Konten dari Pengguna

Kekerasan Gender dibalik Menopause : Perempuan Kehilangan Kuasa atas Tubuhnya

Ainun Nur Baiti
Hi there! I'm a student at Sriwijaya University majoring in International Relations and currently pursuing my bachelor's degree.
27 November 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ainun Nur Baiti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
free image from pexels
zoom-in-whitePerbesar
free image from pexels
ADVERTISEMENT
Menopause adalah istilah yang sudah sangat lazim didengar orang-orang, sebuah fase yang pastinya akan dialami oleh setiap perempuan. Pembelajaran mengenai menopause pun telah didapatkan oleh hampir setiap orang yang pernah mengenyam bangku pendidikan, materi mengenai sistem reproduksi perempuan dan apa saja yang perempuan alami sudah ada di pelajaran biologi atau IPA sejak sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Seharusnya tidak ada yang salah dengan hal itu, tetapi faktanya sebuah fase luar biasa ini justru dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan oleh orang-orang. Menstruasi, premenopause, dan menopause yang sudah selayaknya diketahui oleh tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki, terlebih mereka yang mempunyai anggota keluarga perempuan faktanya menjadi topik yang dianggap tidak wajar untuk dibahas karena “Itu ‘kan masalah perempuan, malu kalau dibahas” sebuah ironi yang melahirkan bentuk baru dari kekerasan gender di Indonesia.
free image from unplash
Menopause Bukan Sebuah Aib
Menopause sendiri merupakan periode 12 bulan setelah menstruasi terakhir. Setelah seorang perempuan melewati masa menopause, maka ia tidak akan menstruasi lagi karena sel telurnya telah habis. Sebuah anugerah karena setelah menopause, perempuan tidak akan lagi harus berkelahi dengan kram perut dan pegal diseluruh badan akibat menstruasi, atau harus khawatir mengenai siklus menstruasinya.
ADVERTISEMENT
Tetapi banyak perempuan Indonesia yang merasa tidak terima jika dirinya memasuki masa menopause, mereka akan merasa marah, dihantui rasa tidak berguna karena ‘hilang kodratnya’, dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengalami depresi karena hal ini.
Hal itu merupakan bukti bagaimana kekerasan gender masih dilanggengkan, yang kemudian mencengkram perempuan Indonesia. Feminisme dianggap sebuah perspektif yang tidak penting untuk dipelajari, hak-hak perempuan atas tubuhnya dihilangkan, karena masyarakat Indonesia telah nyaman dengan pemikiran tradisional di mana martabat seorang perempuan diukur dari seberapa bergunanya mereka dalam melahirkan keturunan.
Menopause merupakan fase yang begitu penting sekaligus melelahkan, karena seorang perempuan harus merasakan premenopause dimana akan membuat ia merasakan siklus menstruasi yang berantakan, hot flashes atau hawa panas yang datang tiba-tiba, mudah lelah serta sakit kepala, susah tidur, hingga kulit dan rambut mengering. Dengan semua gejala itu, perempuan harus mendapatkan dukungan dalam melewati masa-masa premenopause hingga menopause.
ADVERTISEMENT
Namun di masyarakat yang masih menganggap tabu untuk membicarakan mengenai menopause, seringkali seorang perempuan melewati masa-masa itu seorang diri karena tidak mau orang-orang mengetahui jika ‘kodrat’ di tubuhnya telah hilang.
Menurut feminisme, setiap individu terlepas apapun gendernya, mereka layak mendapatkan hak yang sama, seperti halnya perempuan yang berhak atas tubuhnya. Menopausenya seorang perempuan tidak membuat mereka serta merta menjadi ‘kurang layak’ dipandang sebagai seorang perempuan atau bahkan lebih parahnya lagi, dianggap kadaluarsa. Miris rasanya jika hal mendasar seperti ini masih perlu dilakukan edukasi lantaran masih ditemukan banyaknya perempuan-perempuan yang menjadi korban masyarakat yang masih mengimani pemikiran konservatif hingga kehilangan jati dirinya sebagai perempuan.
Di negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada bahkan menyediakan Menopause Café dimana para wanita yang memasuki masa menopause dapat berdiskusi mengenai gejala apa saja yang mereka rasakan, kesulitan mereka melewati masa-masa tersebut, dan bahkan merayakan mereka yang telah memasuki menopause. Ini dapat juga diterapkan di Indonesia agar perempuan yang membutuhkan teman berbincang atau support system selama melewati masa-masa premenopause hingga menopause tanpa merasa kebingungan.
ADVERTISEMENT
Menopause tidak mengurangi sedikitpun dari apa yang ada di diri seorang perempuan, setiap tanggal 18 Oktober bahkan diperingati sebagai menopause awareness day sebagai bentuk apresiasi bagi setiap perempuan yang telah sampai di fase tersebut.
Masyarakat Indonesia harus mulai berhenti bersikap misoginis serta melabeli perempuan dengan tidak manusiawi atas apa yang terjadi pada tubuh mereka. Hal seperti ini secara tidak sadar memperkuat akar patriarki yang telah lama bersarang di negara kita, melahirkan kekerasan gender yang menyasar tidak hanya secara fisik tetapi juga mental perempuan.
Kondisi seperti ini seringkali membuat mereka menginternalisasi pandangan negatif atau prasangka masyarakat sehingga mempengaruhi perasaan serta perilaku mereka. Membuat para perempuan merasa begitu sulit terlahir sebagai seorang perempuan bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyesali fakta bahwa dirinya terlahir sebagai seorang perempuan karena takut akan berbagai label buruk terhadap tubuh mereka yang harus mereka tanggung.
ADVERTISEMENT
Perempuan bukan sebuah objek, tetapi individu yang layak dirayakan setiap rasa sakitnya serta mendapatkan hak untuk diperlakukan setara. Eksistensi perempuan di tengah-tengah masyakat tidak hanya sebagai mesin untuk melahirkan keturunan, saja tetapi seorang perempuan lebih berharga daripada itu.
Setiap fase yang dialami perempuan bukanlah hal memalukan, aib, maupun sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, perempuan berhak mendiskusikan apapun perihal tubuhnya, karena tubuh seorang perempuan adalah milik mereka. Tidak ada seorangpun yang dapat merenggut ataupun mengontrol perempuan atas jati diri dan tubuh mereka.