Konten dari Pengguna

Makanan Viral: "Hidden Gem" atau Sekadar Gimik?

Aiko Simanjaya
siswa Penabur International Kelapa Gading
2 Desember 2024 10:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aiko Simanjaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai orang warga Jakarta, kamu pasti tau tentang kafe dan tempat makan pop-up baru yang menjadi pusat perhatian di PIK dan Blok M. Tempat makan inilah yang sering membuat tren makanan viral zaman sekarang. Dari croffle (croissant waffle) hingga dubai pistachio chocolate, kreasi kuliner ini bisa dilihat di semua feed media sosial, menjanjikan daya tarik visual sekaligus zaman kebaruan. Rasanya setiap minggu ada restoran atau cafe baru yang jual hidangan makanan “super worth it” dan “unik BANGET LOH, enggak pernah ada yang seperti ini”.
ADVERTISEMENT
Tapi, di balik tren yang kelihatannya tidak berbahaya terdapat fenomena beresiko yang lebih besar, yaitu kebiasaan Gen Z untuk mengkonsumsi secara berlebihan atau overconsumption, yang dipicu oleh media sosial, kepuasan instan, dan keinginan untuk divalidasi.
Overconsumption adalah keharusan seseorang untuk mengonsumsi lebih dari yang diperlukan atau mengonsumsi barang dengan berkelanjutan. Bagi Gen Z, perbuatan ini telah dibentuk secara signifikan oleh lingkungan digital kita. Karena kita generasi pertama yang tumbuh 100% di era internet, Gen Z telah terekspos kepada konten yang tak ada habisnya, yang sering kali ditentukan oleh algoritma yang mengutamakan kebaruan, aesthetics, dan viralitas suatu produk. Menurut saya, overconsumption telah terjadi dibanyak bidang seperti makeup dan kosmetik, blindbox (sonny angel dan labubu), tiket konser, dan juga makanan viral.
ADVERTISEMENT
Makanan trending/ viral, khususnya di sektor makanan dan minuman (F&B) Indonesia yang berkembang, adalah contoh utama bagaimana overconsumption bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Di era covid, pemesanan makanan secara daring naik, dengan jumlah total bisnis F&B daring tumbuh dari 7,35% menjadi 19,12% antara tahun 2018 dan 2022. Akses digital ini membuat makanan tidak hanya lebih mudah diakses tetapi juga menjadi bentuk hiburan. Makanan viral tidak lagi hanya tentang rasa tetapi menjadi token status sosial seseorang yang dibagikan di Instagram dan TikTok.
Namun daya tarik overconsumption tidak hanya didorong oleh media sosial tetapi juga karena ekonomi. Banyak pengusaha Gen Z melihat makanan viral sebagai jalan menuju kesuksesan finansial. Dengan total, industri F&B menyumbang 34% PDB Indonesia dan bisnis yang memasuki pasar dengan produk yang trending menawarkan pengusaha untuk mendapatkan untung dengan cepat. Dari branding yang aesthetic sampe kemasan yang fotogenik, prioritas pengusaha telah bergeser dari kualitas ke daya jual.
ADVERTISEMENT
foto diambil dari penulis
Sebagai seseorang yang suka banget jajan, saya telah mengalami banyak kecewaan saat saya beli makanan yang sedang trending. Salah satu pengalaman yang saya alami adalah saat saya beli suatu produk cheesecake with cheese softserve— sesuatu dessert yang viral di Tiktok dan Instagram saya. Banyak banget konten kreator yang klaim bahwa dessert ini “hidden gem” dan “worth it banget guys”. Penasaran dengan kehebohannya, aku dan teman saya bagi biaya dessert ini, hanya untuk mengetahui bahwa rasanya biasa saja dengan harganya terlalu mahal yaitu Rp 60.000. Dessert tersebut, meskipun menarik untuk foto, gagal membenarkan harganya. Ini membuat saya nanya: sebenernya saya bayar untuk makanan atau status viral sih?
foto diambil dari penulis
Pengalaman lainnya adalah saat saya lihat satu pop-up shop yang jual kentang goreng dengan saus keju dan bacon di slowmove bazaar. Dalam keadaan lapar, toko ini menarik perhatian saya karena produknya kelihatan sangat enak. Harganya Rp 50.000 yaitu lumayan mahal, tetapi harganya masih ‘okelah’ untuk porsi gede yang saya lihat. Aslinya, porsi sebenarnya adalah 80% keripik kentang dingin dan 20% kentang goreng asli, dengan saus keju yang tidak cukup untuk melapis kentangnya. Karena kecewa, saya pun menghabiskan jumlah yang sama untuk semangkuk nasi (yang rasanya biasa saja yaa) hanya untuk merasa kenyang.
ADVERTISEMENT
Sebagai siswa dengan uang saku terbatas saya melihat jajan makanan viral sebagai investasi duit, soalnya saya memang penasaran dengan rasa produknya. Namun, ketika produk yang dipasarkan secara berlebihan dan ditutupi oleh packaging yang bagus ternyata rasanya biasa-biasa saja, hal itu membuat saya kecewa dan tidak mau coba makanan baru lagi. Berkali-kali saya mencoba meyakinkan sendiri untuk membenarkan kenaikan harga yang gila-gilaan itu dengan kualitas makanannya. Mungkin karena mahal, kualitas produknya juga bagus, dan juga memasuki faktor-faktor seperti karyawan, sewa, desain, dan lainnya. Tapi dari semua jajanan mahal yang saya pernah beli, hanya 25% saja yang menurut saya ‘worth it’. Kadang dipikir juga, minuman dijual seharga Rp 75.000 untuk sekali minum, atau Rp 40.000 untuk kentang goreng pakai bumbu sebenernya scam engga sih? Namun, overconsumption terus berlanjut—didorong oleh FOMO (fear of missing out) dan promosi media sosial yang tiada henti.
ADVERTISEMENT
Overconsumption bukan hanya tentang kekecewaan pribadi tapi juga memiliki dampak negatif kepada budaya tradisional Indonesia. Bertentangan dengan pasar makanan viral, bisnis kecil yang menawarkan hidangan tradisional Indonesia seperti rendang, gudeg, dan soto berjuang untuk bersaing. Pergeseran permintaan konsumen memaksa banyak vendor lokal untuk membuat menu yang sedang tren dan terinspirasi dari kuliner internasional agar tetap relevan, yang sering kali mengorbankan budaya tradisional kuliner mereka.
Selain itu, konsumsi berlebihan berkontribusi negatif kepada lingkungan dan ekonomi. Produksi makanan viral sering mengutamakan kuantitas daripada kualitas, yang menyebabkan pengemasan dan pemborosan makanan yang berlebihan. Banyak dari bisnis ini berinvestasi besar untuk buat produknya viral, tetapi gagal mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari operasi mereka.
Meskipun banyak kritikan, makanan viral dan pengaruh Gen Z terhadap industri F&B bukan hanya negatif. Penjualan makanan secara daring memberi platform bagi usaha kecil, dan memicu inovasi kreatif. Ini bisa dilihat dengan cara produknya di branding dengan pengemasan yang menarik, beda banget dengan bisnis F&B 10 tahun yang lalu. Namun, budaya konsumsi berlebihan saat ini perlu ditangani.
ADVERTISEMENT
Bagi Gen Z, solusi overconsumption adalah kesadaran untuk memilih kualitas daripada kuantitas, mendukung usaha lokal, dan menghargai pengalaman daripada penampilan. Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk menuntut lebih dari merek yang kita dukung, memastikan bahwa tren makanan memprioritaskan keaslian, keberlanjutan, dan pelestarian budaya.
Sementara itu, bisnis harus menyeimbangkan inovasi dengan tanggung jawab. Jangan mengejar tren yang cepat berlalu, mereka harus fokus menciptakan produk yang menawarkan nilai yang bertahan lama, baik dalam rasa maupun dampak.
Banyaknya usaha cafe dan restoran pop-up membuktikan kreativitas dan pengaruh Gen Z. Namun, hal ini juga meningkat konsumsi berlebihan di dunia yang didorong oleh kepuasan instan dan media sosial. Sebagai sebuah generasi, Gen Z memiliki kesempatan untuk mendefinisikan ulang budaya makanan yaitu bukan mengikuti tren yang cepat berlalu, tetapi sebagai perayaan keaslian, keberlanjutan, dan pengalaman bersama.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi Z, saya berharap bahwa kami bisa mengutamakan konsumsi yang bijak daripada mengikuti tren. Kami juga harus menggunakan kreativitas kita untuk membantu meningkatkan budaya Indonesia, terutama dalam hal makanan, dan menjadikannya nilai jual utama kita di mata negara lain.