Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Tara Basro, Perempuan Italia, dan Sepenggal Refleksi di Hari Perempuan
12 Maret 2020 17:37 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Aisyah Allamanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal 3 Maret 2020 malam, salah satu akun Twitter yang saya ikuti me-retweet foto Tara Basro.
ADVERTISEMENT
Awalnya, saya tidak sadar kenapa unggahan berjudul “Worthy of Love” itu memperoleh banyak sekali tanggapan. Setelah melihat lebih seksama, baru saya ngeh kalau di gambar itu, badan Tara Basro tidak memenuhi ekspektasi umumnya akan tubuh selebriti. Gelambir lemak perut terpampang tanpa ditutupi atau diedit.
Body Positivity
Rupanya Tara tengah mempromosikan body positivity . Tara memang dikenal sebagai sosok public figure yang sering bicara pentingnya rasa percaya diri atas tubuh sendiri.
“Dari dulu yang selalu gue denger dari orang adalah hal jelek tentang tubuh mereka, akhirnya gue pun terbiasa ngelakuin hal yang sama.. mengkritik dan menjelek-jelekan. Andaikan kita lebih terbiasa untuk melihat hal yang baik dan positif, bersyukur dengan apa yang kita miliki dan make the best out of it daripada fokus dengan apa yang tidak kita miliki. Setelah perjalanan yang panjang gue bisa bilang kalau gue cinta sama tubuh gue dan gue bangga akan itu. Let yourself bloom”, ujar Tara dalam caption foto serupa yang diunggahnya di Instagram.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, yang paling menarik dari unggahan viral di media sosial adalah komentar para netizen. Banyak yang berterima kasih karena Tara telah mengingatkan kembali akan esensi penerimaan keadaan diri sendiri. Suara mereka seolah terwakili postingan tersebut.
Sebagian lain menanggapi sinis karena meyakini bahwa unggahan Tara disikapi positif karena statusnya sebagai selebriti dan berparas cantik. Apabila Tara adalah perempuan kebanyakan, maka hujatan yang akan diterimanya dan bukan pujian. Kalimat-kalimat atau selfie diri warganet yang nyeleneh pula menggelitik menyertai tanggapan atas foto tersebut.
Inspirasi dari Perempuan Italia
Sambil membacanya, saya teringat reaksi diri saat melihat bagaimana kaum perempuan di Italia pada umumnya bersikap.
Adalah tradisi bahwa pada musim panas, semua orang di Italia menghabiskan waktu dengan berlibur ke pantai. Di sana saya melihat, perempuan Italia, tidak peduli bentuk tubuh dan usia, nyaman dengan bikininya.
Tua, muda, tinggi, pendek, langsing, kurus, gemuk, atau bahkan obesitas, semua seperti tidak peduli apakah lemak perut dan bagian tubuh lainnya atau selulit serta stretch mark terlihat jelas. Di sisi lain, tidak ada pandangan ‘menilai’ dari orang sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Mereka berenang dan berjemur di bawah sinar matahari, berinteraksi riang dengan teman atau keluarga. Kepercayaan diri mereka pun seolah-olah menular, menciptakan rasa bahwa orang lain ‘menerima’ kita apa adanya.
Kepercayaan diri tersebut tampak bukan hanya berhenti di pemakaian bikini saja. Dalam keseharian, perempuan Italia tanpa pandang umur juga tidak ragu mengenakan pakaian dengan berbagai ragam gaya dan warna serta aksesoris berukuran besar. Seorang nonna (nenek dalam bahasa Italia) bergaun trendy dengan scarf warna-warni cerah, aksesoris mencolok serta jari-jemari bercat kuku terang, merupakan pemandangan yang lazim ditemui. Memberi inspirasi untuk tetap bergaya meski usia menua.
ADVERTISEMENT
Ternyata, meskipun sama-sama menyandang predikat ‘orang barat’, nota bene dipandang lebih terbuka dan liberal, tidak semua perempuan memiliki tingkat kenyamanan yang sama atas tubuhnya.
Each for Equal
Persepsi berbeda dalam penerimaan tubuh perempuan ini memantik refleksi atas tema Hari Perempuan Internasional tahun 2020. Kampanye #Eachforequal tersebut mengajak tiap-tiap kita untuk mengupayakan dunia yang setara tanpa memandang gender.
