Konten dari Pengguna

Perempuan dalam Politik: Bias Gender di Pemerintahan Indonesia dan Jepang

Rahmatu Nuraini
Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Airlangga
11 Oktober 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Perempuan dalam Politik: Bias Gender di Pemerintahan Indonesia dan Jepang
Perempuan dalam politik: Bias gender di pemerintahan Indonesia dan Jepang. Partisipasi perempuan di politik adalah hal yang sangat penting untuk mencapai masyarakat inklusif dan demokratis. #userstory
Rahmatu Nuraini
Tulisan dari Rahmatu Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung parlemen. Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung parlemen. Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
Keterlibatan dan partisipasi perempuan di bidang politik sering kali dianggap suatu hal yang sepele. Partisipasi politik merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan sebagai upaya turut serta aktif dalam kegiatan berpolitik.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan perempuan dalam bidang politik adalah tindakan partisipasi aktif perempuan sebagai representasi perempuan dalam parlemen, pemerintahan, dan kepemimpinan politik yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan memastikan suara serta perspektif perempuan terwakili dalam kebijakan publik. Elemen kunci untuk mencapai kesetaraan gender dan pembangunan demokratis yang inklusif adalah partisipasi perempuan dalam politik. Pemberdayaan perempuan dalam dunia politik merupakan hal yang substantif untuk mencapai masyarakat yang inklusif dan demokratis.
Konsep di atas tidak hanya mengenai jumlah atau kuantitas, tetapi juga kualitas pengaruh perempuan yang berdampak pada perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam membentuk agenda nasional yang mempercepat penerapan pengarusutamaan gender.
Dalam hal pembuatan kebijakan, perempuan sering kali menjadi korban atas ketidakadilan dan pengabaian. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya disebabkan oleh kurangnya representasi yang mewakili suara mereka. Isu partisipasi perempuan di pemerintahan menjadi semakin relevan di era globalisasi dan demokrasi modern saat ini, yang mana kesetaraan gender dianggap sebagai prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan atau biasa disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs).
Ilustrasi kesetaraan gender. Foto: Shutterstock
Isu mengenai kesetaraan gender pada dasarnya telah digaungkan di banyak negara, tak terkecuali Indonesia dan Jepang. Dalam bidang politik, budaya patriarki menjadi salah satu rintangan bagi keikutsertaan perempuan di parlemen. Indonesia dan Jepang memiliki dinamika yang berbeda dalam hal partisipasi perempuan di dunia politik. Indonesia memiliki tradisi politik yang lebih inklusif pasca reformasi tahun 1998, sedangkan Jepang politik masih didominasi oleh Partai Liberal Demokrat yang konservatif, sehingga menyebabkan Jepang masih bergulat dengan budaya patriarki yang kuat.
ADVERTISEMENT
Terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan kemajuan dalam partisipasi perempuan di dunia politik Indonesia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu—yang menetapkan kuota minimal 30% calon perempuan di partai politik—menghasilkan representasi sekitar 21,9% perempuan di DPR RI pada Pemilu tahun 2024. Data tersebut dipublikasikan di akun media sosial resmi DPR RI.
Meskipun angka representasi perempuan di DPR RI meningkat daripada periode sebelumnya, tetapi tantangannya tetap ada. Salah satunya adalah fakta bahwa calon perempuan sebagian besar ditempatkan di daerah pemilihan yang sulit untuk dimenangkan, sehingga kuota tidak terpenuhi sepenuhnya. Selain itu, perempuan kadang-kadang hanya dianggap sebagai “pelengkap” daripada pemimpin utama, yang berarti pengaruh mereka lebih kecil. Laporan dari Women Research Institute pada Pemilu tahun 2024 menyatakan bahwa dari skala 100, terdapat sebanyak 52% calon perempuan mengalami kekerasan politik pada tingkat sangat serius.
Ilustrasi pemimpin perempuan . Foto: Shutterstock
Berbeda dengan Indonesia, di Jepang, partisipasi perempuan dalam ranah pemerintahan masih tergolong sangat rendah. Berdasarkan data dari Inter-Parliamentary Union (IPU), jumlah perempuan yang terdaftar di DPR Jepang saat ini adalah 15,7% atau 73 dari 465 anggota. Pada pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida, 5 dari 19 menteri kabinet adalah perempuan, sedangkan pada pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba, hanya 2 dari 19 menteri kabinet adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun berita terbaru menyatakan bahwa Jepang diperkirakan akan memiliki perdana menteri perempuan untuk pertama kalinya setelah Sanae Takaichi berhasil memenangkan pemilihan suara pada 4 Oktober 2025. Kabar tersebut merupakan suatu hal yang sedikit mengejutkan karena pada periode sebelumnya perdana menteri Jepang selalu laki-laki.
