Konten dari Pengguna

When Fear Meets Calm: Menghadapi Ketakutan Akan Kegagalan dengan Mindful

Aisyah Salsabila
Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya
5 Desember 2024 9:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan di mana sebuah kegagalan merupakan pengalaman yang universal dalam kehidupan manusia. Kata “gagal” sudah tidak asing lagi dalam generasi saat ini. Seringkali, mereka melihat dan mengalami kegagalan dari derasnya arus ekspektasi dan persaingan yang ada di dalam perkuliahan maupun dunia kerja. Selain itu, adanya media sosial yang dipenuhi dengan pencapaian orang lain tanpa menunjukkan proses panjang, kesalahan, atau kegagalan yang mendahuluinya. Akibatnya, kita cenderung membandingkan diri dengan versi ideal yang sebenarnya tidak realistis. Hal tersebut yang memicu sebuah tekanan sosial, rasa tidak percaya diri dan membuat kita semakin takut untuk mencoba hal baru. Ketakutan akan kegagalan seringkali menghantui pikiran dan langkah kita sehingga memunculkan rasa cemas untuk masa depan. Lantas, bagaimana menghadapi sebuah ketakutan akan kegagalan dalam sebuah proses yang kita lalui?
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, manusia memiliki tujuh emosi dasar beserta turunannya yaitu Seeking (ekspektasi), Fear (kecemasan), Rage (kemarahan), Lust (seksualitas), Care (pengasuhan), Panic/Grief (kesedihan), dan Play (sosialisasi) (Panksepp, 2011). Salah satu emosi yang bersifat sebagai mekanisme perlindungan dan bertahan hidup adalah fear (kecemasan). Fear atau emosi takut menimbulkan sebuah afek berupa kecemasan dan rasa panik yang disertai dengan reaksi fisiologis seperti mempercepat detak jantung, meningkatkan aliran darah ke otot, dan memicu pelepasan hormon stres seperti adrenalin. Respon tersebut dikenal sebagai fight or flight. Reaksi fisiologis semacam ini dipengaruhi oleh berbagai area dalam sistem saraf otonom dan sistem limbik. Sistem limbik sendiri merupakan bagian otak yang memiliki peran penting dalam mengatur perilaku emosional, seperti kemarahan, ketakutan, dan dorongan seksual. Komponen utama dari sistem limbik meliputi amigdala, septum, hipotalamus, talamus, serta hipokampus (Masters et al., 1992). Sistem limbik pada bagian amigdala merupakan bagian penting yang berperan sebagai pusat pengelola emosi, terutama dalam respons terhadap ancaman atau situasi yang memicu rasa takut.
ADVERTISEMENT
Fear atau rasa takut sering terjadi pada generasi saat ini terutama fase remaja di mana mengalami masa transisi menuju dewasa yang dipenuhi rasa tanggung jawab dan tekanan yang semakin kompleks seperti tuntutan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan akademik. Selain itu, rasa takut ini juga dipicu oleh kekhawatiran akan kegagalan, baik dalam mencapai tujuan pribadi maupun memenuhi standar yang ditetapkan oleh lingkungan sekitar. Ketakutan semacam ini sering kali menjadi penghalang dalam upaya meraih kesuksesan, karena dapat membuat ragu untuk mengambil risiko, mencoba hal baru, atau melangkah keluar dari zona nyaman. Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk fear yaitu fear of failure atau sering disebut dengan ketakutan akan rasa gagal. Conroy (2002) mendefinisikan bahwa rasa takut akan kegagalan adalah dorongan untuk menghindari kegagalan, terutama karena konsekuensi negatif yang ditimbulkan seperti rasa malu, penurunan konsep diri, dan berkurangnya pengaruh sosial. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi rasa takut akan gagal meliputi pengalaman masa kanak-kanak, karakteristik lingkungan, pengalaman belajar, faktor subjektif dan kontekstual. Faktor lain yang dapat mempengaruhi rasa takut gagal adalah mindfulness (Conroy, 2001).
