Konten dari Pengguna

Femisida di Indonesia: Ketika Nyawa Perempuan Tak Lagi Aman

Aisyah Nurul
Mahasiswa UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan
16 November 2024 15:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Nurul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Femisida (sumber: canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Femisida (sumber: canva)
ADVERTISEMENT
Femisida atau feminsida merupakan sebuah kejahatan berbasis jenis kelamin. Seorang feminis bernama Diana E. H. Russell sebagai salah satu pencetus istilah tersebut mengatakan bahwa femisida merupakan pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka adalah perempuan. Istilah ini belum banyak diketahui masyarakat, hal itu dikarenakan kasus ini jarang tersorot media. Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan bahwa femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang disebabkan oleh kebencian, dendam, penguasaan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai sebuah kepemilikan sehingga dapat berbuat sesuka hati. Femisida bukan sekedar pembunuhan biasa karena di dalamnya terdapat aspek ketidaksetaraan gender hingga adanya produk budaya patriarkis dan misoginis atau sikap benci dan tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Kasus femisida di Indonesia cukup memprihatinkan. Dikutip dari website Komnas Perempuan, terpantau ada 95 kasus femisida pada tahun 2020. Jumlah kasus meningkat menjadi 237 kasus pada tahun 2021. Kemudian meningkat menjadi 307 kasus pada tahun 2022. Jumlah kasus menurun menjadi 159 kasus pada tahun 2023. Sedangkan jumlah kasus pada tahun 2024 belum diketahui secara keseluruhan dikarenakan penginformasian hasil jumlah kasus femisida rilis setiap tanggal 25 November pada CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan. Setiap tahun tercatat femisida intim sebagai kasus femisida tertinggi. Femisida intim merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh lawan jenis terdekat korban seperti suami, mantan suami, pacar, mantan pacar hingga teman dekat korban. Melihat femisida intim menjadi kasus femisida tertinggi, salah satu komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menuturkan bahwa relasi pernikahan maupun pacaran dapat menjadi sebuah relasi yang tidak aman bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Rainy M Hutabarat yang juga seorang komisioner Komnas Perempuan menyebutkan selain femisida intim yang dilakukan oleh orang terdekat terdapat pula femisida terhadap perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari para pengguna jasanya maupun dari mucikari, transpuan serta perempuan dengan orientasi seksual minoritas. Femisida tidak hanya berbentuk kekerasan fisik namun juga dapat berupa kekerasan verbal berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi, dan lingkungan yang tidak mendukung untuk melindungi korban hingga menyebabkan pembunuhan secara langsung atau penekanan mental korban sehingga mendorong korban untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Komnas perempuan dalam bukunya yang berjudul “Kajian Awal dan Kertas Kerja (Femisida Tidak Dikenal: Pengabaian Terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan) mengkategorikan femisida kedalam sembilan jenis yaitu: (1) femisida intim; (2) femisida budaya; (3) femisida konteks konflik bersenjata; (4) femisida konteks industri seks komersial; (5) femisida perempuan dengan disabilitas; (6) femisida orientasi seksual dan identitas gender; (7) femisida di penjara; (8) femisida non intim; dan (9) femisida pegiat ham/pegiat kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Bulan Oktober Tahun 2024 terdapat tiga kasus femisida yang tersorot media. Pertama, kasus pembunuhan MP (25) oleh teman dekatnya JFJ (25) di Karo, Sumatera Utara, yang mana motif pelaku dalam melancarkan aksinya yaitu untuk memenuhi fantasi seksnya. Kedua, kasus pembunuhan UM (33) di Dusun Sidorame, Desa Sidoreco, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo oleh suaminya sendiri. Ketiga, kasus pembunuhan SH (40) di Danau Muara Baru, Jakarta Utara, korban dibunuh oleh FF yang merupakan teman dekat korban.
Akar peneyebab femisida cukup bermacam-macam. Sebagian besar femisida terjadi karena adanya problem dalam komunikasi seperti adanya cekcok antar pelaku dan korban atau adanya pelampiasan emosi pelaku terhadap korban karena sakit hati, marah ataupun kesal. Namun lebih miris lagi adanya kasus femisida yang disebabkan oleh kasus bullying oleh teman sekelas yang berujung pada kematian korban. Selain itu, femisida juga dapat terjadi kerena maraknya budaya patriarki, minimnya kesetaraan gender, pengeruh stereotip terhadap perempuan. Beberapa kasus femisida juga terjadi akibat adanya ketimpangan relasi kuasa yang mana korban tidak dapat memenuhi keinginan pelaku sehingga pelaku arah dan berujung pada pembunuhan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita masih danggap sebagai second class gender (gender kelas dua) sehingga rentan terjadi pembunuhan oleh laki-laki patriarkis. Di kehidupan rumah tangga juga masih ada yang menganggap bahwa laki-laki memiliki kuasa lebih dalam hal domestik dan hubungan intim (keluarga).
ADVERTISEMENT
Dibalik kasus femisida yang sering terjadi. Ternyata belum terdapat sanksi pidana khusus mengenai femisida dalam kerangka hukum nasional. Upaya pemerintah dalam menangani femisida dan perlindungan terhadap korban juga belum maksimal. Secara hukum di Indonesia, penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana. Perlu adanya peningkatan kapasitas penegak hukum serta perlu adanya pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motifnya dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Retty Ratnawati sebagai salah satu komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch (pengumpulan data femisida).
Kesetaraan dan keadilan gender dinilai dapat menjadi langkah dasar untuk menghapus segala kekerasan terhadap perempuan terlebih pada kasus femisida. Pemahaman mengenai kesetaraan gender menjadi pokok utama pencegahan femisida dikarenakan sebagian besar kasus femisida disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang menganggap wanita sebagai second class gender (gender kelas kedua) yang mengakibatkan tak jarang laki-laki dengan mudah menyakiti atau melakukan kekerasan pada wanita baik secara verbal maupun non verbal. Pembatasan interaksi antara perempuan dan laki-laki dalam ruang tertutup juga perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kasus femisida.
ADVERTISEMENT
Aisyah Nurul 'Aini, mahasiswi cendekia UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan