Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Robohnya Surau Kami: Kritik Sosial dalam Perspektif Keimanan
6 Maret 2025 15:49 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Aisyah Aziszah Amantri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Karya A.A. Navis, "Robohnya Surau Kami," merupakan cerita yang sarat dengan kritik sosial dan renungan mendalam mengenai kehidupan beragama. Dalam esai ini, saya akan mengulas bagaimana cerpen ini tidak hanya menyentuh aspek keimanan, tetapi juga menyentuh pola pikir masyarakat terhadap realitas sosial di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Cerita ini bercerita tentang seorang kakek yang hidupnya dihabiskan hanya untuk beribadah. Ia percaya bahwa tugas manusia hanyalah beribadah kepada Tuhan tanpa perlu memikirkan urusan dunia. Namun, di akhir cerita, ia justru mendapatkan "hukuman" karena lalai terhadap tanggung jawab sosialnya. A.A. Navis menyebutkan sebuah kritik dalam cerita ini bahwa agama seharusnya tidak hanya dipahami secara ritualistik, tetapi juga harus beriringan dengan kepedulian terhadap sesama dan kondisi sosial.
Kondisi kakek dalam cerita ini mencerminkan sebagian realitas masyarakat yang terkadang terjebak dalam pemahaman sempit tentang agama. Mereka mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga dan lingkungan, dengan keyakinan bahwa kehidupan duniawi tidak lebih penting dari ibadah pribadi. Melalui karakter kakek, A.A. Navis mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana keseimbangan antara spiritualitas dan peran sosial sangatlah penting.
ADVERTISEMENT
Surau dalam cerita ini bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol keimanan dan mentalitas masyarakat yang lebih mementingkan ibadah daripada usaha duniawi. Sang kakek, yang menjadi tokoh utama, digambarkan sebagai seseorang yang sepanjang hidupnya hanya beribadah di surau tanpa pernah bekerja atau peduli pada keluarganya. Ketika meninggal, ia justru mendapatkan hukuman di akhirat karena dianggap egois dan tidak menjalankan amanah sebagai manusia di dunia.
"Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara, semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun."
Kutipan ini menjadi inti dari kritik Navis. Dalam Islam, ibadah bukan hanya soal ritual, tetapi juga tanggung jawab sosial. Dalam cerita ini, ibadah tanpa aksi nyata justru membawa kehancuran, baik bagi individu maupun masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kritik yang disampaikan dalam cerita ini masih relevan hingga kini. Di era modern, masih banyak orang yang memahami agama secara hitam-putih, sehingga melupakan esensi kebermanfaatan bagi sesama. Padahal, agama mengajarkan keseimbangan antara hablum minallah (hubungan dengan Tuhan) dan hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia).
Dengan membaca cerita ini, kita diingatkan bahwa menjadi religius tidak cukup hanya dengan menjalankan ritual semata, tetapi juga harus dibarengi dengan aksi nyata untuk kebaikan bersama. Kritik sosial yang disampaikan A.A. Navis tetap relevan hingga saat ini, mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan beragama yang lebih seimbang dan bermanfaat bagi sesama.
Selamat membaca.