tidak hanya itu, letusan Gunung Bromo juga dimaknai sebagai peringatan bahwa telah terjadi sesuatu yang salah di tanah Hila-hila (tanah suci). Dengan demikian, Wong Tengger akan melakukan ritual adat untuk memulihkan keselarasan antara alam semesta dan manusia. Mereka mempercayai bahwa baik-tidaknya perilaku mempengaruhi kondisi alam di sana. Maka tak heran jika Wong Tengger menjunjung tinggi keharmonisan alam dengan melakukan berbagai ritual harian.
ADVERTISEMENT
Fenomena kulturasi budaya tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Wong Tengger bergantung penuh terhadap alam melalui pelaksanaan ritual adat untuk menjaga keseimbangan dengan alam semesta. Namun, perlu digarisbawahi bahwasanya keselarasan kosmis akan tercapai jika tradisi ini tetap terpelihara. Maka dari itu diperlukan adanya ketaatan, kepasrahan dan kerja keras Wong Tengger untuk mempertahankan kesakralan ini. Pada akhirnya, muara dari segala sikap yang ditampilkan memiliki tujuan mulia yaitu untuk konservasi tradisi dan alam, menjalin keharmonisan antar alam semesta dan manusia melalui upacara adat Tengger.

Tradisi Adaptif sebagai Strategi Prefentif Terhadap Komodifikasi

Pelaksanaan Yadnya di Tengger Bromo Semeru (Foto: Aidatul Fitriyah)
Dinamika zaman sedikit banyak telah merombak tatanan tradisi Tengger. Untuk mempertahankan eksistensi Tradisi itu, maka dibutuhkan sejumlah adaptasi dalam beberapa aspek seperti perangkat sesaji dan ritual. Upaya mempertahankan tradisi ini selaras dengan perkembangan zaman, namun tetap mempertahankan makna adiluhung-nya merupakan pertimbangan yang sangat dilematis.
ADVERTISEMENT
Kemajuan zaman rupanya telah merekonstruksi paradigma masyarakat terhadap upacara sakral di Tengger. Dalam konteks ini, strategi adaptasi dilakukan sebagai respons terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kemajuan zaman. Adaptasi menjadi pilihan logis dalam menyiasati permasalahan ini agar tradisi senantiasa eksis tanpa meniadakan esensi kesakralannya. Ini menunjukkan bahwa kesakralan sangat bergantung pada faktor eksternal yang melingkupi suatu objek.
Di antara upacara-upacara yang rutin dilaksanakan oleh Wong Tengger, Yadnya Kasada adalah upacara yang sangat sukses dalam meningkatkan nilai jual pariwisata kawasan Gunung Bromo. Pada awalnya, Yadnya Kasada merupakan upacara tradisional yang hanya dilaksanakan oleh masyarakat lokal. Namun, sejak tahun 2000-an, upacara-upacara tersebut, terutama Kasada, mulai digandrungi oleh para turis karena keunikan dan kemenarikannya sebagai sebuah tontonan.
ADVERTISEMENT
Melalui Yadnya Kasada, masyarakat Tengger bisa memperlihatkan budaya yang dimilikinya dan pelajaran dibalik keanekaragaman adat istiadat tersebut, sehingga banyak dari wisatawan yang tertarik untuk mengetahui budaya mereka. Kendati demikian, pada ranah yang lebih internal, tentu saja sikap profan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap fenomena komodikasi budaya demi kemajuan industri pariwisata. Jika hal ini terjadi, maka nilai adhiluhung yang melekat pada tradisi itu itu akan sirna.
Dalam riset tersebut juga menunjukkan bahwa modernisasi dan mengakomodasi industri pariwisata adalah langkah yang dapat dilakukan untuk menyelaraskan kepentingan kepariwisataan dengan marwah kultural masyarakat lokal. Artinya, kebijakan pariwisata tidak hanya bertumpu pada orientasi ekonomis, tetapi juga bertumpu pada nilai-nilai adiluhung suatu tradisi. Hal tersebut semata-mata dilakukan untuk menjaga keautentikan dan kesakralan tradisi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melibatkan penuh para pemangku adat Tengger sebagai pemilik kebudayaan dalam menetapkan kebijakan strategis ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu perlu diadanya rembuk secara mendalam untuk mengklasifikasikan antara tradisi yang sakral dan tidak dapat dikomodifikasikan dengan tradisi yang berada di luar zona kesakralan dan boleh dimodifikasi. Lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakan strategis lainnya yang mengacu pada kearifan tradisi Tengger dapat didiskusikan secara intensif. Dengan demikian, segala bentuk kesakralan yang menapasi kehidupan Wong Tengger tetap berada pada makna esensialnya tanpa menafikan arus moderninasi yang semakin hari semakin deras lajunya