Konten dari Pengguna

Dampak COVID-19 Hingga Resesi ? Kok Bisa ?I

11 Agustus 2020 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aina Rachmaningtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Aina Rachmaningtyas
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Aina Rachmaningtyas
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak akhir tahun 2019, dunia dihadapkan dengan merebaknya Coronavirus Deseas 2019 (COVID-19). Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi. Menurut WHO, pandemi ialah kondisi ketika masyarakat di seluruh dunia berpeluang terjangkit infeksi.
ADVERTISEMENT
Dunia telah mengalami pandemi seperti cacar dan TBC. Namun, COVID-19 adalah pandemi terbaru di dunia yang dampaknya berpotensi lebih parah daripada pandemi sebelumnya. International Monetary Fund memperkirakan ekonomi dunia dapat merosot hingga minus 3%. Hampir seluruh wilayah di dunia terjangkit. Ekonomi, komunikasi dan rantai pasokan yang terhubung di seluruh dunia mengalami gangguan sehingga berdampak signifikan pada kegitan perekonomian.
Pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi pandemi ini, termasuk memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan menutup sekolah. Mengambil langkah-langkah tersebut cukup signifikan dan perlu, tetapi kita tidak dapat mengabaikan pengaruhnya terhadap masyarakat, terutama kalangan kelas bawah dengan kondisi ekonomi paling rentan. Pembatasan menimbulkan banyak orang mendapatkan pendapatan lebih rendah. Meski demikian, penutupan sekolah justru membuat biaya hidup mereka meningkat. Sementara anak-anak mereka menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, keluarga menghadapi peningkatan tagihan listrik, tagihan internet, dan biaya perawatan anak.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, pandemi COVID-19 telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan kita sehari-hari, tak terkecuali belanja konsumen. Secara umum, pengeluaran turun di semua industri, karena pembatasan telah mengurangi apa yang dapat kita belanjakan. Selain itu, toko juga sempat ditutup dan perjalanan udara ditangguhkan. Konsekuensi ekonomi dari pandemi COVID-19 membuat konsumen cenderung tidak menghabiskan lebih banyak uang, dengan banyak yang beranggapan pendapatan rumah tangga mereka terus turun dalam beberapa bulan mendatang. Namun, waktu yang dihabiskan di dalam ruangan justru telah menyebabkan masyarakat menghabiskan lebih banyak uang untuk hiburan rumah dan belanjaan.
Di sisi lain, pembatasan ruang gerak masyarakat menghasilkan pengaruh yang cukup signifikan bagi perekonomian. Alih sistem work from office menjadi work from home mengurangi tingkat produktifitas banyak perusahaan, bahkan menghentikannya. Pendapatan banyak perusahaan jelas menurun dengan tajam sehigga karyawan beramai-ramai diberhentikan. Fenomena tersebut mengantarkan kita pada kondisi negara dengan tingkat pengangguran yang meningkat, begitu pula dengan tingkat kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Beralih dari kisah perusahaan, kondisinya tak jauh berbeda dengan para pedagang di tingkat kecil dan menengah seperti pedagang di pasar, atau di sepanjang jalan raya. Pembatasan memaksa semua orang untuk mengurangi intensitas keluar rumah, atau bahkan meminimalisir pembelian makanan dari luar rumah dengan alasan kesehatan. Sedikit gambaran tersebut setidaknya mampu membuktikan bahwa pandemi COVID-19 mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat di semua level, dari masyarakat lapisan bawah hingga menengah ke atas. Terlebih lagi, kondisi tersebut berjalan tak cukup satu atu dua bulan lamanya
Dari seluruh sektor yang terdampak, yang paling terlihat dampaknya yaitu pada sektor ekonomi. Hal ini dapat lihat dari postur APBN-P Indonesia. Dalam postur APBN-P menurut Perpres 54 Tahun 2020, diestimasikan pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami defisit sebesar 6,34% dari PDB. Selain pemerintah fokus pada APBN, pemerintah juga fokus kepada banyaknya kesejahteraan masyarakat yang terguncang akibat dari pandemi ini
ADVERTISEMENT
Pandemi yang berkepanjangan mengakibatkan perekonomian dari sektor pariwisata, transportasi umum, dan hotel dan restoran terguncang. Dikutip dari laporan Badan Pusat Statistika (BPS) pada kuartal ke II tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32%. Kontraksi ekonomi ini diuar dari ekspektasi Bank Indonesia dan Menteri keuangan. BI dan MenKeu mengekspektasikan perekonomian Indonesia pada kuartal II ini akan minus sekitar 4,3 %. Kontraksi yang paling dalam pada kuartal II ini terdapat pada konsumsi rumah tangga yang tercatat hingga minus 5,51 %.
Berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan gairah perekonomian. Fokus utama dan yang merupakan prioritas dari pemerintah pada pandemi COVID-19 dan setelah pandemi ini yaitu pemulihan ekonomi. Hal ini dapat kita lihat dengan upaya pemerintah untuk membebaskan PPh impor untuk 19 sektor tertentu, tarif PPh badan juga diturunkan menjadi 22% pada tahun 2020 dan tahun 2021, dan  menjadi 20% pada tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Apabila langkah-langkah yang diterapkan pemerintah efektif, pada kuartal ke III Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik. Hal ini ditunjukkan oleh mulai menggeliatnya permintaan kredit UMKM dan membaiknya data pajak korporasi untuk beberapa sektor tertentu ujar Juda Agung.
Pada kuartal III, pertumbuhan diperkirakan berada pada rentang 1,6 % hingga 1,4 %. Prediksi ini berkaca pada biaya penanganan COVID-19 dari APBN yang sudah tersalurkan dan pelonggaran PSBB. Akan tetapi pemerintah tetap menekan pertumbuhan ekonomi Inonesia diatas 0 % agar tidak terjadi resesi. Apabila pada kuartal III Indonesia masih masuk ke ranah negatif menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani secara teknis Indonesia masuk ke zona resesi.
Dalam Ekonomi Makro terdapat suatu teori yang dikemukakan oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes yang dikenal dengan teori Keynesian. Keynes dalam teorinya menyebutkan bahwa pendapatan adalah faktor utama konsumsi. Fungsi konsumsi, atau fungsi konsumsi Keynesian, adalah rumus ekonomi yang merepresentasikan hubungan fungsional antara konsumsi total dan pendapatan nasional bruto. Merujuk pada teori Keynes, tingkat konsumsi akan dipengaruhi oleh pendapatan saat itu dan juga perubahan pendapatannya. Apabila kondisi saat ini menimbulkan penurunan pendapatan, maka tingkat konsumsi juga akan menurun. Pola hubungan di antara keduanya dapat dilihat sebagai pola berbanding terbalik. Namun, Keynes juga menyatakan bahwa masyarakat yang berpendapatan rendah akan cenderung menghabiskan semua pendapatannya. Dengan kata lain, sedikit presentase bagi mereka untuk menyisihkan pendapatannya ke pos tabungan. Apabila meliat situasi terkini, dengan adanya pandemi COVID-19, masyarakat berpendapatan rendah ini justru mengalami penurunan pendapatan dengan kenaikan konsumsi. Hal ini dapat terjadi karena pembatasan memaksa masyarakat untuk banyak berada di dalam rumah sehingga menyebabkan pos-pos pembiayaan tertentu mengalami kenaikan. Beberapa contohnya ialah pos tagihan listrik, tagihan air dan internet, serta biaya perawatan anak.
ADVERTISEMENT
Kondisi seperti saat ini, dengan berkurangnya tingkat konsumsi masyarakat dikarenakan berkurangnya pula pendapatan yang diterima maka akan melemahkan kondisi perekonomian di Indonesia. Hal ini disiasati oleh pemerintah dengan menggelontorkan dana untuk bantuan kepada masyarakat terdampak COVID-19, memberikan gaji ke 13 untuk PNS, TNI, dan Polri, hingga rencana untuk memberikan bantuan untuk masyarakat dengan gaji dibawah 5 juta rupiah. Hal ini diharapkan dapat menggerakkan laju konsumsi yang mengakibatkan tergeraknya perekonomian di Indonesia. Sehingga Indonesia dapat terhindar dari jurang resesi.
Aina Rachmaningtyas, Mahasiswa Diploma III Akuntansi Alih Program Politeknik Keuangan Negara STAN