Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Arti Penting Sebuah Jasad
7 Juli 2022 12:41 WIB
Tulisan dari Ajeng Illastria Rosalina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak pertama kali mendengar Eril, anak Ridwan Kamil tenggelam, saya turut berdoa, kepada Allah (bukan melalui sosial media), semoga dia segera ditemukan dalam keadaan sehat. Setelah keluarga Eril sudah menyatakan dia meninggal, saya turut sedih, tapi tetap saya berdoa, semoga kalaupun dia meninggal, semoga mayatnya ditemukan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, setiap kali saya mendengar berita kecelakaan yang TKP (Tempat Kejadian Perkara)-nya tidak di area dekat permukiman, misal kecelakaan pesawat, terutama kalau kecelakaan kapal, saya turut meminta kepada pencipta saya, semoga semua korban selamat, kalaupun tidak selamat semoga semua mayat mereka ditemukan, utuh maupun tidak.
Doa saya adalah empati, karena saya pernah berada di posisi keluarga korban, kehilangan seseorang yang sangat berharga untuk selamanya tanpa ada kepastian, tanpa ada mayat, tanpa nisan, tidak ada pelarian saat rindu. Bagaimana rasanya? Sangat sakit, pilu dan ada rasa yang lebih menakutkan, yang bernama HARAPAN.
Saya sebagai penggemar film hollywood beberapa kali disuguhkan cerita korban selamat dari sebuah kecelakaan, terdampar, lalu pulang. Sebut saja Cast Away, Life of Pi, atau bahkan Tarzan dan Mowgli. Yang paling lekat di ingatan saya mungkin film Cast Away, bagaimana film itu menceritakan Tom Hank yang mengalami kecelakaan pesawat, kemudian dia selamat dan terdampar di sebuah pulau terpencil tanpa penduduk. Dikisahkan, Chuck Holand, nama peran Tom Hank, berhasil bertahan hingga menemukan jalan pulang. Betapa film-film itu selalu menumbuhkan harapan saya untuk suatu saat melihat om saya pulang dalam keadaan hidup. Dan hati kecil saya selalu berkata, “tidak ada salahnya berharap” meskipun setiap kali juga harus kecewa karena harapan itu palsu, dan mungkin tidak akan pernah datang.
ADVERTISEMENT
Saya kehilangan Om saya, adik Ibu saya, saat saya masih sangat muda, mungkin berumur sekitar 7 tahun. Momen itu membentuk core memory yang sangat kuat di kepala saya. Saya benar-benar sangat ingat setiap detil kejadian sore itu, hingga beberapa hari, hingga bulan kemudian. Suatu sore yang seharusnya spesial, di bulan Ramadhan, saat saya sedang berkunjung ke rumah nenek saya. Waktu itu salah satu tetangga nenek, seorang bapak paruh baya itu mengetuk pintu dan diterima oleh tante saya. Mereka berdua saling berbicara dengan berdiri di teras rumah. Saya yang saat itu berada di ruang tamu tidak mendengar perbincangan mereka tapi di umur saya yang masih sangat kecil saya bisa membaca gelagat aneh mereka berdua. Bapak tersebut berbicara sedikit terengah, saya berasumsi, mungkin beliau tadinya berlari atau berjalan cepat dari rumahnya. Tante saya hanya terdiam di posisinya, bahkan setelah bapak itu pergi, tante saya hanya memutar badannya tanpa melangkah. Mungkin beliau sedang berpikir keras mencari cara untuk memberi tahu nenek saya.
ADVERTISEMENT
Tante saya akhirnya memberikan kabar yang tadi dibawa Si Bapak pada nenek, saya pun turut mendengar. Yang saya ingat, saya seketika menangis, sedangkan nenek dan tante saya masih tampak tegar. Kenapa mereka tegar? Karena kabarnya bukan sesuatu yang pasti. Di tahun itu 1992 betapa teknologi masih minim, Bapak pembawa kabar adalah salah satu tetangga yang memiliki telepon rumah, saat itu betapa telepon rumah hanya dimiliki oleh orang yang sangat kaya. Salah satu saudara jauh di Aceh yang tinggal dekat dengan Om saya menelpon bahwa kemungkinan Om saya berada di kapal yang sedang tenggelam di perairan Sabang-Aceh. Ya, KEMUNGKINAN, apa yang lebih buruk daripada membahas kematian seseorang dengan kata MUNGKIN?
Tidak ada jejak pembelian tiket. Keluarga jauh yang berada di Aceh yang memberi kabar juga tidak tinggal bersama Om saya, hanya saja om saya mengatakan seminggu sebelumnya, bahwa dia akan naik kapal dari Sabang ke Aceh, (bayangkan!) seminggu sebelumnya. Betapa sangat tidak pasti info itu.
ADVERTISEMENT
Pencarian korban dilakukan oleh pihak pemerintah, dan hingga saat saya menulis cerita ini, jasad om saya tidak pernah benar-benar ditemukan. Setiap Ramadhan saya selalu melihat ada momen dimana ibu saya termenung, lalu berkata dengan sedikit bergumam, semoga Om-mu pulang. Kapan momen itu berhenti? Belum pernah, bahkan setelah 30 tahun kemudian. Setiap kali saya memiliki teman yang berasal dari kota Aceh selalu membawa saya pada duka itu, selalu ingin bercerita.
Sejak saat itu saya berharap semoga tidak ada lagi keluarga lain yang mengalami seperti yang dialami ibu saya dan saya. Saya bercita-cita semoga suatu saat Allah memberi saya rizki hingga saya bisa berkunjung ke ujung sana, ke Aceh, untuk sekedar membawa bunga dan menaburnya di selat Sabang. Nama yang setiap kali terdengar menceritakan ujung Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah mendengar kabar mayat Eril ditemukan, saya merasa sangat senang, bukan bahagia karena dia meninggal, tapi saya bahagia untuk keluarganya. Bahagia untuk pak Ridwan Kamil yang berkesempatan melihat jasad anaknya, yang akhirnya memiliki nisan untuk dijenguk saat dirindukan. Meskipun kembali lagi, mengutip Raja Priam di Film Troy, “hanya orang tua sial yang menguburkan anaknya.” Tetap semangat pak Ridwan Kamil dan Bu Atalia!