Utopia: Negeri yang Terlalu Idealis

Aileenyssa ramadhani
Mahasiswi Hukum Unsri
Konten dari Pengguna
13 November 2022 21:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aileenyssa ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Utopia (Sumber : pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Utopia (Sumber : pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Apakah kamu ingin hidup di dunia yang lebih baik? Dunia yang dipenuhi dengan kedamaian, kesetaraan, kebahagiaan, dan kemakmuran bagi setiap pria, wanita, dan anak-anak? Sebagian besar dari kita ingin hidup di dunia seperti itu. Tetapi mengapa dunia seperti itu tampak begitu jauh dari jangkauan kita?
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah tempat di mana semua kekhawatiran menghilang. Tempat di mana beban dunia pergi jauh. Tempat-tempat ini disebut Utopia. Selama ribuan tahun, para filsuf telah berdebat: Seperti apa dunia yang sempurna? Bagaimana itu akan terjadi? Namun, terlepas dari semua ide dan upaya mereka, manusia belum mampu menciptakan dunia yang sempurna. Mengapa tidak? Apakah Utopia gagal atau bahkan mungkin?
Istilah "Utopia" pertama kali diciptakan oleh Sir Thomas More, pada tahun 1518. More menulis sebuah novel yang menggambarkan masyarakat baru yang fantastis, bebas dari masalah, bebas dari perperangan, pembunuhan, bahkan kemiskinan. More mengatur masyarakat yang tampaknya sempurna ini di sebuah pulau, dan memberinya nama "Utopia." Sejak itu, "Utopia" telah menjadi semacam singkatan untuk tempat yang sempurna. Tetapi apakah Anda menyadari, utopia secara harfiah berarti "tidak ada tempat"? Bahasa Yunani ou berarti "tidak" dan topos berarti "tempat." Bahkan More tahu bahwa tempat yang dia tulis hanyalah khayalan. Memang, "tidak ada tempat" di bumi di mana manusia semua hidup bersama dalam kedamaian sejati, dengan harmoni sejati, mengalami kehidupan yang bebas dari kekhawatiran, stres atau rasa sakit. Alih-alih, di mana-mana kita melihat masalah seperti kemiskinan, kejahatan, kelaparan, penyakit, perang, dan korupsi. Sekarang setelah kita memahami apa itu utopia, kita akan membahas mengapa itu tidak akan pernah tercapai.
ADVERTISEMENT
Banyak utopia diciptakan untuk alasan yang sama, untuk menjauh dari masyarakat modern. Memiliki semua orang yang sama dan setara adalah salah satu cara mereka mencapai ini. Semua harus diperlakukan adil dalam dunia yang sempurna dan adil. Meskipun demikian, tidak semua orang sama, dan tidak semua orang ingin menjadi sama. Itu bisa menjadi sangat berbahaya untuk menyebarkan kesan bahwa "jika semua orang sama, maka akan ada kedamaian".
Memperlakukan orang secara setara dan membuat semua orang seragam adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Memperlakukan orang secara setara berarti memberi semua orang hak yang sama tanpa ada diskriminasi. Banyak pengembang utopia memiliki niat baik dalam hal keinginan mereka agar semua menjadi sama. Mereka melihatnya sebagai cara untuk memastikan bahwa tidak ada yang diperlakukan tidak adil karena perbedaan mereka. Di sisi lain, membuat semua orang seragam berarti setiap orang sama, tanpa individualitas atau keragaman. Ini adalah salah satu alasan utama kegagalan utopia.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Utopia digambarkan sebagai negeri dengan orang-orang yang memiliki keyakinan idealis, setiap orang bertindak atas keyakinan mereka sendiri dan ajaibnya membentuk sebuah keharmonisan tanpa adanya perpecahan. Namun apakah prinsip idealisme Utopia akan selamanya membawanya ke keadaan yang stabil? Bayangkan anda berdiri di samping pertigaan di jalur kereta api dengan sakelar untuk mengalihkan mobil troli yang akan membunuh lima pekerja di rel. Jika anda menarik sakelar, itu akan mengalihkan troli ke jalur samping di mana itu akan membunuh satu pekerja. Jika anda tidak melakukan apa-apa, troli membunuh kelimanya. Apa yang akan anda lakukan? Kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka akan menarik sakelar. Jika bahkan orang-orang di negara-negara Barat yang tercerahkan saat ini setuju bahwa secara moral diperbolehkan untuk membunuh satu orang untuk menyelamatkan lima orang, bayangkan betapa mudahnya meyakinkan orang-orang yang tinggal di negara-negara otokratis dengan aspirasi utopis untuk membunuh 1.000 untuk menyelamatkan 5.000, atau memusnahkan 1.000.000 sehingga 5.000.000 dapat makmur. Apa yang tidak ada duanya ketika kita berbicara tentang kebahagiaan tak terbatas dan kebahagiaan kekal.