Contoh lain sebagai perbandingan partisipasi perempuan di dunia politik adalah Rwanda. Data dari IPU tahun 2022 menyatakan bahwa partisipasi perempuan di parlemen Rwanda sejak 2003 diperkirakan mencapai 61%, dengan lebih dari dua pertiga kursi parlemen dan 50% posisi di kabinet ditempati oleh perempuan. Hal tersebut dapat tercapai berkat kuota konstitusional pasca genosida. Sebaliknya, Arab Saudi baru mengizinkan partisipasi perempuan untuk menggunakan hak pilih pada tahun 2015. Hal tersebut menunjukkan bagaimana reformasi politik dapat mengikis serta memperkecil kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam partisipasi politik.
Sumber: Pexels
Dari paparan di atas, perbandingan mengenai partisipasi perempuan di Indonesia dan Jepang, atau bahkan di belahan bumi yang lain, dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Indonesia lebih unggul daripada Jepang secara numerik dalam representasi perempuan di dunia politik karena kuota wajib dan momentum reformasi demokrasi, sedangkan Jepang sedikit tertinggal karena masih ketergantungan pada budaya yang kaku dan sistem patriarki yang kuat. Kebijakan seperti kuota di Indonesia lebih efektif karena didukung oleh gerakan sipil yang aktif, sedangkan di Jepang “Womenomics” kurang berhasil karena keterbatasan representasi perempuan untuk menyuarakan dan menentang patriarki.
ADVERTISEMENT
Selain faktor di atas, faktor lain yang memengaruhi representasi perempuan dalam politik adalah faktor budaya. Indonesia sebagai negara yang plural, memungkinkan perempuan seperti Sri Mulyani (mantan menteri keuangan) dan Retno Marsudi (mantan menteri hubungan luar negeri) menduduki jabatan yang penting, sedangkan di Jepang ekspektasi sosial mengenai perempuan adalah sebagai pengasuh keluarga, walaupun pemikiran tersebut perlahan mulai terkikis.
Meskipun Indonesia lebih unggul secara partisipasi perempuan di dunia politik, nyatanya masih banyak hambatan untuk mencapai kesetaraan gender di bidang politik. Argumen tersebut diperkuat oleh penelitian berjudul “Analisis Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia: Faktor Penghambat dan Pendorong” yang menyatakan bahwa faktor penghambat partisipasi perempuan di dunia politik meliputi budaya patriarki, pembagian peran gender tradisional, diskriminasi dan ketidaksetaraan, persepsi stereotip gender, kurangnya pendidikan politik, hambatan strukural, beban ganda, kekerasan dan intimidasi.
Adanya kepemimpinan yang mendukung kesetaraan gender. Foto: Shutterstock
Partisipasi perempuan di pemerintahan Indonesia dan Jepang menunjukkan perbedaan yang memengaruhi kemajuan. Indonesia sudah satu langkah di depan melalui tokoh-tokoh seperti Megawati, Sri Mulyani, Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti, dan lainnya. Namun, Jepang masih memegang budaya patriarki dengan sangat kental, sehingga diperlukan adanya perubahan aturan untuk memecah glass ceiling yang ada.
ADVERTISEMENT
Dengan terpilihnya Sanae Takaichi sebagai perdana menteri baru Jepang, apakah mungkin dapat menjadi momentum upaya bagi perempuan Jepang untuk mengikis gap gander yang ada selama ini? Kita belum dapat mengetahuinya dikarenakan Sanae Takaichi adalah pemimpin dengan pemikiran yang masih sangat konservatif. Pada intinya, kedua negara masih perlu integrasi pendidikan gender dan reformasi partai untuk partisipasi berkelanjutan karena rendahnya partisipasi perempuan mengakibatkan kebijakan yang bias gender.
Jika isu mengenai partisipasi perempuan di dunia politik semakin diperbaiki oleh kedua negara, seperti yang telah direncanakan dalam SDGs nomor 5, tidak hanya hak perempuan yang akan terpenuhi, negara yang lebih adil, demokratis, serta inklusif pun dapat terealisasi jika suara masyarakatnya lebih didengar.