Konten dari Pengguna

Pandangan 'Aisyiyah Tentang Perempuan dan Politik

'Aisyiyah Tabligh dan Ketarjihan
Majelis Tabligh dan Ketarjihan dalam naungan Pimpinan Pusat 'Aisyiyah bergerak di bidang dakwah, yang bersumber dari nilai-nilai islam progresif. Hadir sebagai wadah strategis untuk penyampaikan pesan yang bersifat mencerahkan dan meneguhkan.
24 Oktober 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari 'Aisyiyah Tabligh dan Ketarjihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang Pilkada serentak di berbagai wilayah di Indonesia, banyak politikus perempuan yang turut andil dalam kontestasi pilkada ini. Sebut saja Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah yang mewarnai Pilkada Jawa Timur tahun ini. Di wilayah lain juga tentu ada beberapa pasangan calon yang berisikan perempuan, maka bukan hal yang asing lagi bahwa perempuan juga dapat ikut berperan dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya masih ada saja problematika perempuan dalam berpolitik, misalnya budaya patriarki yang masih saja ada di Indonesia, paham patriarki adalah paham yang memandang perempuan sebagai pelengkap dalam dunia perpolitikan di tanah air. Faktor lainnya adalah masih rendahnya kualitas perempuan baik itu di bidang politik maupun bidang sosial, seperti dalam bidang ekonomi. Secara umum perempuan belum terlalu memahami dunia politik, mereka terjun di dunia politik tanpa bekal yang memadai, hal itu yang kemudian menjadikan kualitas perempuan masih rendah.
Logo 'Aisyiyah
zoom-in-whitePerbesar
Logo 'Aisyiyah
'Aisyiyah sebagai salah satu organisasi perempuan pun turut meyoroti beberapa isu dan masalah perempuan dan politik, sebagaimana yang tertulis dalam Tanfidz Keputusan Muktamar 'Aisyiyah ke-48 yang berisi tentang persoalan politik serta partisipasi perempuan dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin didalamnya membahas tentang rendahnya pemahaman dan kesadaran budaya politik yang luhur, adiluhung dan berdimensi moral etis baik pada institusi keluarga, masyarakat maupun negara ditandai dengan beberapa karakter yakni: Pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya merupakan amanah dari masyarakat yang harus dijaga sebaik-baiknya, tidak untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan golongannya. Kedua, Setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban, sehingga dalam tataran idealis warga negara di Indonesia berhak untuk menuntut tanggung jawab anggota Parlemen yang mewakilinya atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan jabatannya. Ketiga, kegiatan politik dalam politik kualitas tinggi harus dilakukan dalam kerangkamembangun persatuan dan kesatuan bangsa dengan prinsip keadilan sosial bagiseluruh rakyat Indonesia.
Menyingung soal keterlibatan perempuan dalam politik 'Aisyiyah merasa keterwakilan perempuan di parlemen masih jauh dari target 30%. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya adalah budaya patriarkhi yang masih menggurita dan perundang-undangan yang tidak mendukung partisipasi politik perempuan. Faktor budaya berpengaruh besar karena menjadi acuan dalam melakukan interaksi dan perilaku. Salah satunya adalah stereotype negatif terhadap perempuan yang dikataka tidak bisa memimpin.
ADVERTISEMENT
Sifat moody juga seringkali dilekatkan pada perempuan sehingga dianggap tidak bisamengontrol emosi dan lebih banyakmenggunakan perasaan dalamurusan pekerjaan. Budaya patriarkhi cenderung mengkonstruksi perempuan sebagai penanggungjawab urusan domestik mulai dari mengurus anak, keluarga dan rumah tangga, sehingga banyak perempuan yang “terlambat” memasuki dunia politik.
Perundang-undangan, pemilu di Indonesia mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Meskipun data menunjukkan terjadinya peningkatan keterwakilan perempuan dari pemilu ke pemilu namun peningkatan ini tidak sebanding dengan upaya yang telah dilakukan berbagai pihak untuk menguatkan keterlibatan perempuan dalam politik.
Banyak tokoh parpol yang mengeluhkan sulitnya mencari perempuan berkualitas yang bersedia menjadi kader partai. Selain itu, perempuan juga sangat sulit memperoleh nomor urut 1 dalam daftar calon yang diajukan oleh partai politik, padahal caleg yang terpilih mayoritas adalah yang berada di urutan nomer 1. Jika bicara kesetaraan, idealnya 50% caleg perempuan dapat menduduki nomor urut 1 dalam daftar calon.
ADVERTISEMENT
Adapun kebijakan afirmasi 30% keterwakilan perempuan belum sepenuhnya terpenuhi baik dalam lembaga struktural maupun non-struktural. Keanggotaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) periode 2021-2026 misalnya, sama sekalitanpa kehadiran perempuan padahal dalam periode 2016-2021 terdapat 2 anggota perempuan. Sedangkan di tataran eksekutif atau lembaga pemerintah masih tampak dominasi laki-laki. Proporsi menteri perempuan pada kabinet Indonesia Maju (2019-2024) hanya sebesar 14,71%. Angka ini bahkan lebih rendah dibandingkan angka pada kabinet sebelumnya (Kabinet Kerja 2014-2019) sebesar 23,53%. Sementara proporsi perempuan yang menduduki jabatan kepala/wakil kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota) hanya sebanyak 10,34% (berdasarkan hasil Pilkada serentak Tahun 2020).
Persoalan kuantitas juga perlu diselaraskan dengan persoalan kualitas, dimana perempuan wakil seharusnya memiliki kapasitas sebagai wakil rakyat yang berperspektif gender dan mampu menyuarakan kepentingan perempuan. Sebagai sesama perempuan, banyak persoalan perempuan yang diharapkan dapat diatasi oleh pemimpin perempuan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, realitas menunjukkan masih minimnya kepemimpinanperempuan ditingkat lokal/desa. Padahal keterlibatan perempuan dalam siklus pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring desa akan mendorong kebijakan yang berpihak pada peningkatan kualitas kehidupan perempuan dan juga kelompok rentan lainnya. Melalui jejaring dan pengalamannya dalam berbagai aktivitas dan kelembagaan sosial, perempuan memiliki kontribusi penting dalam menjadi aktor sosial, ekonomi dan politik.
Tak kalah penting, luas dan mengakarnya jejaring perempuan adalah modalitas yang bisa menjadi basis dukungan dan legitimasi bagi kepemimpinan perempuan. Salah satunya bisa dicontohkan dengan pengalaman ‘Aisyiyah, yang merupakan representasi dari organisasi perempuan yang memiliki karakter perempuan Islam berkemajuan.
Politik berpotensi menjadikan kualitas keputusan dan kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan perempuan. Pada waktunya, perempuan akan menyumbang bagi kemaslahatan umat. Problem-problem seperti persoalan kematian ibu, pemberdayaan ekonomi perempuan atau keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, adalah contoh isu-isu sosial yang perlu terus digaungkan dan menjadi prioritas bagi kepemimpinan lokal perempuan.
ADVERTISEMENT
(A. Pram)
Sumber: Tanfidz Keputusan Muktamar ke-48 'Aisyiyah Surakarta