Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Siapa Bilang Produk Jelek dan Gagal Tidak Bisa Mahal?
23 November 2018 15:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Aidil Akbar Madjid - Financial Planner tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kali ini, saya tidak menulis seputar perencanaan keuangan, meskipun tetap ada hubungannya dengan keuangan juga. Topik ini mencuat di saat saya berjalan bersama salah satu associate saya untuk Jum’atan tadi siang. Ngobrol ngalor ngidul sampai kami melihat brosur ditempel di tiang listrik tentang pasar mudah bagi rakyat. Di situ terlihat harga beras di bawah Rp 5.000 per liter, yang termasuk ke dalam kategori murah.
ADVERTISEMENT
Pembicaraan kemudian malah menyerempet ke beras keras (dikenal dengan istilah beras pera) yang ternyata justru harganya lebih mahal dibandingkan beras biasa. Saya pribadi dulu pernah punya bisnis warung, di mana salah satu menu makanan kami adalah nasi goreng. Selidik punya selidik, nasi goreng yang enak adalah nasi goreng dengan nasi yang sudah agak keras.
Adapun asal muasal hadirnya nasi goreng di Indonesia adalah karena nasi sisa makan malam sebelumnya yang tidak termakan setelah diinapkan semalaman tidak terlalu enak untuk dimakan langsung (karena menjadi keras). Nah, nasi ini yang kemudian digoreng dengan bumbu dan kecap menjadi nasi goreng yang kita kenal sekarang.
Abang-abang penjual nasi goreng belum tentu masak nasi dengan beras bagus di malam sebelumnya untuk diinapkan. Itulah sebabnya kemudian permintaan beras pera (keras) ini melonjak dan harganya tinggi. Ketika saya masih menjalankan bisnis warung tersebut beberapa tahun lalu, untuk beras kualitas standard saya beli dengan harga Rp 9.000 per liter, sementara beras pera dijual dengan harga Rp 11.000 per liter.
ADVERTISEMENT
Contoh lain bahwa produk jelek atau gagal justru punya harga yang mahal, yaitu kelapa kopyor. Tahukah anda bahwa konon kelapa kopyor sebenarnya adalah sejenis kelapa yang “rusak”. Nah, hebatnya lagi, kelapa yang rusak ini jumlahnya tidak banyak. Dari satu pohon berisi banyak buah kelapa, kemungkinan hanya ditemukan 1-2 kelapa saja. Bahkan, pada beberapa kasus tidak ditemukan kelapa rusak sama sekali.
Oleh karena bentuk dari kelapa sama, yang bisa membedakan kelapa rusak (kopyor) ini adalah hewan monyet yang sudah terlatih. Monyet ini tahu dan memilihkan kelapa mana yang rusak dan dipetik secara terpisah untuk dijual secara terpisah. Itulah sebabnya mengapa kelapa kopyor ini secara harga dijual lebih mahal dari kelapa biasa.
ADVERTISEMENT
Contoh terakhir barang jelek atau gagal adalah mobil-mobilan. Salah satu manajer saya adalah pengumpul dan pengoleksi mainan yang dikenal dengan nama Hot Wheels. Nah, konon katanya, di antara kolektor mobil-mobilan ini, justru mobil-mobilan yang salah produksi (reject) lah yang mempunyai harga jual sangat tinggi. Mengapa? Karena mobil jenis ini hanya ada dengan jumlah sedikit sekali di dunia, atau bahkan hanya ada 1-2 saja yang lolos terjual.
Contoh gagal produksi misalnya, stiker mobilnya terbalik, merek mobil dengan jenis mobil di dalamnya berbeda, dan keunikan-keunikan lain yang dimulai dari sebuah kesalahan. Mobil-mobil salah produksi ini bisa dijual dengan harga ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah bagi kolektor yang tergila-gila mengumpulkan koleksi jenis ini.
ADVERTISEMENT
So, siapa bilang barang-barang jelek, salah produksi, harganya tidak bisa mahal. Pertanyaanya adalah bisakah barang seperti ini kemudian dijadikan sebagai wahana investasi?