Di tengah kompetisi antargender yang kompleks dan multidimensional, sering kali kita lupa bahwa perspektif kesetaraan harus dimulai dari diri sendiri. Salah satu hambatan utama dalam upaya pencapaian persamaan gender berbagai bidang adalah justru persepsi negatif perempuan terhadap dirinya sendiri.
Sebuah kajian dari University of Victoria menyatakan bahwa ketidakpuasan akan tubuh diri sendiri lebih banyak dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Sementara itu 2017 Dove Global Girls Beauty and Confidence Report menyebutkan, perempuan dengan inferioritas cenderung tunduk pada tekanan sosial akan kecantikan dan penampilan. Akibat lanjutannya, mereka lebih menarik diri dari kegiatan sosial dan pengembangan diri.
ADVERTISEMENT
Peran Media Sosial
Adalah pandangan umum bahwa media massa berperan besar dalam membentuk persepsi publik mengenai kecantikan. Tampilnya perempuan-perempuan dengan fitur fisik serupa di televisi dan majalah, seolah mendikte kita tentang siapa yang dapat dikatakan menarik.
Kulit putih, hidung mancung, bulu mata panjang lentik serta tubuh langsing semampai seperti merupakan standar untuk disebut cantik. Padahal masing-masing individu memiliki ciri fisik yang berbeda-beda. Disparitas antara dunia ideal yang diciptakan media dengan kenyataan yang ada, dapat menumbuhkan persepsi negatif seseorang tentang tubuhnya.
Kesenjangan tersebut makin dipertegas dengan ragam postingan di media sosial seperti Instagram, Facebook dan Youtube. Interaksi intensif masyarakat 'biasa' dan selebriti di dunia maya menciptakan kegagapan dalam menyikapi penampilan superfisial penuh polesan dengan realita keseharian.
ADVERTISEMENT
Selebriti, Juru Kampanye yang Efektif
Fenomena ini menjadikan suara selebriti dan influencers pada platform media sosial efektif meraih perhatian publik.
Tara Basro sadar dengan hal ini. Sebelum muncul dengan foto yang menuai kontroversi tersebut, juga lewat Twitter, dia mempertanyakan motivasi orang yang ingin mengubah warna kulitnya.
Saya membaca dalam suatu wawancara, Tara mengaku pernah ditolak berperan dalam film karena fisiknya tidak memenuhi stigma standar tentang cantik. Padahal Tara kemudian membuktikan diri sebagai salah satu aktris terbaik tanah air.
ADVERTISEMENT
Kampanye body positivity Tara cukup 'didengar' khalayak ramai. Apalagi dengan kontroversi yang menyertai unggahan terkini Tara, sedikit banyak semakin membawa perhatian tertuju pada pesan yang disampaikannya.
Selektif agar Efektif
ADVERTISEMENT
Di sini kita memahami bahwa, bak pedang bermata dua, media sosial hadir membawa aspirasi negatif sekaligus inspirasi positif. Pesan mana yang akan diserap, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Selektif memilih akun untuk di-follow menjadi cara efektif mengurangi dampak minus tersebut.
Salah satu teman saya, Devina , sempat tidak percaya diri dengan fisiknya.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diamini teman saya lainnya, Katar , yang bilang bahwa penerimaan diri atas keunikan fisiknya semakin bertumbuh seiring dengan mengikuti media sosial yang tepat.
Isu ketidaksetaraan muncul ketika perempuan menghabiskan begitu banyak energinya untuk meratapi keadaan tubuh atau fokus pada upaya menutupinya, daripada aktif melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri maupun sekitarnya.
Devina dan Katar adalah contoh mereka yang berhasil keluar dari kungkungan stigma fisik tersebut. Alih-alih terus merasa tidak percaya diri, saat ini mereka sibuk dengan berbagai kegiatan sosial mempromosikan pendidikan inklusif dan tanggap disabilitas tuli.
Masih dalam semangat Hari Perempuan Internasional, mari kita rayakan berbagai pencapaian di bidang persamaan gender dengan terus menumbuhkan rasa percaya atas kemampuan diri sendiri. Tanpa terkungkung stigma dan persepsi tentang bentuk tubuh, warna kulit, jenis rambut atau apa pun kriteria fisik yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Perempuan Internasional!