Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Makanan Viral: "Hidden Gem" atau Sekedar Gimik?
2 Desember 2024 11:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aiko Simanjaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai warga Jakarta, kalian pasti tahu tentang kafe dan tempat makan baru yang menjadi pusat perhatian di PIK dan Blok M. Tempat makan inilah yang sering membuat tren makanan viral zaman sekarang. Dari croffle (croissant waffle) hingga dubai pistachio chocolate , kreasi kuliner ini bisa dilihat di semua feed media sosial, menjanjikan daya tarik visual sekaligus zaman kebaruan. Rasanya setiap minggu ada restoran atau cafe baru yang menjual hidangan makanan super worth it dan ‘unik BANGET LOH, enggak pernah ada yang seperti ini’.
ADVERTISEMENT
Di balik tren yang kelihatannya aman, terdapat fenomena beresiko yang lebih besar, yaitu kebiasaan Gen Z untuk mengonsumsi makanan atau minuman secara berlebihan atau overconsumption, yang dipicu oleh media sosial, kepuasan instan, dan keinginan untuk diakui.
Overconsumption adalah keharusan seseorang untuk mengonsumsi lebih dari yang diperlukan. Bagi Gen Z, tindakan ini terbentuk karena lingkungan digital kita. Saat ini Gen Z telah selalu fokus pada konten yang tak ada habisnya, yang sering kali ditentukan oleh algoritma yang mengutamakan kebaruan, aesthetics, dan viralnya suatu produk. Menurut penulis, overconsumption terjadi di berbagai bidang seperti make up dan kosmetik, blind box (sonny angel dan labubu), tiket konser, dan juga makanan viral.
Makanan trending/viral, khususnya di sektor makanan dan minuman (F&B) Indonesia yang berkembang menjadi contoh kehidupan yang overconsumption karena bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Di era covid, pemesanan makanan secara daring naik dengan jumlah total bisnis F&B daring tumbuh dari 7,35% menjadi 19,12% antara tahun 2018 dan 2022. Akses digital ini membuat makanan tidak hanya lebih mudah diakses tetapi juga menjadi bentuk hiburan. Makanan viral tidak lagi hanya tentang rasa tetapi menjadi status sosial seseorang yang dapat dibagikan melalui Instagram dan TikTok.
ADVERTISEMENT
Daya tarik overconsumption tidak hanya didorong oleh media sosial tetapi juga karena ekonomi. Banyak pengusaha Gen Z melihat makanan viral sebagai jalan menuju kesuksesan. Saat ini industri F&B menyumbang 34% PDB Indonesia dan bisnis yang memasuki pasar dengan produk yang trending menawarkan keuntungan dengan cepat. Dari branding yang aesthetic sampe kemasan yang fotogenik, prioritas pengusaha telah bergeser dari kualitas ke daya jual.
Sebagai seseorang yang suka jajan, penulis mengalami banyak kekecewaan saat membeli makanan yang sedang trending. Salah satu pengalaman yang penulis alami adalah saat membeli produk cheesecake with cheese softserve— suatu dessert yang viral di Tiktok dan Instagram. Banyakkonten kreator yang meng-klaim bahwa dessert ini “hidden gem” dan “worth it banget guys”. Penasaran dengan kehebohannya, penulis pun membelinya dengan harga Rp60.000 dan ternyata rasanya biasa saja. Dessert tersebut meskipun menarik untuk difoto, namun harganya dirasa terlalu mahal. Ini membuat penulis bertanya sebenarnya saya bayar untuk makanan atau status viralnya, ya?
Pengalaman lainnya adalah saat saya lihat satu pop-up shop yang jual kentang goreng dengan saus keju dan bacon di slowmove bazaar. Dalam keadaan lapar, toko ini menarik perhatian saya karena produknya kelihatan sangat enak. Harganya Rp 50.000 yaitu lumayan mahal, tetapi harganya masih ‘okelah’ untuk porsi gede yang saya lihat. Aslinya, porsi sebenarnya adalah 80% keripik kentang dingin dan 20% kentang goreng asli, dengan saus keju yang tidak cukup untuk melapis kentangnya. Karena kecewa, saya pun menghabiskan jumlah yang sama untuk semangkuk nasi (yang rasanya biasa saja yaa) hanya untuk merasa kenyang.
Sebagai siswa dengan uang saku terbatas saya melihat jajan makanan viral sebagai investasi duit, soalnya saya memang penasaran dengan rasa produknya. Namun, ketika produk yang dipasarkan secara berlebihan dan ditutupi oleh packaging yang bagus ternyata rasanya biasa-biasa saja, hal itu membuat saya kecewa dan tidak mau coba makanan baru lagi. Berkali-kali saya mencoba meyakinkan sendiri untuk membenarkan kenaikan harga yang gila-gilaan itu dengan kualitas makanannya. Mungkin karena mahal, kualitas produknya juga bagus, dan juga memasuki faktor-faktor seperti karyawan, sewa, desain, dan lainnya. Tapi dari semua jajanan mahal yang saya pernah beli, hanya 25% saja yang menurut saya ‘worth it’. Kadang dipikir juga, minuman dijual seharga Rp 75.000 untuk sekali minum, atau Rp 40.000 untuk kentang goreng pakai bumbu sebenernya scam engga sih? Namun, overconsumption terus berlanjut—didorong oleh FOMO (fear of missing out) dan promosi media sosial yang tiada henti.
ADVERTISEMENT
Overconsumption bukan hanya tentang kekecewaan pribadi tapi juga memiliki dampak negatif kepada budaya tradisional Indonesia. Bertentangan dengan pasar makanan viral, bisnis kecil yang menawarkan hidangan tradisional Indonesia seperti rendang, gudeg, dan soto berjuang untuk bersaing. Pergeseran permintaan konsumen memaksa banyak vendor lokal untuk membuat menu yang sedang tren dan terinspirasi dari kuliner internasional agar tetap relevan, yang sering kali mengorbankan budaya tradisional kuliner mereka.
Selain itu, konsumsi berlebihan berkontribusi negatif kepada lingkungan dan ekonomi. Produksi makanan viral sering mengutamakan kuantitas daripada kualitas, yang menyebabkan pengemasan dan pemborosan makanan yang berlebihan. Banyak dari bisnis ini berinvestasi besar untuk buat produknya viral, tetapi gagal mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari operasi mereka.
Meskipun banyak kritikan, makanan viral dan pengaruh Gen Z terhadap industri F&B bukan hanya negatif. Penjualan makanan secara daring memberi platform bagi usaha kecil, dan memicu inovasi kreatif. Ini bisa dilihat dengan cara produknya di branding dengan pengemasan yang menarik, beda banget dengan bisnis F&B 10 tahun yang lalu. Namun, budaya konsumsi berlebihan saat ini perlu ditangani.
ADVERTISEMENT
Bagi Gen Z, solusi overconsumption adalah kesadaran untuk memilih kualitas daripada kuantitas, mendukung usaha lokal, dan menghargai pengalaman daripada penampilan. Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk menuntut lebih dari merek yang kita dukung, memastikan bahwa tren makanan memprioritaskan keaslian, keberlanjutan, dan pelestarian budaya.
Sementara itu, bisnis harus menyeimbangkan inovasi dengan tanggung jawab. Jangan mengejar tren yang cepat berlalu, mereka harus fokus menciptakan produk yang menawarkan nilai yang bertahan lama, baik dalam rasa maupun dampak.
Banyaknya usaha cafe dan restoran pop-up membuktikan kreativitas dan pengaruh Gen Z. Namun, hal ini juga meningkat konsumsi berlebihan di dunia yang didorong oleh kepuasan instan dan media sosial. Sebagai sebuah generasi, Gen Z memiliki kesempatan untuk mendefinisikan ulang budaya makanan yaitu bukan mengikuti tren yang cepat berlalu, tetapi sebagai perayaan keaslian, keberlanjutan, dan pengalaman bersama.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi Z, saya berharap bahwa kami bisa mengutamakan konsumsi yang bijak daripada mengikuti tren. Kami juga harus menggunakan kreativitas kita untuk membantu meningkatkan budaya Indonesia, terutama dalam hal makanan, dan menjadikannya nilai jual utama kita di mata negara lain.