Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Belajar Menerima Kata Gagal
12 Juli 2021 15:18 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:02 WIB
Tulisan dari Aisyah Banowati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di masa sekolah dasar atau SD kita ingin mencoba banyak hal baru. Berenang setiap bulan dengan harapan agar cepat tumbuh tinggi. Bermain lari-larian selama jam istirahat. Bergonta-ganti tempat les untuk mencari tempat yang cocok. Sampai merasakan gagal untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
Semenjak masuk sekolah dasar aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Nilai ujian yang bagus. Teman yang banyak tanpa perlu sulit berbaur. Dan menjadi anak kesayangan guru.
Kala itu, aku tidak pernah tau rasanya gagal. Bagaimana kecewa memenuhi kepala saat apa yang diinginkan tidak terwujud. Dan bagaimana rasanya berjuang untuk menggapai kemenangan.
Aku ditunjuk menjadi perwakilan untuk mengikuti lomba cerdas cermat agama. Aku bersama kedua temanku dilatih selama kurang dari satu bulan.
Aku harus melatih tanganku menuliskan huruf hijaiyah agar lebih rapi lagi. Dan aku harus mengikuti kelas tambahan di waktu libur. Masa pelatihan bukan masa yang buruk. Aku merasa mampu dan pintar.
Sombong yang Menyesatkan
Inilah awal kesombonganku. Di rumah aku tidak lagi mengulang materi. Aku juga jarang melatih tulisanku. Aku merasa lelah bahkan sebelum bekerja keras.
ADVERTISEMENT
Hari demi hari berlalu hingga tiba waktunya lomba. Ibuku membelikan seragam baru untuk dikenakan saat lomba. Tidak ada perasaan gugup atau takut. Lagi-lagi aku terlalu percaya diri.
Aku dan kedua temanku duduk di barisan belakang dan mulai berdiskusi untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada. Membaca soal menyadarkanku bahwa banyak materi yang aku lupakan.
Aku hanya bisa menebak tanpa mengetahui jawaban pasti. Aku bingung dan panik. Aku berusaha semampuku untuk menjawab. Keluar dari ruangan aku merasa akan kalah.
Kami perlu menunggu selama beberapa saat untuk mengetahui sekolah mana yang akan lolos babak berikutnya. Dan begitu pengumuman dibacakan dugaan ku tepat bahwa kami tidak masuk final. Tidak masuk final mungkin tidak terlalu buruk, tapi berada di peringkat paling bawah itu menyesakkan.
ADVERTISEMENT
Aku kecewa dan sedih. Di depan banyak orang aku terlalu malu untuk menangis. Selama perjalanan pulang perasaanku hampa. Kata penyemangat tidak berpengaruh. Aku hanya ingin pulang tanpa perlu memasang senyum terus menerus.
Di rumah aku menangis tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Menangis dengan keras sampai tertidur lalu kembali menangis saat bangun.
Aku merasa malu untuk bertemu teman-teman di kelas. Aku terbiasa menjadi siswa yang pintar, namun kali ini harus membawa kegagalan.
Ibu mengajakku pergi berboncengan dengan motor. Di tengah riuh berisik suara motor di jalan aku melamun. Ibu berkata bahwa kegagalan harus diterima dengan lapang. Meski sulit kita sebagai manusia harus mencoba untuk menerima.
Kegagalan hari ini bukan berarti aku akan gagal ke depannya. Jadi, daripada terus menangis ibu menyarankanku untuk mengevaluasi diri. Sore itu, aku belajar menerima kegagalan untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
(Aisyah Banowati/Politeknik Negeri Jakarta)