ADVERTISEMENT
Mindfulness dapat diartikan sebagai “sadar penuh-hadir utuh” (Silarus, 2015), adalah perhatian yang diberikan individu terhadap pengalamannya, disertai penerimaan terhadap apa yang dirasakan (Hayes, Follette, & Linehan, 2004). Melalui mindfulness, individu diajak untuk menghadapi rasa takut akan kegagalan dengan sikap penerimaan (acceptance) di mana pengalaman yang sedang terjadi diberi atensi penuh dengan menerima apa adanya tanpa mencoba mengubah pikiran, sensasi tubuh, atau emosi yang muncul sebagai respons terhadap pengalaman tersebut (Baer, 2003; Shapiro, Carlson, Astin & Freedman, 2006; Yusainy dkk., 2018). Sikap ini memungkinkan individu untuk menghadapi setiap momen dengan kesadaran yang utuh, sehingga tidak terjebak dalam pola pikir reaktif atau keinginan untuk menghindari kenyataan. Menurut Stahl dan Goldstein (2010), praktik mindfulness dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu praktik formal dan informal. Praktik formal melibatkan praktik meditasi yang terstruktur, seperti meditasi duduk atau meditasi berjalan. Sedangkan praktik informal melibatkan kegiatan sehari-hari yang dilakukan dengan kesadaran penuh. Dalam konteks menghadapi ketakutan akan kegagalan, mindfulness informal dapat menjadi alat yang efektif untuk mengelola kecemasan dan pola pikir negatif yang sering muncul dalam situasi tersebut. Praktik tersebut membuat individu dapat menyadari kegagalan yang dialami dengan menerima realita yang terjadi tanpa menghakimi, melakukan kegiatan positif, dan fokus pada aktivitas yang dijalani tanpa melibatkan suatu distraksi. Dengan konsistensi dalam penerapan mindfulness informal, individu dapat melatih diri untuk tidak terjebak dalam pikiran-pikiran destruktif yang sering kali memperbesar rasa takut akan kegagalan. Sebaliknya, mereka akan belajar untuk menerima situasi apa adanya dan mengambil langkah-langkah dengan lebih tenang dan percaya diri.
ADVERTISEMENT
Nah, setelah menyimak penjelasan diatas, kita tahu bahwa ketakutan akan kegagalan bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau ditolak, melainkan sesuatu yang dapat dihadapi dengan pendekatan mindfulness baik dalam bentuk formal maupun informal yang memberikan alat untuk membantu individu mengelola emosi secara adaptif.
When fear meets calm, the heart stands still—and in that stillness, we find our strength.
Referensi:
Wulandari, F., & Rinaldi. (2024). The relationship between mindfulness and fear of failure in students who are working on a thesis at padang State University. In Trend : International Journal of Trends in Global Psychological Science and Education, 2(1), 61-70. https://doi.org/10.62260/intrend.v2i1.108
Yusainy, C., Nurwanti, R., Dharmawan, I. R., Andari, R., Mahmudah, M. U., Tiyas, R. R., Husnaini, B. H., & Anggono, C. O. (2019). Mindfulness sebagai strategi regulasi emosi. Jurnal Psikologi, 17(2), 174. https://doi.org/10.14710/jp.17.2.174-188
ADVERTISEMENT
Anwar, U. N. K., & Minarni, M. (2023). Gambaran Fear of failure pada Mahasiswa Mengerjakan Skripsi di Kota Makassar. Jurnal Psikologi Karakter, 3(1), 86-91. https://doi.org/10.56326/jpk.v3i1.2256
Waney, N. C., Kristinawati, W., & Setiawan, A. (2020). Mindfulness Dan penerimaan diri pada remaja Di era digital. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 22(2), 73. https://doi.org/10.26486/psikologi.v22i2.969