Konten dari Pengguna

Badai PHK Start Up: Tidak Hanya Pekerjaan, Semangat Pun Hilang

Aisyah Putri Maulidina
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
2 Juli 2024 6:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Putri Maulidina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korban PHK. Sumber Foto: DepositPhotos
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korban PHK. Sumber Foto: DepositPhotos
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak berakhirnya masa pandemi lebih dari dua tahun yang lalu, ekonomi Indonesia masih berusaha untuk kembali bangkit. Berbagai pihak yang terdampak perekonomian Indonesia berusaha untuk mencari cara agar bisa bertahan, tidak terkecuali para perusahaan rintisan atau dikenal dengan start up. Berbagai cara untuk mengefisiensi biaya operasional dan infrastruktur, mulai dari melakukan pemotongan gaji tim pendiri hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan sejumlah karyawan.
ADVERTISEMENT
Badai PHK start up Indonesia sebenarnya sudah sering terjadi sejak tahun 2022, namun ternyata masih berlanjut hingga yang paling terbaru dilakukan oleh Tokopedia yang diisukan terjadi pada 70% karyawan per Juni 2024. Hal tersebut tentu menjadi perhatian banyak masyarakat, padahal belum lama Tokopedia melakukan Merger dengan Tiktok Shop. Banyak pihak yang bertanya-tanya apakah PHK menjadi cara yang paling efisien untuk menekan biaya operasional dan infrastruktur? Lalu bagaimana dengan nasib para karyawan yang terdampak PHK?
Iqbal (25), Salah satu mantan karyawan startup marketplace Indonesia yang terkena dampak badai PHK pada tahun 2022 lalu mengatakan bahwa ia sempat kebingungan karena informasi mengenai PHK diberikan secara mendadak.
“Sebenarnya alasan di-PHK kan dikasih tau karena ada efisiensi, tetapi pemberitahuannya tuh mendadak. Jadi mikir nanti cari kerja di mana lagi.” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun startup tempat ia bekerja memberi tahu alasan adanya PHK, tetapi pemberitahuan yang dilakukan mendadak tersebut tentu tetap membuat ia bingung dengan nasib karirnya. Apalagi mencari pekerjaan di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Setelah di-PHK, butuh waktu lebih dari 3 bulan bagi Iqbal untuk mendapatkan pekerjaan baru.
“Setelah di-PHK ya susah cari pekerjaan karena lapangan kerjanya juga sedikit.” Jelas Iqbal.
Selain lapangan pekerjaan yang sedikit, Iqbal juga merasa kehilangan semangat karena ia di-PHK. selama 3 bulan, ia mengajukan banyak lamaran pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang ia tekuni. Iqbal juga perlu menata dan mengumpulkan semangatnya kembali setelah mengalami PHK, yang selama ini hanya ia lihat di berbagai berita.
“Iya sempet kehilangan semangat juga karena pekerjaan hilang mendadak gitu.” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun ia mengalami kesulitan akibat PHK, Iqbal merasa bahwa PHK memang salah satu cara yang cukup efisien dan cepat untuk mengatasi krisis yang dialami perusahaan. Namun, menurutnya masih banyak cara lain yang dapat dilakukan perusahaan dalam mengatasi krisis.
Menurut jurnal penelitian berjudul “Upaya pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja di Sektor Formal karena keadaan Memaksa Pandemi Covid-19” yang ditulis oleh Steven Suprantio, ada beberapa kegiatan positif yang dapat disepakati oleh perusahaan dengan karyawan untuk menghindari PHK, seperti mengurangi waktu dan jam kerja operasional perusahaan dan menawarkan pengurangan upah karyawan dengan memperhatikan peraturan yang berlaku, dan mengubah arah bisnis yang dilakukan secara kreatif.
Hal-hal tersebut mesti dipertimbangkan kembali oleh perusahaan yang akan melakukan efisiensi selain dengan cara mudah dan cepat, PHK karyawan. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi pekerja dari pemutusan hubungan kerja sepihak yang tidak sesuai dengan hak pekerja.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu memastikan bahwa pemberitahuan PHK tidak dilakukan secara mendadak dan pemenuhan hak pekerja dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Iqbal juga menyebut bahwa perusahaan mesti memikirkan dampak jangka panjang yang timbul dari aturan PHK yang dibuat. Karena jika PHK dinormalisasi oleh banyak perusahaan, dalam hal ini startup maka jumlah karyawan yang terdampak PHK akan terus bertambah setiap tahunnya tanpa ada solusi pasti untuk mengatasi hal tersebut. Ia juga menambahkan pemerintah sebagai pihak yang memiliki peran penting untuk memperbaiki peraturan terkait dan membantu perusahaan yang sedang mengalami krisis.
“Mungkin untuk pemerintah bisa memperbaiki aturan ketenagakerjaan dan membantu perusahaan yang sedang krisis.” Ujarnya.
Upaya-upaya untuk mengatasi badai PHK oleh sejumlah start up di Indonesia dapat diatasi dengan kolaborasi oleh pemerintah, pekerja, serta perusahaan sehingga tidak hanya keberlanjutan atau keuntungan perusahaan saja yang diperhatikan, tetapi nasib dan hak pekerja juga perlu menjadi prioritas karena apalah arti perusahaan rintisan tersebut jika tidak ada orang-orang yang terlibat dalam proses merintis keberlanjutan perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT