Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tepis Gratifikasi: Optimalisasi Peran Dokter dan Apoteker
23 Desember 2024 12:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aisyah Naura Putridinda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dokter dan apoteker adalah dua profesi penting dalam bidang kesehatan. Keduanya berorientasi pada pasien dengan tujuan meningkatkan kesehatan masyarakat. Tak jarang, kedua profesi ini dianggap sama oleh kebanyakan masyarakat. Padahal, dokter dan apoteker adalah dua profesi yang sama sekali berbeda. Perbedaannya sudah jelas terlihat ketika seseorang mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Profesi dokter dapat diraih oleh orang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan pilihan program studi kedokteran, sedangkan profesi apoteker dapat diraih oleh orang yang memilih program studi farmasi.
ADVERTISEMENT
Meskipun perbedaannya sudah terlihat dengan jelas, masih banyak orang memperlombakan kedua profesi tersebut. Mereka menganggap bahwa profesi dokter lebih tinggi derajatnya daripada apoteker. Banyak masyarakat yang bertanya kepada mahasiswa farmasi, “Kok ngga ambil kedokteran aja? Nanggung.” Kata nanggung memperjelas bahwa program studi farmasi dianggap tidak lebih baik daripada program studi kedokteran, padahal keduanya tidak bisa disamakan.
Profesi apoteker tidak bisa dianggap remeh. Berbeda dengan dokter yang bertugas mendiagnosa penyakit serta meresepkan obat untuk pasien, salah satu tugas apoteker adalah meracik obat. Tak sekadar meracik obat, banyak prospek kerja yang dapat diambil oleh seorang apoteker. Tugas seorang apoteker dapat diklasifikasikan berdasarkan fokus pelayanannya. Adapun fokus pelayanan seorang apoteker terdiri dari 2 macam, yakni farmasi klinis dan farmasi industri. Pada pelayanan farmasi klinis, apoteker dapat bekerja di rumah sakit maupun apotek, sedangkan untuk farmasi industri, apoteker dapat bekerja di laboratorium klinik, perusahaan farmasi, bahkan industri kecantikan.
ADVERTISEMENT
Adapun isu yang sering muncul berkenaan dengan profesi dokter dan apoteker adalah mengenai kekhawatiran gratifikasi terkait dengan hubungan dokter dengan perusahaan farmasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang sangat luas. Termasuk dalam pemberian ini adalah uang, barang, potongan harga, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya. Istilah gratifikasi sering terdengar dalam kasus korupsi dan suap. Tindakannya berupa pemberian hadiah atau imbalan kepada seseorang dengan maksud mempengaruhi atau memperoleh keuntungan. Gratifikasi yang diberikan dapat berupa uang, barang, atau jasa yang memiliki nilai.
Gratifikasi di bidang kesehatan dilakukan oleh perusahaan farmasi terhadap dokter. Perusahaan farmasi mempromosikan obat dengan cara kolusi dalam bentuk kerja sama dengan dokter. Caranya adalah dengan memberikan komisi kepada dokter pada setiap penulisan resep obat kepada pasien setelah adannya kesepakatan yang dibuat antara perusahaan farmasi dengan dokter. Dalam praktiknya, dokter akan cenderung menuliskan resep obat produk buatan perusahaan farmasi yang telah mengajaknya bekerja sama. Biaya-biaya gratifikasi untuk para oknum dokter inilah yang menjadi faktor utama mahalnya harga obat di Indonesia. Fenomena ini dapat dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Gratifikasi yang diatur dalam pasal 12B.
ADVERTISEMENT
Guna mengurangi fenomena gratifikasi antara dokter dengan perusahaan farmasi diperlukan langkah konkret. Sebagai contoh adalah dengan adanya pendekatan seperti Pharmacy Benefit Management (PBM) yang telah diterapkan di Amerika Serikat. Pharmacy Benefit Management (PBM) menjalankan fungsi sebagai pihak ketiga yang menjembatani distribusi obat resep. Artinya, secara teoritis, PBM membantu proses pendistribusian obat resep dari produsen ke apotek dan berakhir ke pasien yang membutuhkannya. PBM juga membantu mengelola resep obat dan memastikan rekomendasi obat berbasis data independent dari pengaruh industry farmasi. Model PBM yang mengelola resep terstandarisasi bertujuan untuk mengurangi potensi bias dalam pemilihan obat.
Usaha lain yang dapat dilakukan guna mengurangi fenomena gratifikasi antara dokter dengan perusahaan farmasi di Indonesia adalah dengan memperluas peran apoteker dalam terapi obat. Di beberapa negara, apoteker klinis sering bekerja berdampingan dengan dokter, terutama dalam menentukan jenis dan dosis obat, khususnya bagi pasien dengan kondisi kronis kompleks. Kolaborasi ini terbukti dapat mengurangi kesalahan penggunaan obat serta meningkatkan efektivitas terapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan aktif apoteker dalam tim medis dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan hasil pengobatan.
ADVERTISEMENT
Berlawanan dengan pendapat sebelumnya, usaha mengurangi fenomena gratifikasi antara dokter dengan perusahaan farmasi di Indonesia dapat dilakukan dengan pemisahan tugas antara dokter dan apoteker. Pemisahan tugas ini berarti bahwa peran dokter hanya sebatas pada mendiagnosa penyakit pasien, sedangkan penentuan resep obat dilakukan oleh apoteker. Pemisahan ini dapat mencegah adanya insentif tidak sehat antara dokter dan perusahaan farmasi yang sering kali terjadi dalam bentuk gratifikasi. Apoteker, sebagai pihak independen, dapat menjadi pengawas untuk memastikan bahwa terapi obat didasarkan pada bukti medis, bukan pada promosi produk tertentu. Sistem seperti ini telah diterapkan di Kanada dan beberapa wilayah di Eropa, di mana seorang apoteker memainkan peran sentral dalam pengelolaan terapi obat untuk pasien.
ADVERTISEMENT
Pemisahan tugas antara dokter dan apoteker juga mampu meningkatkan efisiensi dan pembagian peran berdasarkan kompetensi. World Health Organization (WHO) dalam laporan tentang collaborative practice mencatat bahwa pembagian peran berbasis keahlian meningkatkan efisiensi sistem kesehatan secara keseluruhan. Dokter dapat lebih fokus pada penegakan diagnosis yang akurat, sementara apoteker menggunakan keahliannya dalam farmakologi untuk memilih terapi yang tepat. Hal ini dapat mengurangi beban kerja dokter dan memungkinkan mereka menangani lebih banyak pasien dengan kualitas pelayanan yang sama.
Live Update