Cuti Melahirkan 6 Bulan, Sudahkah Menyelesaikan Masalah Ibu yang Bekerja?

Aisyah Putri Maulidina
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
30 Juni 2024 9:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Putri Maulidina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibu Hamil. Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu Hamil. Sumber: Freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada Selasa (4/6/2024), UU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan resmi disahkan oleh DPR. Undang-undang ini membuat ibu bekerja bisa mendapatkan cuti melahirkan selama 6 bulan. Hal tersebut tertuang di dalam pasal 4 ayat 3 UU KIA, yaitu Selain hak sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan Cuti melahirkan dengan ketentuan: paling singkat 3 (tiga) bulan pertama: dan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
ADVERTISEMENT
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) peraturan tersebut dapat menjadi solusi atas berbagai masalah yang dihadapi ibu dan anak. Sedangkan menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, peraturan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. UU yang sudah dinantikan sejak lama tersebut dianggap menjadi angin segar bagi para ibu bekerja yang masih banyak mengalami diskriminasi saat melahirkan.
Meskipun begitu, pengajuan cuti melahirkan selama 6 bulan ini juga harus disertai syarat surat keterangan dari dokter yang artinya jika terjadi gangguan setelah melahirkan maka ibu bekerja baru bisa mendapatkan cuti melahirkan selama 6 bulan. Jika tidak ada gangguan, maka ibu bekerja tetap hanya mendapatkan cuti melahirkan selama 3 bulan.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan para ibu yang melahirkan dengan sehat tanpa ada gangguan sehingga tidak memiliki surat keterangan dokter untuk mengambil cuti melahirkan selama 6 bulan? Bukankah hal tersebut justru patut untuk disyukuri?
Hal ini tentu belum dapat disebut sebagai jawaban atas masalah yang berkaitan dengan fase 1.000 hari pertama bagi bayi dan ibu bekerja yang baru melahirkan. Fase penting yang seharusnya dapat dimanfaatkan semua ibu untuk memberikan ASI eksklusif untuk bayinya tetap akan menghadapi kendala karena cuti melahirkan yang bersyarat.
Apalagi, dalam praktiknya banyak perusahaan yang sering melanggar peraturan cuti melahirkan, mulai dari memberhentikan pekerja perempuan saat mereka sedang cuti melahirkan sampai tidak memilih para pekerja perempuan yang sudah menikah untuk menghindari pembayaran hak pekerja yang sedang cuti melahirkan.
ADVERTISEMENT
Permasalahan tersebut tentu dapat berpengaruh terhadap kualitas penerus sumber daya manusia di masa depan. Banyak anak yang akan tumbuh dengan keadaan keluarga yang kurang maksimal karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Anak jadi kekurangan perhatian dari orang tuanya sehingga menimbulkan masalah-masalah lain bagi dirinya dan lingkungan di sekitarnya.
Selain peraturan cuti melahirkan bagi ibu pekerja, peraturan cuti untuk mendampingi istri yang baru melahirkan bagi para pekerja laki-laki juga belum maksimal. Cuti ayah yang hanya diberikan selama dua hari masih belum cukup karena peran ayah juga sama pentingnya baik bagi si anak maupun ibu yang baru melahirkan untuk didampingi selama melewati masa-masa setelah melahirkan.
Padahal tanggung jawab untuk hadir dalam fase 1000 hari pertama bayi sudah seharusnya dilakukan oleh kedua orang tuanya tanpa perlu mengandalkan salah satunya saja. Jika seperti itu, maka peran perempuan lagi-lagi akan lebih banyak diandalkan di rumah daripada di kantor.
ADVERTISEMENT
Padahal sudah seharusnya peran sebagai orang tua di rumah dibagi rata untuk ibu maupun ayah, karena peran mereka yang sama pentingnya. Semua pekerja, apa pun jenis kelaminnya berhak untuk mendapatkan hak dasar mereka baik sebagai manusia maupun sebagai pekerja. Para perusahaan juga perlu untuk mematuhi peraturan dan memenuhi segala hal pekerjanya tanpa pandang bulu.
Apalagi di kantor para ibu pekerja akan berpotensi tetap mendapatkan diskriminasi karena cuti melahirkan dan peraturan-peraturan terkait lainnya yang masih belum diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Maka, UU KIA yang baru saja disahkan tentu belum bisa menjawab berbagai permasalahan terkait ibu dan anak. Penting bagi pemerintah untuk mengkaji kembali aturan-aturan yang terkait dengan cuti melahirkan ini, baik bagi para ibu, ayah, dan perusahaan. Masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk melengkapi pelaksanaan UU KIA perihal cuti melahirkan bagi para ibu bekerja.
ADVERTISEMENT