ADVERTISEMENT
Lalu Seperti apa negara yang ideal itu ?
Meskipun utopia sangat diinginkan, itu tidak mungkin untuk dicapai. Ini karena utopia menganggap manusia adalah sempurna, namun hal itu sangat jauh dari kebenaran. Lagi pula, bagaimana seseorang dapat menciptakan masyarakat yang sempurna dari spesies yang tidak sempurna?
Banyak para ahli dan tokoh-tokoh terkemuka yang merumuskan konsep negara ideal, namun pendapat mereka tentulah jauh dari kesempurnaan yang dijanjikan oleh negara Utopia. Tidak mungkin bagi umat manusia untuk mencapai Utopia, tetapi apabila kita memiliki keinginan kuat yang sejalan dengan tindakan yang nyata, kita bisa saja mewujudkan negara yang ‘mirip’ atau mendekati Utopia.
Sampingkan teori dan angan-angan, apabila kita melihat berdasarkan data mengenai daftar negara termakmur di dunia maka kita akan mendapati bahwa sebagian besar Bangsa Skandinavia, seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark, masuk ke dalam kategori tersebut. Ada beberapa indikator yang membuat Bangsa Skandinavia menempati peringkat 10 besar untuk negara dengan tingkat kebahagiaan di dunia. Indikator tersebut antara lain soal pertumbuhan ekonomi, layanan kesehatan, pendidikan, dan tingkat kriminalitas yang rendah. Selain itu, transparansi dalam kegiatan berpolitik menjadi salah satu kunci bagaimana negara di Skandinavia bisa makmur. Kebanyakan Bangsa Skandinavia melakukan sistem keterbukaan politik dan model transparansi yang tinggi dalam hal kepentingan komunal. Hal ini kemudian memicu adanya sinergi dan dialog antara pemerintah dan masyarakat di negara-negara Skandinavia. Pendidikan berkualitas juga merupakan faktor penting yang membuat Bangsa Skandinavia makmur dan maju.
ADVERTISEMENT
Keadaan tersebut sejalan dengan beberapa teori negara ideal menurut para ahli, diantaranya :
Aristoteles
Aristoteles mengatakan tujuan negara yaitu mencapai keselamatan untuk semua penduduknya, kewajiban negara adalah mendidik rakyat berpendirian tetap, berbudi baik dan pandai mencapai yang sebaik-baiknya. Aristoteles menganjurkan supaya negara mengambil tindakan yang tepat untuk mempengaruhi penghidupan sosial, tetapi ukuran yang dipertimbangakannya ialah kepentingan yang selalu mengambil jalan tengah. Bagi Aristoteles, tiang masyarakat ialah kaum menengah yang berbudi baik. Kedudukan kaum menengah lebih tinggi dari saudagar dan bankir. perjuangan kelas pekerja di negara-negara Skandinavia sangat gigih dan terorganisir. Perjuangan tersebut menuntut hak-hak dasar kaum pekerja, dan telah berlangsung puluhan tahun dengan intensitas yang luar biasa tinggi.
Ibnu Khaldun
ADVERTISEMENT
pemikiran Ibnu Khaldun mengenai konsep ashabiyah memiliki pengaruh yang sangat besar untuk mencapai negara yang ideal. Secara fungsional ashabiyah merujuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Apabila unsur ashabiyah suatu negara sudah melemah, maka negara tersebut akan berada dalam ancaman keruntuhan. Keberhasilan negara-negara Skandinavia tidak ada hubungannya dengan homogenitas masyarakat mereka. Yang berperan kuat adalah persekutuan beragam gerakan sosial yang moderat dan terorganisir dengan baik, sehingga bisa bertahan lama untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang terkait dengan kepentingan bersama. gerakan kelas pekerja tersebut mampu membentuk persekutuan dengan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerakan perempuan dan gerakan kaum petani. Kerja sama tersebut membawa isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama, seperti pendidikan, dan kesehatan yang bermutu untuk semua.
ADVERTISEMENT
Ali Abdul Raziq
Negara ideal menurut Ali Abdul Raziq ialah negara yang berasaskan humanisme universal yang memperjuangkan rakyatnya, demokrasi dan keadilan sosial, yaitu negara sekuler bagi kaum muslimin dan non muslim yang hidup di negara itu. Pemerintah negara-negara Skandinavia memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap kebutuhan serta kepentingan warganya, kepedulian ini dijaga terus menerus, dan terwujud secara nyata di dalam berbagai program politik dan ekonomi yang mereka jalankan.