Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menghadapi FOMO: Antara Hasrat Ikut Tren dan Menjaga Kesehatan Mental
2 November 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Aisy Cesar Nabiilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi yang tumbuh di era digital dan juga teknologi, tingginya tingkat penggunaan media sosial khususnya pada kalangan remaja, membuat mereka menjadi kelompok yang paling rentan terpengaruh, hal tersebut dipicu karena terhubung langsungnya mereka dengan apa yang dilakukan oleh orang lain melalui dunia maya, kerabat, teman dan keluarga. Sehingga di era sekarang ini muncul istilah “FOMO” atau "Fear of Missing Out" yakni rasa takut dan cemas yang dialami ketika merasa tertinggal, tidak mengikuti tren, atau tidak tahu hal-hal yang sedang populer di kalangan orang lain. Menimbulkan kegelisahan pada diri mereka dan berujung pada terganggunya kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Fomo dan Kesehatan Mental
Fomo merupakan sindrom kecemasan sosial. Dampak dari sindrom ini membawa manusia pada posisi determinasi terhadap kebutuhan akan telekomunikasi. Orang yang menderita gangguan kecemasan sosial ini akan mengalami perasaan rendah diri, stres, merasa hina dan depresi karena takut dihakimi oleh orang lain, apabila tidak mengikuti tren yang ada. Media sosial yang awalnya hanya tempat untuk berinteraksi, berkomunikasi dan bersosialisasi secara virtual, kini berubah menjadi media perlombaan yang dapat menimbulkan rasa takut dan gelisah yang berlebihan, merasa galau jika tidak tahu berita terbaru, muncul perasaan iri, serta tidak dapat terpisah dari smartphone dan media sosial.
Fomo tersebut mendorong seseorang untuk mempunyai kehidupan “virtual” yang tidak kalah menarik. Mengunggah kehidupan mereka berupa postingan mengenai konser, liburan, tempat makan, pernikahan, anak, atau bahkan kehidupan pribadi tidak luput dieksploitasi. Dan ketika tidak mempunyai sesuatu hal yang menarik untuk diunggah, mereka cenderung merasa bahwa ada sesuatu hal yang salah dalam kehidupannya. Mendatangi tempat- tempat viral, membuat konten agar dapet viewers jutaan, tidak peduli keselamatan diri sendiri, yang terpenting tidak tertinggal, dan selalu up to date. Sungguh miris
ADVERTISEMENT
Memang tidak semua kalangan, dan tidak semua remaja mengalami hal tersebut, namun orang- orang yang terpapar virus Fomo tersebut terkadang tanpa diri mereka sendiri sadari. Yang akhirnya berdampak pada kesehatan mental mereka, tidak pernah merasa puas, ingin terus menerus mengikuti tren yang sedang berkembang bahkan lebih, membuat tren tren baru diluar batas wajar manusia. Demi apa? Demi kepuasan diri mereka.
Bagaimana cara Menghadapi FOMO?
Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dampak negatif Fomo dan menjaga kesehatan mental. Karena Fomo sendiri bisa berdampak negatif maupun positif dalam diri seseorang, tergantung bagaimana mereka mengontrol diri, apakah dapat memakai sosial media dengan bijak atau tidak, berdampak buruk apabila seorang individu membutuhkan sebuah pengakuan dan penerimaan diri dari teman sekelompoknya walaupun perilaku yang dilakukannya dapat merusak dirinya sendiri di masa mendatang. Namun akan berubah menjadi positif ketika individu menyesuaikan dengan norma sosial yang ada dan hal tersebut tidak melanggar norma yang ada. Contoh tren anak sekolah saat ini yang mengucapkan terima kasih kepada guru mereka setelah selesai mengajar ini berarti Fomo bisa bermakna positif jika pengguna nya juga mengarahkan ke hal yang positif. Intinya bijak dalam menyikapi tren dan menggunakan sosial media.
ADVERTISEMENT
Kemudian fokus dengan apa yang kita miliki, batasi penggunaan media sosial karena terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial adalah sumber utama Fomo, sibukkan diri dengan kegiatan positif, beri sugesti baik kepada diri kita, tetap berpijak pada diri sendiri, karena pada akhirnya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh sejauh mana kita mengikuti tren, melainkan bagaimana kita merasa cukup dan menikmati hidup dengan apa yang kita miliki.
Jadi tidak selamanya mengikuti arus tren itu baik, ada kalanya kita memilah dan memilih mana hal yang bisa dilakukan dan memberi manfaat bagi diri kita, dan mana hal yang tidak perlu di lakukan karena hawa nafsu semata. jangan sampai mengorbankan kesehatan mental kita demi ke Fomo-an semata.
ADVERTISEMENT